Sabtu, April 09, 2011

Willem Iskander dan Lahirnya Tokoh-Tokoh Sastrawan Nasional dari Tapanuli Bagian Selatan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Willem Iskander dalam blog ini Klik Disini

**Dikompilasi dari berbagai sumber

Willem Iskander

Sati gelar Sutan Iskandar yang namanya kemudian dikenal sebagai Willem Iskander lahir di Pidoli Lombang pada bulan Maret 1840. Ibunya Si Anggur boru Lubis dari Rao-rao dan ayahnya Raja Tinating, Raja Pidoli Lombang. Pada usia 13 tahun, 1853, Sati masuk sekolah rendah dua tahun yang didirikan Godon di Panyabungan. Alexander Philippus Godon (1816-1899) adalah Asisten Residen Mandailing Angkola, 1848-1857 dari pihak Belanda pasca Perang Paderi yang merancang dan membangun mega proyek jalan ekonomi dari Panyabungan ke pelabuhan Natal sepanjang 90 Km.

Begitu lulus, 1855, Sati diangkat menjadi guru di sekolahnya. Barangkali Willem Iskander lah guru formal termuda, 15 tahun, dalam sejarah pendidikan Indonesia. Pada saat yang sama ia juga diangkat oleh Godon menjadi juru tulis bumiputera (adjunct inlandsch schrijfer) di kantor Asisten Residen Mandailing Angkola di Panyabungan. Jabatan guru dan juru tulis itu dijabatnya dua tahun, menggantikan Haji Nawawi yang berasal dari Natal, sampai menjelang keberangkatannya ke Negeri Belanda bersama Godon, Februari 1857.

Setelah Willem Iskander memperoleh ijazah guru bantu dari Oefenschool pimpinan D. Hekker Jr. di Amsterdam, ia bertolak Indonesia (Hindia Belanda). Setelah Willem Iskander tiba kembali di Mandailing pada awal 1862, ia melakukan persiapan pendirian sekolah guru di Mandailing. Tempat yang ia pilih adalah Tanobato berada di pinggir jalan ekonomi ke pelabuhan Natal. Bangunan sekolah pun didirikan bersama masyarakat setempat. Bangunan empat ruangan, ialah tiga ruang kelas, satu tempat tinggal Willem Iskander. Bahan bangunan itu terbuat dari kayu, bambu dan atap daun rumbia. Ada dua bangunan lagi di sebelah gedung sekolah ini, ialah Gudang Kopi (Pakhuis) dan Pasanggrahan. Willem Iskander menerima beslit bertanggal 5 Maret 1862, yang mengizinkannya mendirikan Kweekschool di Mandailing. Beslit kedua bertarikh 24 Oktober 1862 yang menetapkannya sebagai guru pada Kweekschool Tanobato.

Baru satu tahun usia Kweekschool Tanobato, pada bulan September 1863, Gubernur Van den Bosche datang dari Padang melakukan inspeksi ke sekolah ini. Gubernur Pantai Barat Sumatera ini melaporkan kunjungannya kepada Gubernur Jenderal dalam suratnya tanggal 13 September 1863. Ia menyatakan kekagumannya terhadap kepiawaian Willem Iskander. Kesannya ia tulis dengan kata-kata zeer ontwikkeld, hoogst ijverig, artinya sangat cerdik, terpelajar, dan sangat rajin dan tekun.

Pada tahun 1862 Ingwer Ludwig Nommensen (berkebangsaan Jerman) tiba dari Jerman di Sipirok. Pada waktu itu masyarakat Sipirok sudah sejak lama menganut agama Islam, sementara di daerah Tapanuli Utara masih dengan kepercayaan tradisonal. Pada bulan November 1863 Nommensen mendirikan satu sekolah di Desa Parau Sorat Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan. Pendirian sekolah ini boleh jadi  sebagai konpensasi penerimaan masyarakat Sipirok dalam rangka dirinya memulai misi ke Silindung daerah Tapanuli Utara. Pada tahun 1864 Nommensen pindah ke Tarutung dan membuka Huta Dame dan dari desa ini ia melakukan penyebaran agama di daerah Tapanuli Utara.

Empat tahun setelah Willem Iskander mendirikan Kweekschool Tanobato, Mr. J.A. van der Chijs, Inspektur Pendidikan Bumiputera, pernah datang dari Batavia ke Tanobato 1866. Iskander dan Chijs  mendiskusikan cara-cara terbaik yang harus ditempuh untuk memajukan pendidikan bumiputera. Setelah beberapa tahun, gagasan pembaharuan pendidikan guru bumiputera yang disampaikan oleh Willem Iskander kepada Van der Chijs kala itu dan pembahasan surat Willem Iskander di Tweede Kamer, November 1869di Batavia, telah membuahkan hasil. Dari hasil rapat dewan di Batavia, Van der Chjis membuat rencana jangka panjang dan jangka pendek peningkatan mutu pendidikan guru bumiputera. Pertama, Ia membuat sejumlah syarat yang harus dipenuhi setiap sekolah guru bumiputera. Dekrit itu sudah tentu berkaitan dengan gagasan-gagasan Willem Iskander ketika sebelumnya mereka berdua pernah mendiskusikannya. Tiga syarat penting ialah: (1) Sekolah guru harus menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan; (2) Guru sekolah guru harus mampu menulis buku pelajaran; dan Bahasa daerah harus dikembangkan sesuai kaidah-kaidah bahasa.

Kedua, memberitahukan kepada Willem Iskander, 1869, bahwa Willem Iskander sendiri ditugaskan untuk membawa dan membimbing delapan guru muda untuk meneruskan pendidikan di Negeri Belanda. Delapan guru muda itu masing-masing dua orang dari Manado, Mandailing, Sunda dan Jawa. Pada tahun 1873, telah diketahui hanya tiga orang guru muda yang berangkat ke Negeri Belanda bersama Willem Iskander. Mereka adalah Banas Lubis murid Willem Iskander di sekolah guru Tanobato, Raden Mas Surono dari Kweekschool Surakarta, dan Mas Ardi Sasmita guru sekolah rendah di Majalengka lulusan Kweekschool Bandung.

Pada bulan April 1874 Willem Iskander bersama Banas Lubis, Ardi Sasmita dan Raden Mas Surono betolak dari Tanjung Priok ke Negeri Belanda dengan kapal Prins van Oranje. Mereka tiba di Bandar Amsterdam pada tanggal 30 Mei 1874. Sejak hari itu sampai dengan bulan Desember 1874, Willem Iskander tinggal bersama mereka di bekas pemondokan Willem Iskander, 1859-1861, di Prinsengracht 239, Amsterdam.

Proyek ini gagal. Tiga orang calon guru itu meninggal pada tahun 1875. Banas Lubis dan Ardi Sasmita meninggal di Amsterdam karena kesehatan mereka menurun disebabkan berbagai hal, antara lain rindu tanah air, cuaca buruk, dan masalah lain-lain yang menyebabkan mereka bertiga stres berat. Ketika Raden Mas Surono jatuh sakit, pemerintah mengambil keputusan untuk memulangkannya ke Tanah Air. Ada harapan Raden Mas Surono akan sembuh dalam perjalanan. Tetapi takdir menentukan lain. Raden Mas Surono meninggal dalam pelayaran ke Tanah Air. Nakhoda dan kelasi melarungkan jenazah Raden Mas Surono ke laut.

Willem Iskander wafat tanggal 8 Mei 1876, kemudian dimakamkan di Zorgvlied Begraafplaats, Amsterdam. Sebelum Willem Iskander berangkat ke Negeri Belanda untuk kedua kalinya ia bernasihat yang terdapat pada bait 15 dan 16 sajak Mandailing:

Tinggal ma ho jolo ale/Tinggallah sayang
Anta piga taon ngada uboto/Entah berapa tahun aku tidak tahu
Muda uida ho mulak muse/Jika aku melihat engkau kembali
Ulang be nian sai maoto/Janganlah lagi masih bodoh
Lao ita marsarak/Ketika kita berpisah
Marsipaingot dope au dio/Aku masih berpesan kepadamu
Ulang lupa paingot danak/Jangan lupa menasihati anak
Manjalai bisuk na peto/Mencari ilmu yang benar

Ketika Willem Iskander meninggal di Belanda, timbul kegemparan luar biasa. Ia menjadi topik pembicaraan dan polemik di surat-surat kabar yang terbit di Batavia, Semarang, Surabaya dan Padang.

Para Murid

Murid-murid Willem Iskander bukan saja tersebar di Tapanuli, tetapi juga ke Singkil, Nias dan Sulit Air di Sumatera Barat. Basyral Hamidy Harahap mencatat di sini nama (sesuai EYD) lulusan Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Tanobato dengan posisi mereka di dalam masyarakat:

1.     Alimuda, Kepala Kampung Tanobato.
2.     Jabarani, guru kepala di Panyabungan dan Tanobato.
3.     Janatun gelar Jatimor, guru di Tanobato, Muarasoma, Kotanopan dan Gunung Sitoli.
4.     Philippus Siregar, guru di Sipirok dan Simapilapil.
5.     Si Bajora gelar Sutan Kulipa, guru di Muarasoma.
6.  Si Bortung gelar Raja Sojuangon, guru di Kotanopan, kemudian pada bulan Februari 1866 berangkat ke Batavia untuk melanjutkan pelajaran di Sekolah Tenaga Medis.
7.     Si Along gelar Jawirusin, guru di Natal.
8.     Si Brahim gelar Sutan Mangayang, guru di Panyabungan.
9.     Si Godung gelar Ja Pandapotan, guru di Padang Sidempuan.
10.  Badukun gelar Sutan Kinali, guru di Sibolga dan Singkil.
11.  Alimuda, Kepala Kampung Tanobato.
12.  Jabarani, guru kepala di Panyabungan dan Tanobato.
13.  Janatun gelar Jatimor, guru di Tanobato, Muarasoma,  Kotanopan dan Gunung Sitoli.
14.  Philippus Siregar, guru di Sipirok dan Simapilapil.
15.  Si Bajora gelar Sutan Kulipa, guru di Muarasoma. 
16. Si Bortung gelar Raja Sojuangon, guru di Kotanopan, kemudian pada bulan Februari 1866 berangkat ke Batavia untuk melanjutkan pelajaran di Sekolah Tenaga Medis.
17.  Si Along gelar Jawirusin, guru di Natal.
18.  Si Brahim gelar Sutan Mangayang, guru di Panyabungan.
19.  Si Godung gelar Ja Pandapotan, guru di Padang Sidempuan.
20.  Si Badukun gelar Sutan Kinali, guru di Sibolga dan Singkil.
21.  Si Pangiring gelar Ja Manghila, guru di Barus.
22.  Si Dagar, guru di Panyabungan.
23.  Si Gulut, guru di Kotanopan.
24.  Si Gumba Arun, guru di Muarasipongi.
25.  Si Gurunpade gelar Ja Naguru, guru di Simapilapil.
26.  Si Jakin gelar Ja Bolat, guru di Tanobato.
27.  Si Manahan gelar Ja Rendo, guru di Sipirok.
28. Si Mangantar gelar Raja Baginda, guru di Hutaimbaru, Sipirok dan Muarasipongi. Ia adalah murid Willem Iskander yang paling cemerlang.
29.  Si Pangulu gelar Ja Parlindungan, guru di Sipirok, Kotanopan dan Padang Sidempuan.
30.  Si Sampur gelar Raja Laut, guru di Pargarutan dan Batunadua.
31.  Simon Petrus, guru di Bunga Bondar.
32.  Sutan Galangan, guru di Hutaimbaru.
33.  Si Gori gelar Mangaraja Nasution, guru di Tuka, Lumut dan Sibolga.
 
