Rabu, Juli 18, 2012

Topografi ‘Sosial Ekonomi’ Tapanuli Selatan: Situasi dan Kondisi Jelang Kemerdekaan Republik Indonesia


Oleh Akhir Matua Harahap

Permukaan bumi (topografi) Tapanuli Selatan pada dasarnya tampak sebagai laut, pantai, pegunungan dan lembah-lembah yang diantaranya terdapat sungai-sungai dan danau-danau. Kondisi umum di atas permukaan bumi Tapanuli Selatan sekitar kemerdekaan Indonesia adalah vegetasi yang terdiri dari hutan (jungle dan forest), kebun-kebun rakyat (tanaman keras dan tanaman pangan) dan persawahan (padi). Yang sering terlupakan adalah situasi sosial dan ekonomi wilayah yang direpresentasikan oleh area-area pemukiman penduduk (kota/urban dan desa/rural); jembatan dan jalan yang menghubungkan arus orang dan barang; dan bangunan-bangunan lain (perumahan, perkantoran, perpasaran, candi-candi dan lain sebagainya).

Pada masa seputar kemerdekaan Indonesia, Tapanuli Selatan adalah bagian dari Provinsi Sumatera. Pada tahun 1946. Provinsi Sumatera dipecah menjadi tiga provinsi yakni: Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Provinsi Sumatera Utara terdiri dari tiga keresidenan yaitu: Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli. Keresidenan Tapanuli dibagi lagi menjadi empat kabupate yakni Nias, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan dengan ibukota berkedudukan di Sibolga. Pada saat perang kemerdekaan (angresi Belanda ke dua) Kabupaten Tapanuli Selatan sempat dipecah menjadi tiga kabupaten, yaitu:

  • Kabupaten Padang Sidempuan dengan ibukota Padang Sidempuan (terdiri dari Kewedanaan Padang Sidempuan dan Kewedanaan Sipirok).
  • Kabupaten Batang Gadis dengan ibukota Panyabungan (terdiri dari seluruh Mandailing, Ulu, Pakantan dan Batang Natal),
  • Kabupaten Padang Lawas dan Barumun dengan ibukota Gunung Tua (terdiri dari Padang Lawas dan Barumun).

Pemukiman penduduk

Penduduk adalah bagian sentral dari suatu wilayah pembangunan, khususnya pembangunan sosial dan ekonomi. Pada waktu itu, penduduk Tapanuli Selatan sudah lama menyebar baik di dalam maupun ke luar wilayah Tapanuli Selatan. Persebaran penduduk di dalam wilayah Tapanuli Selatan waktu itu sudah merata sebagai konsekuensi penyebaran penduduk secara tradisional membuka huta (‘mamungka huta’) di masa lalu (sebelum dan setelah Belanda dating). Namun gerak penyebaran penduduk Tapanuli Selatan masih terus berjalan sebagaimana wujudnya dapat dilihat pada masa sekarang. Pada waktu sekitar kemerdekaan persebaran desa-desa, kepadatan penduduk desa-desa dan kepadatan penduduk kota-kota di wilayah Tapanuli Selatan cukup kontras jika dibandingkan dengan situasi dan kondisi sekarang akibat adanya perpindahan penduduk. Perubahan wilayah permukiman penduduk dapat dilihat sebagai akibatkan adanya desa-desa yang hilang (ditinggal penduduknya), sebaliknya ada desa-desa baru yang terbentuk, serta ada desa yang berubah menjadi kota dan sebuah kota kecil (town) berkembang menjadi kota besar (city).  

Pada waktu di seputar kemerdekaan Indonesia benchmark sebuah kota besar adalah Jakarta. Kota Jakarta adalah kota level satu yang levelnya sama dengan Kota Medan. Ukuran level ini ditentukan oleh ukuran luas wilayah perkotaan (urban), bangunan-bangunan penting (perkantoran dan perdagangan), jumlah penduduk (kepadatan), keutamaan daerah sekitar (sumber-sumber hasil bumi) dan posisi strategis kota dalam sistem pemerintahan Belanda (kolonial) dan sistem pemerintahan Indonesia (NKRI). Ukuran yang disebut terakhir ini menjadi tempat atau pusat pendidikan, pusat kebudayaan dan pusat pergolakan politik serta area perlawanan/pertempuran antara rakyat Indonesia dengan pasukan/militer Belanda. Berbagai ukuran kota sesuai levelnya diperlihatkan perbandingannya dalam tabel.


Level
Nama Kota
1
Jakarta

Medan
2
Padang

Bogor
3
Natal

Pematang Siantar

Tanjung Balai

Kisaran

Sibolga

Rantau Prapat

Tebing Tinggi

Padang Panjang

Bukittinggi
4
Padang Sidempuan

Gunung Tua

Kotanopan

Panyabungan
5
Sipirok

Batangtoru

Muara Sipongi

Ujung Batu

Binanga



Di Tapanuli Selatan pada waktu sekitar kemerdekaan Indonesia hanya Kota Natal yang dikategorikan sebagai level tiga. Kota Natal waktu itu sama pentingnya dengan Kota Sibolga, Kota Tanjung Balai dan Kota Pematang Siantar di Sumatera Utara dan Kota Bukit Tinggi di Sumatera Barat. Kota Padang Sidempuan, Kota Gunung Tua, Kota Kotanopan dan Kota Panyabungan dikategorikan sebagai kota level empat. Sedangkan kota-kota lainnya seperti Kota Sipirok, Kota Batangtoru Kota Ujung Batu dan Kota Muara Sipongi dikategorikan sebagai level lima yang hanya satu tingkat di atas huta (desa).