Adapun sebagian murid-murid Willem Iskander yang mengikuti jejaknya sebagai pengarang, penerjemah dan penyadur. Nama-nama mereka (sesuai EYD) dan judul karya mereka adalah, sbb.:
 
  1. Lembang Gunung Doli, Soerat Parsipodaan. – Batavia, 1889.
  2. Ja Manambin, Si Djahidin. – Batavia, 1883.
  3. Ja Parlindungan, Kitab Pengadjaran. – Batavia, 1883.
  4. Ja Sian, Sutan Kulipa dan Ja Rendo, Mandhelingsche rekenboekje voor hoogste klasse. – Batavia, 1868.
  5. Mangaraja Gunung Pandapotan, On ma sada parsipodaan toe parbinotoan taporan parsapoeloean. – Batavia, 1885.
  6. Mangaraja Gunung Pandapotan, Parsipodaan taringot toe parbinotoan tano on. – Batavia, 1884.
  7. Philippus Siregar dan Sutan Kinali, Barita na denggan-denggan basaon ni dakdanak. – Batavia, 1872, 1904.
  8. Si Mangantar gelar Raja Baginda, On ma barita tingon binatang-binatang bahatna lima poeloe pitoe. –Batavia, 1868.
  9. Philippus Siregar dan Sutan Kinali, Boekoe basaon ni dakdanak di sikola. Boekoe pasadaon. Batavia, 1873.
  10. Raja Laut, Barita sipaingot. – Batavia, 1873.
  11. Si Pangiring dan Si Mengah, Boekoe basaon ni dakdanak di sikola. Boekoe padoeaon. – Batavia, 1873.
  12. Si Saridin, Sada barita ambaen parsipodaan. – Batavia, 1872.
  13. Sutan Kulipa, Dalanna anso binoto oemoer ni koedo.
Pemuatan daftar nama murid Willem Iskander yang menjadi guru, kepala kampung dan pengarang ini dimaksudkan untuk memberi kesan betapa Willem Iskander telah berhasil mendidik agen-agen pembaharuan di Tapanuli, termasuk Nias. Kweekschool Tanobato sendiri ditutup tahun 1874 karena akan dibangun sekolah guru yang lebih baik di Padang Sidempuan yang sekaligus akan menjadi Pusat Studi Batak. Sekolah itu direncanakan akan dipimpin oleh Willem Iskander, 1876, setelah menyelesaikan lanjutan studinya dalam bidang kebudayaan di Negeri Belanda, 1874-1876. Tetapi sayang, Willem Iskander wafat di Amsterdam tanggal 8 Mei 1876. Pembangunan sekolah guru Padang Sidempuan itu pun ditunda sampai tahun 1879.

Ada beberapa murid Willem Iskander sebagai guru di Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Padang Sidempuan, yang terkenal adalah  Pangulu Lubis yang dikenal juga sebagai Guru Batak. Teman sejawat Pangulu Lubis sesame guru di Kweekschool Padang Sidempuan adalah Charles Adriaan van Ophuysen. Kelak Charles Adriaan van Ophuysen, yang ahli Bahasa Melayu dan Bahasa Mandailing. Selama delapan tahun menjadi guru di Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers di Padang Sidempuan, 1882-1890. Bahkan ia menjadi direktur sekolah guru yang didirikan tahun 1879 itu, antara 1885-1890. Pada tanggal 1 Juli 1893 ia diangkat sebagai Inspektur Pendidikan Bumiputera Pantai Barat Sumatera berkedudukan di Bukittinggi.

Ada dua nama yang terkenal alumnis Kweekschool Padang Sidempuan yakni Rajiun Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada dan Ja Endar Muda Harahap. Keduanya murid Van Ophuysen di Kweekschool Padang Sidempuan. Pada tahun 1904, Van Ophuysen dikukuhkan sebagai Profesor di Universiteit Leiden. Menarik sekali, seorang muridnya di Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Padang Sidempuan, Rajiun Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada, yang lahir di Batunadua pada tahun 1874, kemudian menjadi asistennya dalam mata kuliah Bahasa Melayu di Universiteit Leiden. Rajiun Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada (baca Kasayangan), adalah penggagas Indische Vereeniging tanggal 25 Oktober 1908 di Leiden. Organisasi ini menjadi cikal bakal Perhimpoenan Indonesia yang menjadi perkumpulan intelektual muda Indonesia yang kelak tampil sebagai pemimpin bangsa Indonesia.

Seorang lagi murid Van Ophuysen di Kweekschool Padang Sidempuan yang berkiprah di tingkat nasional yang mengawali kariernya sebagai guru di Air Bangis, Batahan dan Singkil, kemudian menjadi raja surat kabar Sumatera, ialah Ja Endar Muda Harahap, yang mendirikan surat kabar di Sumatera Barat, Sibolga, Medan dan Aceh. Ja Endar Muda berpendapat, bahwa ruang lingkup gerakan pencerdasan bangsa lebih luas melalui surat kabar, karena surat kabar dapat menembus ruang dan waktu. [Lihat artikel lain dalam blog ini: “Surat Kabar di Padang Sidempuan ‘Tempo Doeloe’ dan Lahirnya Tokoh-Tokoh Pers Nasional dari Tapanuli Bagian Selatan”].

Daoed Joesoef, Willem Iskander dan SMA Negeri Tanobato

Dalam usia 22 tahun, Willem Iskander telah melakukan terobosan besar gerakan pencerahan (Aufklärung) melalui pendidikan di Mandailing dan Angkola. Orientasi, cakrawala, penalaran, idealisme, kearifan, dan semangat pembaharuan telah membekali Willem Iskander untuk melakukan gerakan pencerahan di Tapanuli. Pengaruh dari semangat Willem Iskander ini dicatat oleh Dr. H. Kroeskamp: ‘Tapanuli had every right to be proud of its talented teachers’ school master, one of the first who proved that an Indonesian could shoulder the responsibility of running of an important educational institution’ (Kroeskamp, 1974:233).

Dr. Daoed Joesoef salah satu pengagum berat Willem Iskander. Tokoh pendidikan Indonesia ini menunjukkan perhatiannya terhadap Willem Iskander sebagaimana ia pernah menulis tiga artikel tentang Willem Iskander di Harian Sinar Harapan, yaitu: (1) "Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk (I): Ditemukan Sebuah Buku Tua" (14 Mei 1986), (2) "Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk (II): O, Mandailing Godang" (15 Mei 1986), dan "Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk (III Habis): Meninggalnya Orang Jujur" (16 Mei 1986).

Dr. Daoed Joesoef selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah mengunjungi Tanobato di Mandailing pada tahun 1981 dengan maksud untuk melihat lokasi Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers yang didirikan oleh Willem Iskander pada tahun 1862 dan melihat bekas pertapakan sekolah guru itu yang akan dibangun SMA Negeri. Kemudian ketika meletakkan batu pertama pembangunan SMA Negeri Willem Iskander di lokasi itu pada tahun 1982 dan selanjutnya meresmikan SMA Negeri Willem Iskander itu pada tahun 1983. Barangkali tidak ada desa terpencil di pedalaman yang sampai tiga kali dikunjungi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia, kecuali yang telah dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Daoed Joesoef, di Tano Bato.

Basyral Hamidi Harahap, menilai Willem Iskander adalah seorang guru yang terlempar jauh ke masa depannya. Karyanya tak pernah usang, karena ia berbicara tentang perjalanan hidup lahir batin manusia yang universal (Harahap, 1996:185-227). Basyral Hamidy Harahap sendiri telah menulis tidak kurang dari 25 tulisan berupa makalah-makalah, ceramah dan tulisan yang dimuat berbagai media masa sejak 1975, untuk memberikan pencerahan terhadap apa dan siapa Willem Iskander. Pramudya Ananta Toer pada catatan kaki bukunya Panggil Aku Kartini Saja, bahwa Willem Iskander adalah satu keajaiban Indonesia abad XIX.



Sastra di Tapanuli Selatan

Willem Iskander
[1840-1876]
Pelopor Pendidikan dari Sumatra Utara

Willem Iskander nama lengkapnya Willem Iskander Nasoetion bukan hanya seorang guru sekolah guru, tetapi ia juga seorang pengarang, penerjemah dan penyadur. Ia telah menghasilkan sejumlah karya. Naskah yang berisi sajak-sajak di dalam buku Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk sudah sampai di Batavia pada tahun 1870. Pemerintah pusat mengeluarkan beslit (besluit), surat keputusan, nomor 27 bertarikh 23 Februari 1871 tentang penerbitan buku ini yang menetapkan tiras buku ini 3.015 dan sebanyak 50 eksemplar di antaranya harus disimpan di lembaga-lembaga dan perpustakaan. Pada tahun 1872 kumpulan prosa dan puisi ini diterbitkan di Batavia oleh ‘s Landsdrukkerij (Percetakan Negara) pada tahun 1872.

Buku ini dicetak ulang di Batavia pada tahun 1903, 1906, dan 1915. Kemudian sesudah merdeka diterbitkan kembali oleh beberapa penerbit, antara lain oleh Penerbit dan Percetakan Saksama di Jakarta tahun 1954 atas anjuran Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan, P.T. Campusiana di Jakarta, Puisi Indonesia di Jakarta, Casso di Medan, Pustaka Timur dan Toko Buku Islamijah di Padang Sidempuan.

Buku ini merupakan karya klasik yang bernilai tinggi. Isinya menjadi perbendaharaan nasihat orang tua, bahkan masuk dalam perbendaharaan nilai-nilai luhur budaya di Mandailing Natal dan Angkola, Sipirok, Padang Lawas. Buku ini merupakan sumber inspirasi bagi kemajuan orang Tapanuli, khususnya Mandailing Natal dan Angkola, Sipirok, Padang Lawas, sejak pertama kali terbit tahun 1872.

Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk pernah dilarang beredar pada tahun 1933. Hal ini terjadi karena tiga tokoh pergerakan kebangsaan di Mandailing yakni Buyung Siregar, Muhiddin Nasution, Abul Kosim dan Kamaluddin Nasution, yang menjadi penghayat sejati sajak-sajak Willem Iskander. Ketiganya mampu memetik butir-butir nilai universal dari sajak-sajak Willem Iskander, ialah kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Mutiara-mutiara yang terpendam itulah yang mereka angkat dalam rapat-rapat raksasa anti penjajahan di Mandailing. Salah satu sajak tanah air berjudul Mandailing karangan Willem Iskander membuat panas telinga polisi kolonial ketika itu. Bait 12 sajak ini berbunyi:

Adong alak ruar/ Ada orang luar
Na mian di Panyabungan/ Yang berdiam di Panyabungan
Tibu ia aruar/ Cepat ia keluar
Baon ia madung busungan/ Karena perutnya sudah buncit

Orang luar itu diartikan sebagai penjajah yang berdiam di pusat pemerintahan Mandailing Angkola di Panyabungan. Mereka cepat pergi setelah mengeruk kekayaan Mandailing. Pada akhirnya buku itu kembali beredar di masyarakat. Bahkan kemudian menjadi buku bacaan wajib di sekolah-sekolah. Buku ‘Si Roemboek-Roemboek Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk’ berisi 12 sajak, satu dialog dan 7 prosa, yaitu: Sikola, Ajar ni amangna di anakna na kehe tu sikola, Di danak na mompas godang, Mandailing, Mataniari, Olo-olo, Di amateon ni boruna, Na mananom na mate, Siakkak dohot landuk, Undan dohot ura-ura, Ama ni Marpuli Odong, Marburu di bagasan bilik, Angkana dohot angina, Si Baroar, Na binuat tingon barita ni tuan Colombus, Tiruan ni olong ni roa marangka maranggi, Sada alak pulonta on na mabiar di ahaila, Na dangol muda na so binoto, Amamate ni alak na lidang dan Pidong garudo bosar.

Willem Iskander selain menghasilkan dan membukukan ‘Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk’, ia juga melakukan  beberapa terjemahan, yaitu: (1) Buku ‘Si Hendrik na Denggan Roa’, buku bacaan anak-anak yang paling popular di Belanda pada masa itu . Isi buku tentang etika untuk anak-anak dalam pergaulan sehari-hari. Hasil terjemahan ini diterbitkan di Padang pada tahun 1865. (2) Buku ‘Barita na marragam’, bacaan anak-anak tentang budi pekerti yang diterbitkan di Batavia pada tahun 1868 dalam bahasa Mandailing aksara Latin. (3)  ‘Buku basaon’, buku bacaan anak-anak terjemahan dalam bahasa Mandailing dari karya W.C. Thurn. Batavia, 1871 cetak ulang 1884, (4) Buku ‘Taringot di ragam-ragam ni parbinotoan dohot sinaloan ni alak Eropa’, diterbitkan di Batavia pada tahun 1873. Isinya tentang teknologi Eropa pada abad XIX, (5) ‘Soerat otoeran ni porkaro toe oehoeman di bagasan ni goebernemen ni Topi Pastima ni Soematara, buku ini adalah terjemahan dalam bahasa dan aksara Mandailing diterbitkan di Batavia, 1873, tebalnya 278 halaman. Isi buku ini tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat yang berlaku di wilayah Pantai Barat Sumatera, dan (6) ‘Ponggol 1a dohot Va ni Soerat otoeran toe pangotoeran saro oehoem dohot parenta ni oehoeman di Tano Indi Nederland, buku ini merupakan terjemahan dalam bahasa dan aksara Mandailing tentang administrasi peradilan, termasuk personalianya di tiap daerah. Buku ini diterbitkan di Batavia, 1874, tebalnya 115 halaman.

Secara khusus, buku ‘Taringot di ragam-ragam ni parbinotoan dohot sinaloan ni alak Eropa’ sangat besar pengaruhnya dalam memperluas cakrawala berpikir buat pribumi khususnya di Tapanuli Bagian Selatanpada masa itu. Beberapa uraian yang menarik adalah tentang penerbitan surat kabar, penulisan buku dan pengelolaan perpustakaan. Seluk beluk penerbitan surat kabar antara lain mencakup cara mencari berita, manfaat berita, mencetak dan mendistribusikan surat kabar kepada pelanggan dan pembaca lainnya. Bagaimana cara menulis buku? Jawabannya ada di dalam buku ini, antara lain diawali dengan penelusuran literatur di perpustakaan, penelitian lapangan dan pengujian data yang ditemukan di lapangan. Cara pengelolaan perpustakaan kecil sebagai sarana pendidikan di luar sekolah juga diuraikan di dalam buku ini. Buku ini juga memaparkan teknologi Eropa tentang perkeretaapian, kapal api, penyaluran air minum dan gas ke rumah-rumah dan industri perkayuan. Selain itu ada uraian tentang astronomi tentang kejadian tata surya. Tidak kurang menarik adalah peranan bank dalam memajukan kesejahteraan rakyat, misalnya tentang manfaat menabung.

Sutan Pangurabaan Pane
[1885-?]
Intelektual, Wartawan, Sastrawan, Ayah dari Sanusi, Armijn dan Lafran

Soetan Pangurabaan Pane lahir tahun 1885 di Desa Pangurabaan, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan. Desa Pangurabaan ini dibelah dua jalur Jalan Lintas Sumatra, sekitar enam kolometer dari pusat kota Sipirok ke arah Utara. Sutan Pangurabaan Pane yang bervisi jauh ke depan dan sudah membayangkan masa depan sebuah negeri yang merdeka, anak-anaknya dididik menjadi generasi muda bangsa yang keras dan melawan. Tiga dari anaknya kemudian menjadi tokoh nasional yakni Armijn Pane dan Sanusi Pane (pelopor pujangga baru dan sejarawan nasional), dan juga Lafran Pane, lahir di Padang Sidempuan 5 Februari 1922 yang dikenal sebagai pendiri HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).

Soetan Pangurabaan Pane tidak hanya sebagai orangtua yang tegas dan disiplin juga  seorang budayawan, sastrawan, wartawan, intelektual, dan tokoh pergerakan terkenal di Sumatera Utara. Soetan Hasoendoetan juga diketahui sebagai pendiri surat kabar Surya di Tapanuli. Dari tangan Sutan Pangurabaan Pane telah lahir banyak buku berupa roman yang ditulis dalam bahasa Batak di lingkungan masyarakat adat Angkola–khususnya yang tinggal di Sipirok. Salah satu karya fenomenal Sutan Pangurabaan Pane adalah roman Tolbok Haleon  (Hati yang Kemarau). Roman ini pertama kali terbit di Medan tahun 1933.

Tolbok Haleon mengisahkan tentang kehidupan dua orang muda-mudi—Lilian Lolosan dan Sitti Bajani—pada masa kolonial Belanda di Tapanuli Selatan yang bukan bercerita tentang kawin paksa dan pertentangan adat seperti kebanyak roman yang muncul saat itu. Roman Tolbok Haleon  mengisahkan nasib cinta tokoh cerita Lilian Lolosan dan Sitti Bajani yang terpaksa mengungsi akibat perang terhadap Belanda yang terjadi di daerah Sipirok.

Sampai tahun 1980-an roman Tolbok Haleon masih dipakai sebagai bacaan di sekolah-sekolah di Tapanuli Bagian Selatan. Roman ini diterbitkan kembali dalam rangka Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah 1982 dalam kategori naskah kuno. 

Sutan Hasoendoetan Siregar
[1890-1948]
Penulis roman  “Sitti Djaoerah: Padan Djandji Na Togoe” (1927)

Soetan Hasoendoetan Siregar lahir di Desa Paran Julu, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan. Tahun kelahirannya disebutkan Susan Rodger adalah tahun 1890 [lihat, Print, Poetics, and Politics: A Sumatran Epic in the colonial and New Order Indonesia by Susan Rodgers, KITLV 2005]. Soetan Hasoendoetan masuk sekolah dasar yang diselenggarakan pemerintah kolonial Belanda dengan pengantar bahasa Batak. Ia menikah pada usia sekitar 18 tahun dengan gadis sekampung, lalu mereka hijrah ke Tanah Deli tahun 1908. Semasa hidup, Soetan Hasoendoetan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja di perkebunan teh milik Belanda di Sumatra Timur. Pada tahun 1919 Soetan Hasoendoetan pernah menjadi editor surat kabar Tapian Na Oeli yang terbit di Sibolga [lihat, Sejarah Pers di Sumatra Utara oleh Mohammad Said, 1976)].

Karya fenomenal Soetan Hasoendoetan Siregar adalah roman yang berjudul Sitti Djaoerah: Padan Djandji Na Togoe (Sitti Djaoerah: Sumpah Setia yang Teguh). Roman ini pertamakali terbit tahun 1927 dan dipublikasikan secara serial antara 1929 dan 1931 di surat kabar  Poestaha—surat kabar yang berbahasa Batak yang didirikan tahun 1914 di Padang Sidempuan oleh Sutan Casayangan Soripada Harahap. Setelah pemuatan serial roman Soetan Hasoendoetan ini di surat kabar Poestaha, ternyata mendapat respon yang positif dari masyarakat luas di Tapanuli. Atas dasar itu, roman itu diterbitkan kembali dengan bentuk buku dalam dua jilid yang secara keseluruhan tebalnya sebanyak 457 halaman. Kedua jilid buku roman tersebut diterbitkan oleh Tpy Drukkerij Philemon bin Haroen Siregar di Pematang Siantar. 


Sitti Djaoerah : a novel of colonial Indonesia / by M.J. Soetan Hasoendoetan ; translated and with an introduction by Susan Rodgers

Secara umum tema-tema dalam Sitti Djaoerah tak begitu berbeda dengan novel-novel sezaman. Kala itu, tema yang paling menonjol adalah kawin paksa dan perdebatan seputar ketradisionalan yang berhadapan dengan kemoderenan. Jika kita bandingkan dengan roman-roman yang terbit tahun 1920-an, terutama keluaran Balai Pustaka seperti Azab dan Sengsara oleh Merari Siregar (1920), Moeda Teroena oleh Muhammad Kasim (1922), Sitti Noerbaja oleh Marah Roesli (1922), Darah Moeda oleh Adinegoro (1927), dan Sengsara Membawa Nikmat oleh Toelis Soetan Sati (1929).

Yang khas dalam roman Sitti Djaoerah dibandingkan dengan roman-roman lainnya yang sezaman, terutama yang diterbitkan oleh Balai Pustaka adalah bagaimana kehidupan tokoh-tokoh utamanya berakhir. Tokoh-tokoh utama dalam roman Sitti Djaoerah tidak berakhir dengan kematian sebagaimana yang terjadi dalam Sitti Noerbaja dan dan roman lainnya yang sezaman. Dalam roman Sitti Djaoerah ditunjukkan seorang tokoh perempuan yang justru mampu memperjuangkan apa yang dikehendakinya (sebagai perempuan), yang tidak menerima begitu saja apa yang dikehendaki oleh orang lain sekalipun itu ayahnya sendiri. Ia adalah perempuan yang tahu apa yang dia mau dan mewujudkannya dalam hidupnya. Sitti Djaoerah nama tokoh perempuan dalam roman tersebut berakhir dengan hidup bahagia (happy ending) yang menikah dengan seorang laki-laki yang dicintai dan mencintainya.

Keunikan roman Soetan Hasoendoetan ini dibandingkan dengan umumnya roman-roman yang dipublikasikan pada masa itu adalah soal bahasa. Roman-roman yang ada saat itu semuanya ditulis dalam bahasa melayu tinggi (terbitan Balai Pustaka) atau bahasa melayu rendah (terbit diluar Balai Pustaka). Soetan Hasoendoetan dengan sangat menyadarinya justru romannya ditulis dalam bahasa Batak Angkola. Untuk menegaskan pendiriannya di dalam kata pengantar singkat roman tersebut, Soetan Hasoendoetan berasalan karena bahan-bahan bacaan di kampungnya di Tapanuli Selatan sangat kurang apalagi bacaan yang bisa dimengerti oleh semua lapisan masyarakat. Karena itulah ia menulis romannya dalam bahasa Batak.

Sekalipun, Soetan Hasoendoetan jelas mengetahui bahwa Balai Pustaka telah banyak menerbitkan bahan-bahan bacaan yang semuanya dalam bahasa Melayu, tetapi Soetan Hasoendoetan juga menyadari arti penting cita rasa sendiri dalam membaca dan menghayatinya. Demi kebutuhan pembacanya pada masa itu,  Soetan Hasoendoetan berteori bahwa esensi suatu roman akan jauh lebih nikmat bagi pembaca jika roman yang dibaca tersebut tertulis  dalam bahasa ibu (bahasa Batak/Angkola).

Bahasa Batak Angkola merupakan bahasa Batak yang paling banyak dipakai oleh Hasoendoetan dalam Sitti Djaoerah. Bahasa Batak-Toba hanya dipakai saat tokoh utama, Dja Hoemarkar, berangkat ke Deli ketika melewati daerah Toba. Sementara saat tokoh utama perempuan, Sitti Djaoerah dan ibunya tengah berada di Panyabungan (daerah Mandailing),  Soetan Hasoendoetan memakai bahasa dialek Mandailing. Demikian, juga ketika tokohya lagi berada di Medan, Sitti Djaoerah saat mencari Dja Hoemarkar lewat iklan melalui surat kabar Pertja Timoer, digunakan bahasa Melayu. Juga, sepanjang kisah, pembaca akan menjumpai istilah-istilah dalam bahasa Arab yang umum dipakai sehari-hari sebagai identitas lain dari penulisan roman tersebut. Demikian juga penggunaan istilah-istilah dalam bahasa Belanda seperti vrij, schrijver, kantoor, advertentie dan administrateur akan dapat ditemukan dalam roman tersebut.

Soetan Hasoendoetan meninggal pada tahun 1948, tiga tahun setelah Indonesia merdeka. Berita meninggalnya Soetan Hasoendoetan kala itu tidak terlaporkan secara luas. Barangkali, hiruk-pikuk kemerdekaan saat itu boleh jadi menjadi alasan mengapa Soetan Hasoendoetan sebagai seorang pengarang tidak muncul ke permukaan. Selain itu, karya-karyanya tampaknya tidak dikenal luas, bahkan keberadaan dirinya pun kurang populer di kalangan pembaca Indonesia umumnya. Di samping karena karyanya ditulis bukan dalam bahasa Melayu (Indonesia), sebagaimana dilakukan pengarang sekampungnya seperti Merari Siregar, Armijn Pane, Sanusi Pane dan pengarang yang lebih muda, Mochtar Lubis.

Soetan Hasoendoetan bukan berarti tidak menyadarinya arti penting  sebuah karya seharusnya dibaca secara luas dengan menggunakan bahasa Melayu. Akan tetapi, Soetan Hasoendoetan tampaknya harus memilih. Dia harus membayar sendiri ketidakpopuleran dirinya dan hasil karyanya dengan keinginan yang sangat dalam dan jauh ke depan untuk membangun dan membangkitkan kesadaran masyarakatnya di kampung halaman melalui buku bacaan.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak ternyata kemudian tidak berlaku untuk roman Sitti Djaoerah, hasil karya Soetan Hasoendaoetan. Roman ini justru pilihan strategis bagi Susan Rodger (antropolog Amerika Serikat) untuk belajar bahasa Batak ketika memulai studinya di daerah Tapanuli. Bahkan Rodgers telah menerjemahkan roman ini ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan tahun 1997 dengan judul, Sitti Djaoerah: A Novel of Colonial Indonesia. [M.J. Soetan Hasoendoetan, Sitti Djaoerah, A Novel of Colonial Indonesia, University of Wisconsin-Madison Center for Southeast Asian Studies, 1997. Translated and with introduction by Susan Rodgers]. Kekawatiran roman hasil karya Soetan Hasoendoetan sebagai sebuah karya sastra awal dan bermutu akan lenyap di negeri sendiri, ternyata pada akhirnya mampu Go International. Salam buat keluarga Soetan Hasoendoetan dimana pun berada.    