Lalu lintas darat

Di masa dulu, areal pemukiman penduduk yang disebut huta (desa) sudah tersebar merata di seluruh wilayah Tapanuli Selatan. Antar huta pada waktu itu sudah terhubung satu sama lain karena adanya kekerabatan (adat dan perkawinan) dan karena adanya arus pertukaran barang (barter). Alat pengangkutan masih bersifat bersahaja seperti kuda beban, sampan dan pedati (kerbau). Jalan-jalan yang dilalui umumnya masih terbentuk karena pengaruh alam baik yang tingkatannya tampak sebagai jalan pedati (track), jalan setapak (footpath) atau tanda-tanda jejak (trail) sebagaimana bias diperhatikan dalam film-film wild west di Amerika Serikat. Jalan-jalan ini mengikuti daerah aliran sungai, prairie, semak-semak dan diantara pepohonan di pinggir atau harus menembus hutan belantara. Oleh karena jalan-jalan ini kerap dilalui maka dalam perkembangannya terbentuk jalan-jalan penghubung  yang selanjutnya menjadi cikal bakal terbentuknya jalan-jalan arteri di wilayah Tapanuli Selatan.

Ketika Belanda mulai masuk ke wilayah Tapanuli Selatan, beberapa jalan arteri yang sudah ada dikembangkan pasukan Belanda dengan bantuan penduduk (sukarela atau dipaksa) baik dengan menggunakan peralatan tradisional maupun modern seperti mesin-mesin atau traktor. Sejumlah pertimbangan yang digunakan oleh kavelary pasukan Belanda dalam membangun jalan sudah tentu berdasarkan elevasi, lalu lintas orang dan arus perdagangan dan visi misi mereka dalam memperluas daerah/kawasan yang akan dikuasai. Pembangunan jalan modern di Tapanuli Selatan dimulai ketika pemerintah Belanda membuka jalan penghubung utama antara Natal dan Panyabungan yang kemudian dilanjutkan menuju arah Muara Sipongi dan Padang Sidempuan. Dari arah lain hal yang sama juga dilakukan dari Sibolga menuju Padang Sidempuan. Oleh karena daerah Padang Sidempuan sudah sejak lama menjadi simpul lalu lintas dari berbagai penjuru (era Inggris di Sibolga) maka dalam perkembangannya dilakukan pembukaan jalan-jalan penghubung utama dari dan ke Padang Sidempuan via Sipirok menuju Tarutung, via Gunung Tua menuju Rantau Prapat dan via Ujung Batu menuju Pekanbaru.

Pada akhir masa kolonial Belanda di Tapanuli Selatan master plan pembangunan jalan-jalan utama di wilayah Tapanuli Selatan sudah sepenuhnya terbentuk. Namun dalam perkembangannya,  ruas-ruas jalan yang sudah ada kualitasnya berbeda-beda. Perbedaan kualitas ini sudah tentu sangat terkait dengan keperluan visi misi Belanda yang dikaitkan dengan pemerintahan, pergerakan pasukan dan kebutuhan maskapai dagang pengusaha Belanda. Selanjutnya pada masa pendudukan Jepang yang berlangsung tidak lama, mereka pada hematnya hanya memanfaatkan jalan-jalan yang sudah ada dan belum sempat memberi kontribusi terhadap pertambahan kuantitas dan kualitas jalan karena pasukan Jepang lebih sibuk membangun benteng-benteng dan perencanaan-perencanaan logistik. Akibatnya, jalan-jalan selama pendudukan Jepang kualitas jalan-jalan yang ada sudah jauh menurun jika dibandingkan era Belanda.

Setelah pendudukan Jepang berakhir di Tapanuli Selatan yang kemudian berlanjut dengan perang kemerdekaan, maka kondisi jalan-jalan yang ada bukannya bertambah dan meningkat kualitas tetapi justru semakin memburuk. Pemerintah Indonesia setelah pengakuan kedaulatan RI sudah tentu belum sempat membangun dan jalan-jalan yang ada di sekitar kemerdekaan berhasil didokumentasikan oleh Army Map Service, Corps of Engineer US Army Washington DC yang telah selesai pada tahun 1955. Hasil pemetaan jalan di wilayah Tapanuli Selatan di sekitar masa kemerdekaan Indonesia adalah sebagai berikut:

No
Ruas jalan
Jumlah jalur
Permukaan jalan
1
Padang Sidempuan-Sibolga
dua
Loose/rapuh
2
Padang Sidempuan-Panyabungan
dua