Tokoh-Tokoh Sastra Asal Tapanuli Selatan

Willem Iskander boleh jadi menjadi pionir dalam pembentukan pengetahuan kolektif orang-orang Mandailing dan masyarakat Tapanuli (Selatan). Ia tidak hanya sekadar seorang guru rakyat, juga sebagai pengarang yang visioner dimana hasil karyanya tidak saja memberi nasihat bagus buat anak-anak tetapi juga memberi inspirasi bagi orang dewasa dan orang tua di Tapanuli Selatan untuk menyadari, bangkit dan berjuang melawan pemerintahan kolonial Belanda.

Murid-murid Willem Iskander tidak hanya telah mengisi setiap lowongan guru dan pimpinan kampung di semua penjuru Tapanuli Selatan dan Sumatera Utara tetapi juga telah turut menunjukkan keberadaan dan dinamika pendidikan Tapanuli Selatan di luar negeri (Belanda) yang pesan dan kesannya dapat disimak oleh orang-orang terpelajar di bagian lain Nusantara. Murid-murid Willem Iskander juga telah memberi andil besar dalam pendidikan anak bangsa (guru dan pengarang sastra), kemajuan persuratkabaran (pers) dan kepemimpinan nasional.

Sebagai penerus anak negeri, murid-murid Willem Iskander tampaknya telah memenuhi tugas dan fungsinya (tupoksi) dalam menjembatani keinginan dan harapan sang guru dengan para orangtua yang memiliki putra-putri di seluruh pelosok huta (kampong) di Tapanuli Selatan. Hal yang menggembirakan bahwa mereka para murid, orangtua dan anak-anak mereka di Tapanuli Selatan tanpa disangka dengan cepat sadar, mampu berkarya dan menyebar ke seluruh penjuru mata angin di Nusantara untuk mengabarkan arti penting pendidikan.

Yang sangat penting dari itu semua, kualitas pendidikan yang diajarkan Willem Iskander dan pengajaran tertulis lewat bukunya Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk dianggap telah berhasil memenuhi kebutuhan masyarakat Tapanuli Selatan tanpa terkecuali. Kualitas pendidikan ala Willem Iskander tersebut kiranya telah mampu membangkitkan para orangtua untuk mendidik anaknya melalui kemampuan penghayatan terhadap ilmu pengetahuan dengan tepat. Bagi mereka anak-anak Tapanuli Selatan kala itu, tidak ada perbedaan kemampuan  antara mereka yang berkiprah di Tapanuli Selatan (kampung halaman) dengan yang berkompetisi di daerah perantauan.

Hasil penelitian E.U. Kratz pada 1983 menyatakan bahwa sastrawan yang berasal dari Jawa (52,8%) dan Sumatera (30,3%) yang kini berperan besar dalam menghidupkan denyut nadi sastra Indonesia. Berikut disajikan deskripsi singkat nama-nama tokoh sastra yang berasal dari Tapanuli Bagian Selatan.   

  1. Muhammad Kasim
  2. Suman Hs (Suman Hasibuan)
  3. Merari Siregar
  4. Armin Pane
  5. Sanusi Pane
  6. Sutan Takdir Alisyahbana
  7. Mochtar Lubis 
  8. Bahrum Rangkuti
  9. Bakri Siregar
  10. Mansur Samin
  11. Ras Siregar
  12. Sori Siregar
  13. Hamsad Rangkuti
  14. Abdullah Harahap
  15. Ashadi Siregar
  16.  Pamusuk Eneste (Pamusuk Nasution)
  17.  Budi P. Hatees (Budi P. Hutasuhut)
 
Muhammad Kasim
[1886-? ]
Pionir cerpen Indonesia

Penulis novel dan cerpen zaman Balai Pustaka. Lahir di Muara Sipongi, Sumatera Utara, 1886. Ia semula mempunyai pekerjaan tetap sebagai guru sekolah dasar. Berpendidikan sekolah guru, menjadi guru sekolah rakyat hingga 1935. Tahun 1922, mulai dikenal sebagai penulis melalui novelnya yang pertama terbitan Balai Pustaka, yakni Moeda Teroena. Pada tahun 1924 ia memenangkan sayembara menulis buku anak-anak. Karyanya kemudian diterbitkan dengan judul Pemandangan dalam Doenia Kanak-kanak (Si Samin).

Muhammad Kasim juga dikenai sebagai penulis cerita pendek yang kemudian diterbitkan sebagai buku Teman Doedoek (1936). Sebagai awal permulaan tradisi pengumpulan cerpen sastra Indonesia Muhammad Kasim bersama Suman Hs. termasuk pelopor penulisan cerita pendek dalam jajaran sastra Indonesia moderen. Kumpulan cerpen Teman Doedoek karya Muhammad Kasim dianggap sebagai kumpulan cerita pendek pertama dalam sastra Indonesia moderen.

Novel maupun cerpennya bercerita tentang penduduk pedesaan di Sumatera dengan gaya bahasa yang sederhana dan penuh humor. Namun Muhammad Kasim sendiri karya-karyanya lebih ditujukan bagi para pembaca muda daripada orang dewasa. Karya terjemahannya adalah Niki Bahtera (Dari In Woelige Dagen karya C.J. Kieviet) dan Pangeran Hindi (dari De Vorstvan Indie karya Lew Wallace), masing-masing tahun 1920 dan 1931.

Suman Hs (Suman Hasibuan)
[1904-1999]
Pionir cerpen mini Indonesia

Suman Hs atau nama lengkapnya Suman Hasibuan lahir di Bengkalis, Riau 4 April 1904. Beliau meninggal 8 Mei 1999 di Pekanbaru pada umur 95 tahun. Ia digolongkan sebagai sastrawan dari Angkatan Balai Pustaka. Terkenal gaya bahasanya yang lincah dan ringan. Cerita-ceritanya mirip detektif diantaranya roman Kasih Tak Terlerai (1929), Percobaan Setia (1931) dan Mencahari Pencuri Anak Perawan (1932). Diluar Balai Pustaka, Suman Hs menerbitkan sebuah roman berjudul Tebusan Darah (1939).

Soeman Hs juga dianggap sebagai pionir cerita mini Indonesia (lebih pendek dari cerpen umumnya). Berbagai cerpen Suman Hs. dikumpulkan dan dibukkukan dengan kata pengantar oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Kumpulan cerpen itu berjudul Kawan Bergelut (1938). Judul cerpen-cerpen Suman Hs., diantaranya: Pantai Jatuh, yang menyindir orang yang suka sombong; Fatwa Membawa Kecewa, menyindir orang yang menyebut dirinya alim dan suka memberi fatwa supaya orang suka bersedekah tetapi ia sendiri serakah; dan Kelakar si Bogor, menyindir orang-orang yang sok sekolah tetapi akalnya dapat dikalahkan oleh seorang yang buta huruf.

Soeman Hs menempati anjungan tersendiri di hamparan puncak-puncak kesusastraan Indonesia. Meskipun dia masih menggunakan Bahasa Melayu yang lama, namun pandangannya tentang bahasa telah jauh berbeda dari pengarang sebelumnya, dengan salah satu cirinya lebih bebas berekpresi menggunakan bahasa. Itulah sebabnya dia tidak layak digolongkan ke dalam baris pengarang lama. Dengan demikian dia dikelompokkan ke dalam barisan sastrawan Indonesia, modern. Selanjutnya Soeman Hs dianggap sebagai pelopor penulisan cerita detektif berbahasa Indonesia moderen dan pelopor cerita humor. Dikatakan berbahasa Indonesia, karena sebelum kemunculan cerita-cerita Soeman Hs, di Indonesia hanya terdapat terjemahan cerita detektif dan cerita petualangan karya pengarang Barat, seperti Robin Hood dan Oliver Twist. Kehadiran karya Soeman Hs menjadi warna tersendiri.

Pengamat sastra, Pamusuk Eneste menyebutkan bahwa Soeman lazim dianggap sebagai salah seorang pionir cerpen dalam kesusastraan Indonesia modern di samping “guru”-nya M Kasim. Secara jujur Souman Hs pernah mengatakan, “Karena membaca Teman Duduk, saya kemudian menulis Kawan Bergelut”. Sebuah pengakuan yang jarang terjadi di masa sekarang, bahkan tidak jarang terjadi justru sebaliknya.

Merari Siregar
[1896-1941]
Penggagas Pertama Roman Asli Indonesia

Merari Siregar lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara pada tanggal 13 Juli 1896. Merari Siregar diberitakan meninggal di Kalianget, Madura pada tanggal 23 April 1941. Semasa kecil, Merari Siregar berada di Sipirok. OIeh karena itu, sikap, perbuatan, dan jiwa Merari Siregar sangat dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat Sipirok. Ia menjumpai kepincangan-kepincangan khususnya mengenai adat, misalnya, kawin paksa yang terdapat dalam masyarakat lingkungannya. Setelah dewasa dan menjadi orang terpelajar, Merari Siregar melihat keadaan suku bangsanya yang mempunyai pola berpikir yang tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Hati kecilnya ingin mengubah sikap orang-orang yang berpandangan kurang baik khususnya orang-orang di daerah Sipirok.
Roman Azab dan Sengsara karya Marari Siregar dianggap sebagai pemula dalam kehidupan prosa Indonesia Modern. Roman yang diterbitkan pada tahun 1920 ini merupakan roman asli yang pertama diterbitkan oleh Balai Pustaka. Buku ini mencerminkan permulaan kesusastraan prosa Indonesia modern, demikian dinyatakan oleh Teeuw.
Umumnya, para pengamat sastra Indonesia menempatkan novel Azab dan Sengsara ini sebagai novel pertama di Indonesia dalam khazanah kesusastraan Indonesia modern. Penempatan novel ini sebagai novel pertama lebih banyak didasarkan pada anggapan bahwa kesusastraan Indonesia modern lahir tidak dari peran berdirinya Balai Pustaka. 1917, yang cikal bakalnya berdiri tahun 1908. Sungguhpun sebenarnya tidak sedikit novel yang terbit sebelum Balai Pustaka berdiri, dalam hal pemakaian bahasa Melayu sekolahan, Azab dan Sengsara yang mengawalinya. Dalam konteks itulah novel ini menempati kedudukan penting.

Roman Azab dan Sengsara ini menjadi peniup terompet pertama yang menyuarakan pertentangan kaum muda masa itu dengan adat istiadat lama. Tampaknya, buku Azab dan Sengsara ini ditulis berdasarkan pengalaman dan pengamatan Merari Siregar sejak masa kecil. Awal penulisan Azab dan Sengsara bersamaan waktunya dengan penyaduran buku yang kemudian terkenal dengan nama Si Jamin dan Si Johan, demikian dinyatakan oleh Teeuw.

Roman Azab dan Sengsara itu rupanya sebuah cerita yang betul-betul terjadi tentang seorang gadis Batak yang hernama Mariamin. Dalam roman ini Merari Siregar sering menyisipkan nasihat-nasihat langsung kepada pembacanya. Nasihat ini tidak ada hubungannya dengan kisah tokohnya karena maksud pengarang menyusun buku itu sebetulnya untuk menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik kepada bangsanya.

Merari Siregar di dalam pengantar karyanya menyatakan: "Saya mengarang ceritera ini, dengan maksud menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik dan sempurna di tengah-tengah bangsaku, lebih-lebih di antara orang laki-laki. Harap saya diperhatikan oleh pembaca. Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini meskipun seakan-akàn tiada mungkin dalam pikiran pembaca. adalah benar belaka, cuma waktunya kuatur—artinya dibuat berturut-turut supaya ceritera lebih nyata dan terang".

Karya-karyanya Merari Siregar antara lain, Novel: Azab dan Sengsara. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. 1 tahun 1920,Cet.4 1965, Binasa Karena Gadis Priangan. Jakarta: Balai Pustaka 1931, Cerita tentang Busuk dan Wanginya Kota Betawi. Jakarta: Balai Pustaka 1924 dan Cinta dan Hawa Nafsu. Saduran: Si Jamin dan si Johan. Jakarta: Balai Pustaka 1918.

Sanusi Pane
[1905- 1969]
Sastrawan Pemikir yang Sederhana
Sanusi Pane, kakak kandung Armijn Pane ini lahir di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan pada tanggal 14 November 1905, tiga tahun lebih tua dari adiknya. Sanusi pane mengawali pendidikannya di Hollands Inlandse School (HIS) di Padang Sidempuan dan Tanjungbalai. Setelah itu. ia melanjutkan ke Europeesche Lager School (ELS) di Sibolga dan kemudian melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang dan di Jakarta. Ia tamat dari MULO pada tahun 1922.
Selanjutnya, dia belajar di Kweekschool ‘Sekolah Pendidikan Guru' Gunung Sahari. Jakarta sampai tamat tahun 1925 dan langsung diangkat menjadi guru di sekolah itu sampai tahun 1931. Pernah pula Ia mengikuti kuliah di Rechtshogeschool ‘Sekolah Tinggi Kehakiman’ selama satu tahun. Pada tahun 1929--1930 dia melawat ke India untuk memperdalam kebudayaan Hindu (Nasution. 1963).
Sanusi Pane adalah sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Kehidupan Sanusi Pane sehari-hari memperlihatkan betapa kuatnya pendiriannya itu mewarnai sikapnya terhadap hal-hal yang bersifat jasmani. Oleh karena sikapnya yang demikian itu pengarang ini tidak pernah membanggakan apa yang telah ia perbuat. Dia selalu bersifat merendah, meskipun sebenarnya hasil karyanya itu patut untuk dibanggakan. Ketika J.U. Nasution ingin menulis buku tentang karyakarya Sanusi Pane, ia tidak berhasil mewawancarainya. meskipun Nasution telah berulang-ulang mencobanya. Sanusi Pane selalu mengatakan. “Saya bukan apa-apa... ... saya bukan apa-apa... " ..." Itulah jawaban yang diberikan oleh Sanusi Pane (Nasution. 1963). Jawaban itu menggambarkan bahwa Sanusi Pane merasa dirinya belum berbuat sesuatu yang patut dihargai.
Menurut istri Sanusi Pane pada waktu presiden Soekamo akan memberikan Satya Lencana Kebudayaan kepada suaminya, Sanusi Pane menolak. Tentu saja sang istri terkejut bukan kepalang. Sanusi Pane memberikan jawaban sebagai berikut: "Indonesia telah memberikan segala-galanya bagiku. Akan tetapi, aku merasa belum pernah menyumbangkan sesuatu yang berharga baginya. Aku tidak berhak menerima tanda jasa apa pun untuk apa-apa yang sudah kukerjakan. Karena itu adalah semata-mata kewajibanku sebagai putera bangsa."
Sanusi Pane meninggal duni di Jakarta, 2 Januari 1968 pada umur 62 tahun. Sebelum beliau meninggal dia berpesan agar jenazahnya diperabukan sebagai pujangga-pujangga Hindu yang telah terdahulu. Sudah tentu permintaan itu tidak dikabulkan oleh keluarganya karena menyalahi ajaran agama Islam. Selama kurang lebih dua tahun inilah Sanusi Pane menemukan jalan hidupnya untuk mencapai kebahagiaan sejati. Dia menyaksikan hahkan mengalami sendiri kehidupan tanah asal agama Hindu itu. Dia hidup di tanah “mulia". menurut Sanui Pane, penuh kedamaian sehingga ajaran Hindu benar-benar merasuk ke dalam hatinya. Tidak heran kalau dia pernah pantang makan daging karena agama Hindu mengajarkan untuk menyayangi sesama makhluk, termasuk binatang. Kalau orang menyayangi binatang sebagai konsekuensinya harus pantang makan dagingnya. Hal ini benar-benar diamalkan Sanusi Pane dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran agama Hindu itu begitu lekatnya dengan kehidupan Sanusi Pane sehingga masalah keduniaan tidak begitu ia perhatikan

Sekembalinya dari India, Sanusi Pane menjadi redaksi majalah "Timbul" yang berbahasa Belanda. Ia mulai menulis berbagai karangan kesusastraan, filsafat dan politik, sementara tetap mengajar sebagai guru. Karena keanggotaannya dalam PNI, tahun 1934 ia dipecat. Ia kemudian pemimpin sekolah dan guru di sekolah-sekolah milik Perguruan Rakyat di Bandung dan Jakarta. Tahun 1936 Sanusi Pane menjadi pemimpin suratkabar Tionghoa-Melayu "Kebangunan" di Jakarta; dan tahun 1941 ia menjadi redaktur Balai Pustaka.

Sanusi Pane adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru yang karya-karyanya banyak diterbitkan antara 1920-an sampai dengan 1940-an. Sanusi Pane cukup produktif dalam menghasilkan karya kesusastraan, diantaranya sebagai berikut: Pancaran Cinta (1926), Prosa Berirama (1926), Puspa Mega (1927), Kumpulan Sajak (1927), Airlangga (drama berbahasa Belanda, 1928), Eenzame Caroedalueht (drama berbahasa Belanda, 1929), Madah Kelana (1931), Kertajaya (drama, 1932), Sandhyakala Ning Majapahit (drama, 1933), Manusia Baru (drama, 1940), Kakawin Arjuna Wiwaha (karya Mpu Kanwa, terjemahan bahasa Jawa Kuna, 1940).

Dalam bidang kesusastraan, Sanusi Pane seringkali dianggap sebagai kebalikan dari Sutan Takdir Alisjahbana. Sanusi Pane mencari inspirasinya pada kejayaan budaya Hindu-Budha di Indonesia pada masa lampau. Perkembangan filsafat hidupnya itu, sampailah kepada sintesa Timur dan Barat, persatuan jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, serta idealisme dan materialisme; yang tercermin dalam karyanya "Manusia Baru", yang diterbitkan oleh Balai Pustaka di tahun 1940. Umumnya drama Sanusi Pane berbentuk closed drama, yaitu drama untuk dibaca, bukan untuk dipentaskan.

Armijn Pane
[1908-1970]
Kritikus Sastra Pertama Indonesia

Armijn Pane, lahir di Muara Sipongi, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, 18 Agustus 1908 – meninggal di Jakarta, 16 Februari 1970 pada umur 61 tahun. Armijn Pane adalah anak ketiga dari delapan bersaudara: abangnya adalah Sanusi Pane dan adiknya adalah Lafran Pane. Ayah mereka bernama Sutan Pangurabaan Pane, seorang seniman daerah yang berhasil membukukan sebuah roman daerah berjudul Tolbok Haleoan. Keseharian ayahnya yang banyak menggeluti dunia sastra, huga seorang guru termasuk guru di  Taman Siswa. Selain itu ayahnya juga adalah aktivis Partai Nasional pada masa pergerakan di Palembang. Ayahnya bercerai dengan ibunya, dan m,enikah lagi. Hal ini diduga merupakan hal yang banyak mempengaruhi penjiwaan dari karya-karya Armijn Pane selanjutnya.

Armijn Pane dikenal dengan beberapa nama samaran, antara lain, yaitu: Adinata dan Kartono. Nama-nama samaran inilah yang sering dipakai oleh Armin Pane sewaktu menulis puisi yang dimuat pada majalah Poedjangga Baroe, Pedoman Masyarakat dan Pandji Islam. Armijn Pane. Armijn Pane adalah penulis yang terkenal keterlibatannya dengan majalah Pujangga Baru. Bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah, Armijn Pane mampu mengumpulkan penulis-penulis dan pendukung lainnya dari seluruh penjuru Hindia Belanda untuk memulai sebuah pergerakan modernisme sastra.

Selain menulis puisi dan novel, Armijn Pane juga menulis kritik sastra. Tulisan-tulisannya yang terbit pada Pujangga Baru, terutama di edisi-edisi awal menunjukkan wawasannya yang sangat luas dan, dibandingkan dengan beberapa kontributor lainnya seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan saudaranya Sanusi Pane, kemampuan menilai dan menimbang yang adil dan tidak terlalu terpengaruhi suasana pergerakan nasionalisme yang terutama di perioda akhir Pujangga Baru menjadi sangat politis dan dikotomis. Salah satu karya sastranya yang paling terkenal ialah novel Belenggu.

Hasil karyanya meliputi puisi, novel, kumpulan cerpen dan drama. Puisi: Gamelan Djiwa. Jakarta: Bagian Bahasa Djawa. Kebudayaan, Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. 1960 dan Djiwa Berdjiwa, Jakarta: Balai Pustaka. 1939. Novel: Belenggu, Jakarta: Dian Rakyat. Cet. I 1940, IV 1954, Cet. IX 1977, Cet. XIV 1991. Kumpulan Cerpen: Djinak-Djinak Merpati. Jakarta: Balai Pustaka, Cet. I 1940, Kisah Antara Manusia. Jakarta; Balai Pustaka, Cet I 1953, II 1979. Drama: Antara Bumi dan Langit”. 1951. Dalam Pedoman, 27 Februari 1951.

Armijn Pane adalah penulis cerpen yang lebih sungguh-sungguh. Dalam cerpen “Tujuan Hidup” ia mencoba melukiskan kesepian hidup seorang gadis yang menjadi guru dan memilih hidup menyendiri. Cerpen-cerpen yang ditulisnya sebelum perang dan sesudah perang dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul Kisah Antara Manusia (1953). Armijn Pane dalam drama-dramanya banyak mengambil latar belakang kenyataan hidup zamannya. Berdasarkan cerpennya “Barang Tiada Berharga” ia membuat drama “Lukisan Masa”. Dramanya yang lain “Jinak-jinak Merpati”, juga melukiskan kehidupan zamannya sendiri.

Sutan Takdir Alisjahbana
[1908-1994]
Bapak Bahasa Indonesia Moderen

Sutan Takdir Alisjahbana atau dikenal dengan STA lahir di Natal, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908. Diberi nama Takdir karena jari tangannya hanya ada empat. Ibunya seorang Minangkabau yang telah turun temurun menetap di Natal, Sumatera Utara. Ayahnya, Raden Alisyahbana gelar Sutan Arbi, ialah seorang guru. Selain itu, dia juga menjalani pekerjaan sebagai penjahit, pengacara tradisional (pokrol bambu), dan ahli reparasi jam. Selain itu, dia juga dikenal sebagai pemain sepak bola yang handal. Kakek STA dari garis ayah, Sutan Mohamad Zahab, dikenal sebagai seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan agama dan hukum yang luas.

Setelah lulus dari sekolah dasar pada waktu itu, STA pergi ke Bandung. Setelah lulus dari Hogere Kweekschool di Bandung, STA melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di Jakarta (Batavia), yang merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. STA menamatkan Kweekschool (HKS) di Bandung pada tahun 1928, kemudian meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987).

Di Jakarta, STA melihat iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Dia diterima setelah melamar, dan di dalam biro itulah STA bertemu dengan banyak intelektual-intelektual Hindia Belanda pada saat itu, baik intelektual pribumi maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan intelektualnya yang terdekat, Armijn Pane.

STA pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar dan Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).

Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).

Dalam kedudukannya sebagai penulis ahli dan kemudian ketua Komisi Bahasa selama pendudukan Jepang, Takdir melakukan modernisasi bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Ia yang pertama kali menulis Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia, buku mana masih dipakai sampai sekarang, serta Kamus Istilah yang berisi istilah- istilah baru yang dibutuhkan oleh negara baru yang ingin mengejar modernisasi dalam berbagai bidang. Setelah Kantor Bahasa tutup pada akhir Perang Dunia kedua, ia tetap memengaruhi perkembangan bahasa Indonesia melalui majalah Pembina Bahasa yang diterbitkan dan dipimpinnya. Sebelum kemerdekaan, Takdir adalah pencetus Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo. Pada tahun 1970 Takdir menjadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi Pertama Bahasa- Bahasa Asia tentang "The Modernization of The Languages in Asia (29 September-1 Oktober 1967). Direktur Cenfer for Malay Studies Universitas Malaya tahun 1060-1968.

Sebagai penulis, karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana adalah Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929), Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932), Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935), Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936), Layar Terkembang (novel, 1936), Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940), Puisi Lama (bunga rampai, 1941), Puisi Baru (bunga rampai, 1946), Pelangi (bunga rampai, 1946), Pembimbing ke Filsafat (1946), Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957), The Indonesian language and literature (1962), Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966), Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969), Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971), Values as integrating vorces in personality, society and culture (1974), The failure of modern linguistics (1976), Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977), Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa Modern (kumpulan esai, 1977), dan Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977).

Selain itu karya tulisanya adalah Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978), Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978), Kalah dan Menang (novel, 1978), Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982), Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982), Sociocultural creativity in the converging and restructuring process of the emerging world (1983), Kebangkitan: Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru (drama bersajak, 1984), Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985), Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985), dan Sajak-Sajak dan Renungan (1987).

Sementara sebagai editor meliputi Kreativitas (kumpulan esai, 1984) dan Dasar-Dasar Kritis Semesta dan Tanggung Jawab Kita (kumpulan esai, 1984). Sedangkan sebagai penerjemah adalah Nelayan di Laut Utara (karya Pierre Loti, 1944), Nikudan Korban Manusia (karya Tadayoshi Sakurai; terjemahan bersama Soebadio Sastrosatomo, 1944).  

STA meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun. Sampai akhirnya hayatnya, ia belum mewujudkan cita-cita terbesarnya, menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar kawasan di Asia Tenggara. Ia kecewa, bahasa Indonesia semakin surut perkem-bangannya. Padahal, bahasa itu pernah menggetarkan dunia linguistik saat dijadikan bahasa persatuan untuk penduduk di 13.000 pulau di Nusantara. Ia kecewa, bangsa Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, sebagian Filipina, dan Indonesia yang menjadi penutur bahasa melayu gagal mengantarkan bahasa itu kembali menjadi bahasa pengantara kawasan.

Bahrum Rangkuti
[1919- 1977]
Sastrawan Berpangkat Kolonel yang Menjadi Ustadz

Bahrum Rangkuti lahir 7 Agustus 1919 di Pulau Galang, Bintan, Riau. Ayahnya bernama M. Tosib Rangkuti dan ibunya, Siti Hanifah Siregar. Jadi, walaupun Bahrum lahir di Riau, ia adalah putra Batak asli. Bahrum dibesarkan dalam keluarga Islam yang kental, ayahnya mendalami tarikat dan ibunya menyenangi tasawuf dan mistik. Bahrum mengawali pendidikan formalnya di kota Medan. Ia masuk ke HIS (Hollands Inlandse School), sekolah Belanda setingkat sekolah dasar dan kemudian ia melanjutkan  ke HBS (Hogere Burger School), setingkat dengan sekolah menengah pertama. Tamat HBS, Bahrum pindah ke Yogyakarta dan melanjutkan studinya di AMS (Algemene Middekbare School), setingkat dengan sekolah menengah atas. Setelah tamat AMS ini ia melanjutkan lagi pendidikannya ke Faculteit  de Lettern, yang kemudian menjadi Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Ia belajar bahasa-bahasa Timur sampai tingkat sarjana muda. Skripsi sarjananya berjudul “Islam dan kesusastraan Indonesia Modern” (1961) diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Islam and “Modern Indonesian Literature”.

Ia juga pernah belajar di Jamiatul Mubasheren, Rabwah, di Pakistan pada tahun 1950. Sekembali dari Pakistan, Bachrum melanjutkan kuliahnya di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, untuk mendapatkan gelar sarjana penuh dan tamat pada tahun 1960.  Dengan menguasai tujuh bahasa, Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Arab, Urdu, dan bahasa daerahnya, Bachrum bekerja sebagai penerjemah. Ia bekerja sebagai penerjemah bahasa Inggris dan Prancis, di samping menjadi wartawan freelance dan guru di sebuah sekolah menengah atas di Jakarta.

Bachrum Rangkuti  pernah berceramah mengenai aspek sosial  hari raya di depan para perwira ALRI pada saat  Angkatan Laut RI  itu  dipimpin oleh  Edi Martadinata. Ternyata, ceramahnya itu sangat memukau Edi dan para perwira. Lalu, Edi meminta Bachrum untuk menjadi Ketua Dinas Perawatan Rohani Islam di AL dan diberi pangkat Kolonel Tituler. Walaupun ia telah menjadi kolonel tituler ALRI, Bahrum tidak dapat mengabaikan  kecintaannya terhadap dunia sastra. Dunia itu selalu menarik dan memanggil hati nuraninya.

Karya Bachrum Rangkuti terdiri dari puisi, drama, cerpen, esai dan terjemahan. Puisi-puisinya yang sudah diterbitkan adalah “Tuhanku” Pandji Poestaka (1943), “Langit dan Bumi Baru” Pandji Poestaka (1944), “Peperangan Badar” Pandji Poestaka (1944), “Prajurit Rohani” Pandji Poestaka (1944), “Akibat” Pantja Raja (1946), “Borobudur” Pantja Raja (1946), “Cita-Cita” Pantja Raja (1946), “Doa Makam” Pantja Raja (1946), “Hidupku” Pantja Raja (1946), “Insyaf” Pantja Raja (1946), “Kembali” Pantja Raja (1946), “Laut Kenangan” Pantja Raja (1946), “Sakura” Pantja Raja (1946), “Tugu Kenangan” Pantja Raja (1946), “Laila” Gema Suasana (1948), “Pasar Ikan” Gema (1948),  “Sajak-Sajak Muhammad Iqbal” Siasat (1951), “Syuhada” Hikmah (1952), “Iqbal” Hikmah (1953), “Malam dari Segala Malam” Gema Islam (1962),  “Pesan” Gema Islam (1966), “Nafiri Ciputat” Horison (1970), “Anak-Anakku” Horison (1971), “Dunia Baru” Horison (1971), “Ayahanda” Horison (1971), “Bunda” Horison (1971), “Lebaran di Tengah Gelandangan” Horison (1971), “Mercon Malam Takbiran” Horison (1971), “Pejuang” Horison (1971), “Rumah” Horison (1971),  “Sembahyang di Taman HI” Horison (1971), “Tuhan di Tengah-Tengah Insan” Horison (1971), “Sumbangsih” dan “Hikmah Puasa dan Idul Fitri” di Koninklijke Boekhandel dan Drukkery G. Kollf dan Co.

Puisi-puisi Bachrum Rangkuti yang belum diterbitkan antara lain: “Tao Toba” (1970), “Sipirok” (1970), “Natalandi Gita Bahari”, “Nunukan” (1970), “Mesjid di Tanjung Selor” (1970), “Ka’bah” (1971), “Bunga Bondar” (1971), “Mina” (1971), “Madinah” (1971), “Arafah” (1971), “Makkah” (1971), “Hajir” (1971), “Nisbah” (1971), “Yang Genap dan Yang Ganjil” (1971), “Bengkel Manusia”, “Meluruskan Bahtera” (1973), “Nyanyian di Pohon Kelapa” (1973), “Mi’raj”, “Kepada Biniku A. Bara”, “Isa a.s.” (1969), “Idul Fitri”, “Mula Segala” (1969), “Muhammad s.a.w.” (1969), “Beton, Beling, dan Besi” dan “Laut Lepas Menanti”.

Bachrum Rangkuti juga menulis drama antara lain “Laila Majenun” Gema Suasana (1949), “Sinar memancar dari Jabal Ennur” Indonesia (1949), “Asmaran Dahana” Indonesia (1949), “Arjuna Wiwaha”. Sedangkan cerpen-cerpen yang ditulis Bachrum Rangkuti adalah “Ditolong Arwah” Pandji Poestaka (1936), “Rindu” Poedjangga Baroe (1941), “Renungan Jiwa” Pandji Poestaka (1942), “Ngobrol dengan Cak Lahama” gema Suasana (1946), “Sayuti Parinduri Alfaghuru” atau “Antara Krisis Cita, Moral, dan Benda” Zenith (1952), “Laut, Perempuan, dan Tuhan” Gema Tanah Air (1969).

Esai-esaI yang dihasilkan Bachrum Rangkuti adalah “Setahun di negeri Bulan Bintang I, “Setahun di negeri Bulan Bintang II, dan “Setahun di negeri Bulan Bintang II” dan “Angka dan Penjelmaannya” dimana keempat esai ini dimuat di Zenith tahun 1951. Bachrum juga menulis esai “Pengantar kepad Cita Iqbal” Indonesia (1953) dan “Terapan Hikmah Isra dan Mikraj dalam kehidupan Sehari-hari” Operasi (1968). Dua esai lainnya yang disampaikan dalam ceramah adalah “Muhammad Iqbal Pemikir dan Penyair” ceramah di TIM (1969) dan “Cita-Cita M. Iqbal” TIM (1976). Beberapa esai lainnya adalah “Kandungan Al Fatihah” (1953), “Nabi KitaBacaan untuk Anak-ana,  “Pramudya Ananta Toer; dan Karya seninya” (1963), “Sejarah Indonesia I dan II”, “Metode Mempelajari Tafsir Qur’an dan Bahasa Arab”, “Sejarah Khalifah Usman r.a”, “Sejarah Nabi Muhammad s.a.w”, “Islam dan Pembangunan” dan “The Spritual Wealth in Islam”.

Bachrum Rangkuti juga melakukan terjemahan yang meliputi “Puisi Dunia” karya Sophocles dari Antagone (1948), “Dengan Benih Kemerdekaan” karya Alexander Pushkin (1949), “Kepada Penyair” karya M. Iqbal, “Insan dan Alam” karya M. Iqbal (1953), “Waktu itu Adalah Pedang” karya M. Iqbal (1953), “Iqbal Di Hadapan Rumi” karya M. Iqbal (1953), “Soledad Montoya” karya Lorca, “Lintas Sejarah Dunia” karya Jawaharlal Nehru, dan “Asrar-J. Khudi” karya Dr. Muhammad Iqbal.

Sebagai sastrawan, Bachrum Rangkuti terakhir muncul di Pusat Kesenian Jakarta pada tanggal 28 September 1969 untuk membacakan sajak-sajak Iqbal, pengarang dari Pakistan. Di antara karya-karyanya di atas, tafsir Kandungan al-Fatihah adalah yang paling monumental. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta tahun 1976. Buku ini merupakan cetakan ke depalan. Dalam pidato pengukuhan Guru Besar, Bachrum Rangkuti menyampaikan topic “Al Quran, Sejarah, dan Kebudayaan”.Bachrum Rangkuti wafat tahun 1977.

Bakri Siregar
[1922-1994]
Sastrawan yang Menjadi Dosen Bahasa Indonesia di Universitas Warsawa dan Universitas Beijing
Bakri Siregar lahir di Langsa, Aceh, 14 Desember 1922. Pernah terjun dalam dunia jurnalistik sebagai redaktur harian Pendorong (Medan), redaktur majalah Arah (Medan).
Sebagai seorang intelektual Bakri mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan sebagai dosen di berbagai universitas baik di dalam negeri maupun di luar negeri, diantaranya; dosen bahasa Indonesia di Universitas Warsawa, Polandia (1956—1957), dosen bahasa Indonesia di FKIP Universitas Sumatra Utara (1957—1959), dan terakhir menjadi guru besar Sejarah Sastra Indonesia Modern di Universitas Beijing, RRC (1959—1962).
Dalam dunia perpolitikan yang melibatkan para sastrawan Indonesia, Bakri pernah terlibat di dalamnya, dengan menjadi anggota Pimpinan Pusat Lekra (1959—1965), dan kemudian diangkat sebagai Ketua Umum Lembaga Sastra Lekra (1965), setelah peristiwa G30S PKI meletus, Bakri ditahan hingga tahun 1977. Karya-karyanya yang pernah tercatat antara lain; Jejak Langkah (1953), Saijah dan Adinda (1954), Sejarah Sastra Indonesia Modern I (1964), dan sebuah tulisan yang berbentuk manuskrip dengan judul Angkatan-Angkatan dalam Sastra Indonesia. Bakri Siregar meninggal di Jakarta, 19 Juni 1994.

Mochtar Lubis
[1922-2004]
Sastrawan dan Budayawan yang Berani dan Jujur

Mochtar Lubis lahir di Sungai Penuh, Kerinci. Provinsi Jambi pada tanggal 7 Maret 1922. Ia adalah anak keenam dari sepuluh bersaudara. Ayahnya, Raja Pandapotan Lubis, adalah seorang asisten demang di kota kelahiran Mochtar Lubis antara tahun 1915 hingga 1929. Ayahnya berasal dari Desa Muara Suro, dekat Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal sekarang. Yang meninggal 1953. Ibunya, Siti Madinah Nasution, seorang anak kuria (induk kampung) di jaman Belanda meninggal di Medan 22 Mei 1986 dalam usia 90-an tahun. Selama hidup ibunya bersama saudara bungsu Mochtar Lubis, Asniah di desa Muara Suro.

Riwayat pendidikan Mochtar Lubis dimulai di sekolah Sekolah Rakyat hanya selama setahun sebelum dibukanya sekolah dasar berbahasa Belanda (HIS) di Sungai Penuh  yang ditempuh selama empat tahun (selesai tahun 1936). Di sekolah inilah ia mulai mengasah bakat sastranya belajar menulis cerita dan dimuat di surat kabar Sinar Deli. Kemudian masuk Sekolah Ekonomi Indonesische Nationale School (INS) di Kayutanam (selesai tahun 1940). Setelah itu melanjutkan pendidikan ke East-West Center, Universitas Hawaii, Amerika Serikat.

Semasa hidupnya, Mochtar Lubis memulai kariernya bekerja pada Bank Factory di Jakarta. Di zaman pendudukan Jepang, ia bekerja sebagai redaktur Radio Militer Jepang kemudian menjadi wartawan LKBN sekitar tahun 1945. Selain itu, ia juga pernah menjadi wartawan Harian Merdeka dan aktif dalam beberapa mass media seperti: Pemimpin Redaksi Majalah Mutiara, Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya, Pemimpin Umum Majalah Sastra Horison, Penulis/Kolumnis di Kompas, SH, Tempo dan Fokus.

Di samping itu, ia juga pernah aktif dalam beberapa organisasi, di antaranya: aktif di Yayasan Indonesia Hijau, Assosiate Editor pada World Paper Boston AS, Dirjen Yayasan Pers Asia, Manila, Anggota Pacific Community, Wakil Ketua Akademi Jakarta, Ketua Dewan Penyantun LBH, Anggota International Press Institute London, Anggota Associatition for Cultural Freedom, dan Anggota Mondial pour les Etudes Sur le Futur.

Sementara itu, karirnya sebagai sastrawan mulai ditapaki Mochtar Lubis sejak penerbitan buku pertamanya berjudul Si Djamal (tahun 1950), kemudian Djalan Tak Ada Udjung (tahun 1952). Sebagai sosok pengarang, Mochtar Lubis telah melahirkan beberapa karya berupa kumpulan cerpen dan novel, yaitu: Teknik Mengarang (1951), Teknik Menulis Skenario Film (1952), Penyamun dalam Rimba (cerita anak, 1972), Manusia Indonesia (1977), Bunga Rampai Korupsi (bersama James C. Scott, 1984), Hati Nurani Melawan Kezaliman: Surat-Surat Bung Hatta kepada Presiden Soekarno (1986), Harimau! Harimau! (Novel). Atas prestasinya tersebut, Mochtar Lubis meraih Hadiah, dari Yayasan Buku Utama Departeman P & K (tahun 1975).

Mochtar Lubis adalah seorang jurnalis dan pengarang ternama asal Indonesia. Sejak zaman pendudukan Jepang ia telah dalam lapangan penerangan. Ia turut mendirikan Kantor Berita Antara, kemudian mendirikan dan memimpin harian Indonesia Raya yang telah dilarang terbit. Ia mendirikan majalah sastra Horizon bersama-sama kawan-kawannya. Pada waktu pemerintahan rezim Soekarno, ia dijebloskan ke dalam penjara hampir sembilan tahun lamanya dan baru dibebaskan pada tahun 1966. Pemikirannya selama di penjara, beliau tuangkan dalam buku Catatan Subversif (1980).

Dengan keuletan dan pemikiran yang kritis serta ketokohan Mochtar Lubis menyebabkan sejumlah peneliti melakukan studi mengenai Mochtar Lubis, seperti M.S. Hutagalung yang focus pada novel Mochtar Lubis ‘Jalan Tak Ada Ujung’ (1963). kemudian Henri Chambert-Loir mengangkatnya ke desertasi dengan judul ‘Mochtar Lubis, une vision del'Indesie  Contemporaine’ (Paris, 1974) dan selanjutnya David T. Hill, Mochtar Lubis: Author, Editor, and Political Actor (disertasi, Canberra, 1989)

Pada akhir hayatnya Mochtar Lubis ikut sebagai pendiri Yayasan Obor Indonesia. Mochtar Lubis meninggal dunia dalam usia 82 tahun, pada hari Jum’at, 2 Juli 2004.

Mansur Samin
[1930-sekarang]
Penulis sajak Raja Sisingamangaraja

Mansur Samin lahir di Batangtoru, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, 29 April 1930. Pendidikan terakhir setingkat SMA yang diselesaikan di Solo, Jawa Tengah. Mansur Samin, selain pernah menjadi guru juga pernah menjadi  redaktur Siaran Sastra RRI-Solo, redaktur mingguan Adil di Solo, wartawan harian Merdeka (Jakarta), dan redaktur majalah Cerpen.
Karya-karya Mansur Samin antara lain: Perlawanan (kumpulan sajak, 1966), Kebinasaan Negeri Senja (drama, 1968), Tanah Air (kumpulan sajak, 1969), Dendang Kabut Senja (kumpulan sajak, 1969), Sajak-Sajak Putih (1969), Sontanglelo: Sajak-Sajak Cerita Rakyat (1996). Mansur Samin juga banyak menulis cerita anak-anak. Sajak Mansur Samin berjudul "Raja Sisingamangaraja", mendapat Hadiah Kedua majalah Sastra tahun 1963.
Mansur Samin lama tinggal di Solo dan pernah sutradara berbagai pertunjukan drama di Jawa Tengah. Mansur sendiri dikabarkan tidak pernah muncul sebagai pemain, itu berarti ia tidak pernah naik panggung. Pada waktu ia muncul di Taman Ismail Marzuki (TIM) 5 Nopember  (1976 ) merupakan debut bagi penyair yang yang saat itu sudah cukup sibuk menulis cerita anak-anak. Pemunculan kembali Mansur Samin di TIM tersebut tampaknya tidak tanggung-tanggung—dengan upacara adat Batak dan ia memerlukan dua macam pakaian untuk acara baca sajak-sajaknya itu. Dengan pakaian hitam ia memulai acara dengan memasuki panggung membawa dua obor menyala dalam gedung yang digelapi.
Seusai upacara adat, ketika Mansur masuk ganti pakaian kedua, pembawa acara, memberi komentar: "Semoga doa-doa Pak Mansur tadi diterima oleh leluhurnya di Batang Toru, agar pertunjukannya malam ini cukup menarik". Hadirin ketawa. Mansur Samin muncul kembali dengan jubah putih yang sepintas lalu mengingatkan kita pada pakaian juru masak di hotel. Acara Mansur Samin ini dinilai berhasil dan menarik perhatian banyak orang sehingga ruangan Teater Tertutup TIM yang cukup besar itu hampir dipenuhi pengunjung malam itu.

Ras Siregar
[1936-1993]
Penulis sprint

Sastrawan, lahir di Rantauprapat, Sumatera Utara, 10 Juni 1936. Pendidikan SD di Pematangsiantar (1950), sedangkan pendidikan SMP (1953) dan SMA (1955) di Bogor. Kemudian Sekolah Analisis Kimia dan terakhir tamat Sekolah Tinggi Publisistik, Jakarta (1974). Ras Siregar adalah anak ketiga di antara delapan bersaudara. Ayahnya, Baginda Soilangon, seorang pensiunan pegawai perkebunan. Ras menikah dengan Fauziah Hanum.

Pernah bekerja di Lembaga Ilmu Bidang Fakultas Kedokteran Hewan (Bogor), Laboratorium Kimia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (Makassar), Laboratorium Talens & Zoon NV, Laboratorium Pusat Kimia Fanna (Jakarta), dan terakhir menjadi Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Bank Pembangunan Indonesia Pusat (Jakarta).

Waktu kecil, Ras hanya ingin menjadi orang yang dikenal. Ketika di SMP, Ras sudah mulai menulis. Karangannya dimuat di ruangan anak-anak harian Merdeka. Ketika itu, ia sudah bermukim di Bogor. Ia juga dikenal sebagai penulis prosa. Bukunya yang sudah terbit: Harmoni (kumpulan cerpen, 1965), Terima Kasih (novel, 1968), Bintang-Bintang (kumpulan cerpen, 1972 dan 1975). Di Simpang Jalan (novel, 1988). Karyanya yang lain Bahasa Indonesia Jurnalistik (1987) dan  Mari Bermain Bridge (1986). Ras juga ikut sebagai penandatangan "Manifes Kebudayaan".

Menurut kawannya, Ras Siregar biasa melarikan mobilnya di jalan tol Jagorawi dengan kecepatan di atas 140 km per jam. Tetapi, Ras juga bisa ''ngebut'' dengan mesin tulis. Untuk sebuah artikel di koran, ia terkadang hanya membutuhkan waktu 40 menit. Sejak 1984, Ras mengisi rubrik tetap lembaran Bola, yang diterbitkan tiap Jumat oleh harian Kompas. Tulisannya tentang bridge juga sering muncul di media massa lain. Ketekunannya mengulas bridge ikut menentukan arah perkembangan jenis olah raga ini di tanah air. Sebagai pemain, Ras sempat menempati posisi kedua, setelah Manopo bersaudara, 1970. Dalam GABSI, Ras pernah menjabat wakil sekjen untuk urusan luar negeri. Ras meninggal di Jakarta, 25 Maret 1993.

Sori Siregar
[1938-sekarang]
Sastrawan Penulis Cerber berjudul “Wanita Itu Adalah Ibu” (Kompas)
Sori Siregar lahir di Medan 12 Nopember 1938. Nama lengkapnya Sori Sutan Sirovi Siregar. Menikah dengan Jusni Nasution, 24 Desember 1970. Empat hari kemudian berangkat ke Amerika atas bantuan Yayasan Asia Kuala Lumpur untuk belajar Creative Writing danDrama di University ofIowa International. Tahun 1959 setelah selesai dari SMA ia memasuki dunia jurnalistik sebagai wartawan harian Waspada Taruna dan juga duduk sebagai redaksi mingguan Duta Minggu yang terbit di Medan. Selain sebagai penulis, ia dikenal sebagai staf siaran di RRI Nusantara III Medan, kemudian hijrah ke Jakarta menjadi staf pada RRI stasiun Pusat Jakarta dan diangkat sebagai anggota staf BBC Seksi Indonesia, di Negara Inggris. Sori juga bekerja sebagai redaktur majalah Zaman dan Eksekutif.
Tahun 1964, dia ikut Konferensi Karyawan Pengarang Seluruh Indonesia (KKPI) di Jakarta sebagai peserta. Tahun 1970 menghadiri Konferensi Pengarang Asia ke III di Taipei dan Taiwan sebagai peninjau, menghadiri Kongres PEN International ke 37 di Seoul, Korea Selatan juga sebagai peninjau. 1973 menghadiri Poetry International di London sebagai penonton. Sori diundang untuk menghadiri pertemuan pengarang ASEAN I di Kuala lumpur tahun 1977. Setahun kemudian diundang menghadiri pertemuan Puisi ASEAN di Jakarta sebagai peninjau. Tahun 1979 Sori mengikuti pertemuan Sastrawan Nusantara III di Jakarta sebagai peserta.
Kumpulan cerpennya Dosa atas Manusia dibahas beberapa sastrawan. Telepon, Bungalow dan Sebuah Memori Kecil yang ketiganya dimuat dalam majalah Horison. Awan Musim Gugur adalah karyanya yang berbentuk novel. Cerita bersambungnya berjudul Wanita Itu Adalah Ibu dimuat pada harian Kompas bulan Juli 1979 dan menjadi pemenang dalam sayembara mengarang roman yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Selain itu novelnya telepon juga mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta Karya-karya Sori diantaranya Senjata dan Diantara Seribu Warna (kumpulan cerpen), Sejumlah Artikel Budaya Radio BBC, Suara Manusia dan RRI Stasiun Nasional Jakarta, Drama Two Excecutioners, Beberapa cerpen terjemahan dari Jorge Luis Borges, Erskine, Caldwell, John Steinbeck, William Sorayan, Lin Yu Tang dll.

Hamsad Rangkuti
[1943-sekarang]
Sastrawan yang Berpikiran Liar
Hamsad Rangkuti, lelaki berpenampilan sangat sederhana ini lahir di Titikuning, Medan, Sumatera Utara, pada tanggal 7 Mei 1943 adalah seorang sastrawan Indonesia. Ia sangat dikenal luas masyarakat melalui cerita pendek (cerpen).
Menghadapi kepedihan karena belitan kesulitan hidup, Hamsad pun sering menghabiskan hari-harinya dengan melamun dan berimajinasi bagaimana memiliki dan menjadi sesuatu. Berkembanglah berbagai pikiran liar, yang antaranya ia tuangkan dalam cerita pendek. Kebetulan juga ayahnya suka mendongeng. “Saya merasa bakat mendongeng itu saya peroleh dari ayah saya. Cuma dia secara lisan, saya dengan tulisan,” katanya.
Saat itu kebetulan akan berlangsung Konferensi Karyawan Pengarang seluruh Indonesia (KKPI) di Jakarta, dan ia termasuk dalam delegasi pengarang Sumatera Utara di tahun 1964. “Setelah pulang konferensi itulah saya memutuskan tinggal di Jakarta,” papar penandatangan Manifes Kebudayaan ini.
Dari sini pula kepengarangannya tumbuh dan berkembang. Masih di SMP di Tanjungbalai, Asahan, ditahun 1959, ia menghasilkan cerpennya yang pertama, Sebuah Nyanyian di Rambung Tua, yang dimuat di sebuah koran di Medan.
Novel pertamanya, Ketika Lampu Berwarna Merah memenangkan sayembara penulisan roman DKI, yang kemudian diterbitkan oleh Kompas pada 1981. Bagi Hamsad, proses kreatif lahir dari daya imajinasi dan kreativitas. Sehingga ia pernah bilang pada suatu seminar di Ujung Pandang bahwa para seniman rata-rata pembohong. Tapi bagaimana ia sendiri terilhami? Hamsad lalu menunjuk proses penciptaaan cerpennya Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu.

Abdullah Harahap
[1943-sekarang]
Pionir novel gotik modern

Abdullah Harahap lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 17 Juli 1943. Dia lalu merantau ke Jawa dan kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung, Jurusan Civic Hukum, tapi tak tamat. Saat kuliah, dia nyambi sebagai wartawan di harian Gala, Bandung.

Karier jurnalistiknya dimulai sebagai reporter di harian Gala, dan akhirnya menjadi wartawan di Selekta Group, yang menerbitkan majalah Senang, Stop, Detektif dan Romantika, dan Selekta di Jakarta. Di sini Abdullah kerap meliput peristiwa kriminal, yang akan mempengaruhi gaya penulisan novelnya.

Abdullah sebenarnya dapat disebut sebagai pionir novel gotik modern. Di Indonesia, novel-novel yang mengangkat tema dunia gaib ini lazim disebut “novel misteri”, istilah yang juga digunakan Abdullah untuk menyebut karyanya. Ketika novel-novel Abdullah diangkat ke layar televisi TPI pada 2001, nama acaranya pun Teve Misteri.

Menurut Abdullah, dia bisa menyelesaikan satu novel dalam satu bulan. “Tapi, kalau enggak in, biar sudah sampai halaman 60, saya bisa berhenti dan merobek naskah itu,” ujarnya. Tapi sering juga dia dikejar tenggat untuk menyelesaikan ceritanya karena penerbit sudah membayar di muka. Penerbit pun tak peduli pada kualitasnya. “Yang penting nama Abang ada di sana,” kata satu penerbit kepada Abdullah.

Abdullah kebanyakan menggali bahan novelnya dari cerita-cerita orang atau legenda yang hidup di suatu daerah. “Kalau saya dengar ada cerita yang menarik di suatu tempat, saya datang ke sana,” ujarnya. Metode wawancara kerap dia gunakan, misalnya bertanya kepada dokter ahli untuk mendapat penjelasan soal penyakit tertentu atau kepada pengacara untuk kasus tertentu.

Karya Abdullah Harahap (Disusun secara alfabet): Babi Ngepet, Bila Malam Tiada Berbintang, Dendam Berkarat dalam Kubur , Dendam Iblis Cantik, Dendam Roh Jejadian, Dikejar Dosa, Dosa Turunan, Jerit Mayat Dari Liang Lahat, Langkah-langkah Iblis, Manusia Serigala, Makhluk Kembar Terkutuk, Menebus Dosa Turunan, Misteri Anak-anak Iblis, Misteri Lemari Antik, Misteri Perawan Kubur, Misteri Sebuah Peti Mati, Panggilan Neraka, Penunggu Dari Kegelapan, Puteri Peneluh, Suara dari Alam Gaib, Sumpah Leluhur dan Tarian Iblis.

Abdullah berhenti menulis novel, meski tidak total, pada 1990-an dan sibuk membuat skenario untuk siaran televisi, khususnya yang bertema roman dan horor. Sejak itu pula novelnya mulai langka di pasaran.

Ashadi Siregar
[1945-sekarang]
Penulis Novel Cintaku Di Kampus Biru

Lahir di Pematang Siantar, Sumatra Utara 3 Juli 1945. Pendidikan menengahnya diselesaikan di Kota Padang Sidempuan: SMP Negeri I Padang Sidempuan (1961) dan SMA bagian B Negeri I Padang Sidempuan (1964). Pendidikan tinggi dimulai dan lulus dari Jurusan Publisistik Fakultas Sospol UGM pada 1970 dan menjadi pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada serta Direktur Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogya/LP3Y.

Ashadi Siregar mencuat ke permukaan lewat novel legendarisnya ‘Cintaku di Kampus Biru’. Dalam karirnya, dia telah menulis 12 novel, 4 di antaranya difilmkan, menulis dan menyunting sejumlah buku tentang media dan kebudayaan, menulis sejumlah artikel kontribusi jurnal dan antologi buku tentang media dan kebudayaan dan menulis kolom untuk suratkabar dan majalah berita.

Ashadi Siregar pernah menjadi Redaktur Mingguan Publica Yogyakarta (1968), Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab Mingguan Sendi Yogyakarta (1972 – 1973), Pembantu lepas (stringer) Majalah Tempo Jakarta untuk Yogyakarta (1973), Redaktur Ahli Majalah JURNAL Pasar Modal Indonesia, Jakarta (2000) dan Ketua Tim Ombudsman SKH Kompas sejak 2003.

Pada 1974 Ashadi Siregar ditahan oleh polisi karena menolak pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. "Ashadi merupakan guru bangsa yang dengan tulisan dan konsistensi telah memberikan banyak manfaat. Memasuki usia senja 65 tahun, jurnalis senior ini meluncurkan buku berjudul "Ashadi Siregar: Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru."

Pamusuk Eneste
[1951-sekarang]
Sastrawan yang Menulis “Buku Pintar Sastra Indonesia” 

Pamusuk Eneste (singkatan Nst=Nasution) l
ahir di Padangmatinggi, Sipirok, Tapanuli Selatan Sumatra Utara, 19 September 1951. Ia menyelesaikan pendidikan di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1977).

la pernah menjadi Pemimpin Redaksi majalah Tifa Sastra (1972 1978), Redaktur Kebudayaan Surat Kabar Kampus Universitas Indonesia Salemba (1976 1978), Dosen Bahasa Indonesia pada Akademi Perawatan St. Carolus, Jakarta (1978), Lektor Bahasa Indonesia pada Universitas Hamburg, Jerman (1978 1981), dan Dosen Fakultas Sastra Universitas Pakuan, Bogor, (1983 1991). Kini ia menjadi Editor Bahasa dan Sastra Indonesia pada Penerbit PT Grasindo (sejak 1982) dan dosen Politeknik Universitas Indonesia (sejak 1992).

Karyanya:  Leksikon Kesusastraan  Indonesia Modern (1991), Novel Novel dan Cerpen cerpen Indonesia Tahun 1970 an (1982), Proses Kreatif I (1982), Cerpen Indonesia Mutakhir: Antologi Esei dan Kritik (1983), Proses Kreatif II (1984), Isabel Butmenkol (1986), Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang (1986), H.B. Jassin Paus Sastra  Indonesia (1987), Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern (1987), Novel dan Film (1991), Tuan  Gendrik (1993), Kamus Sastra Untuk Pelajar  (1994), Mengenal Chairil Anwar (1995), Bibliografi Sastra Indonesia (2001), dan Buku Pintar Sastra Indonesia  (2001).

Budi P. Hatees
[1972-sekarang]
Sastrawan Sipirok di Era Internet

Budi P. Hatees (singkatan Hts=Hutasuhut) lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, 3 Juni 1972. Putra kedua dari pasangan Rencong P Hutasuhut dan Nurhayati Nainggolan. Sang ibu adalah seorang seniman pengrajin kain adat Sipirok. Saat masih duduk di bangku SMP, Budi sudah menelurkan karya. Sajak-sajaknya  muncul di beberapa harian daerah Sipirok dan  Sumut. Cerpennya pun dimuat di majalah remaja ibukota. Budi merantau ke Jakarta pada tahun 1991. Menyelesaikan pendidikan sarjananya di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta.

Seorang jurnalis sejak 1992 dan pernah memiliki kolom di koran Lampung Post. Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) Periode 2005-2009. Siapakah Dia? Kunjungi: http://puisibudiphatees.blogspot.com.

Karya-karyanya meliptui puisi, cerpen, dan esai yang pernah dimuat di media massa lokal dan nasional. Sebagian lainnya tergabung dalam buku: Ziarah Sunyi (puisi, 1995), Getar II (1996), Narasi Sunyi, Ibadah Sunyi, Perjalanan Sunyi (puisi, 1996), Graffiti Gratitud (puisi, 2001), Ketika Duka Tersenyum (cerpen, 2002), Waktu Bulan (puisi, 2002), Ini ... Sirkus Senyum (cerpen, 2002), Cermin dan Malam Ganjil (cerpen, 2002), Anak Sepasang Bintang (2003), Perempuan Bermata Lembut (cerpen, 2004) dan Pertemuan Dua Arus (puisi, 2004).

Meski Budi P. Hatees berada di tanah rantau, ia yang semasa mahasiswa sempat bekerja menjadi wartawan majalah ekonomi, tak ingin lepas dari bayang-bayang tradisi dan budaya asal yang telah menyatu di setiap hela nafasnya. Budi tak hanya menggeluti jurnalistik dan sastra. Ia mendekap seni tradisional, menjadi  penari dan pemukul gendang di Perkumpulan Masyarakat Adat Sipirok Jakarta. Tujuan dari perkumpulan seni tradisional ini adalah agar warga keturunan Batak Angkola (Sipirok) yang bermukim di Jakarta tak melupakan adat istiadat  leluhurnya. 

Budi P. Hatees adalah seorang sastrawan muda Indonesia. Penerus dari nama-nama besar, sastrawan dari Sipirok, seperti: Merari Siregar, Sanusi Pane, Armijn Pane, Bakri Siregar, Ras Siregar, Sori Siregar, Ashadi Siregar dan Abdullah Harahap dan tentu saja sastrawan terdahulu: Soetan Pangurabaan dan Soetan Hasoendoetan. Bravo Anak Muda.  

--------------------
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap dari berbagai sumber. Sumber utama, antara lain adalah:
•           Abdullah Harahap (http://hanaoki.wordpress.com)
•           Armin Pane (http://id.wikipedia.org)
•           Ashadi Siregar (http://ashadisiregar.wordpress.com)
•           Bahrum Rangkuti (http://bimasislam.kemenag.go.id)
•           Bakri Siregar (http://prov.jakarta.go.id)
•           Budi P. Hatees (http://id.wikipedia.org; http://haya77.multiply.com)
•           Hamsad Rangkuti (http://pusatbahasa.depdiknas.go.id)
•           Mansur Samin (http://pusatbahasa.depdiknas.go.id; (http://majalah.tempointeraktif.com)
•           Merari Siregar (http://pusatbahasa.depdiknas.go.id)
•           Muhammad Kasim (http://prov.jakarta.go.id)
•           Pamusuk Eneste (http://indonesiatera.com)
•           Ras Siregar (http://pusatbahasa.depdiknas.go.id)
•           Sanusi Pane (http://pusatbahasa.depdiknas.go.id)
•           Sori Siregar (http://prov.jakarta.go.id)
•           Suman Hs (http://ibnuanwar.wordpress.com)
•           Sutan Hasoendoetan Siregar (http://tobadreams.wordpress.com)
•           Sutan Pangurabaan Pane  (http://www.facebook.com)
•           Sutan Takdir Alisyahbana (http://id.wikipedia.org)
•           Willem Iskander (http://basyral-hamidy-harahap.com/)

Baca juga:


·         Dicari! Presiden dari Tapanuli Bagian Selatan

·         Irjen Pol Saud Usman Nasution Menjadi Kadiv Humas Polri: Congratulation

·         Mayjen TNI Azmyn Yusri Nasution: Like Father, Like Son

·         Mara Oloan Siregar, Ongku P. Hasibuan dan Syarlan K. Marbun: Trio ITB dari Padang Sidempuan

·         Letjen Achmad Rivai Harahap dan Kegiatan Pramuka di Tapanuli Bagian Selatan: Sebuah Catatan Tentang Jambore Nasional dan Raimuna Nasional

·         Kolonel Inf Syamsul Rizal Harahap dan Kombes Pol Drs Marsauli Siregar

·         Pahlawan Nasional ADAM MALIK

Tidak ada komentar: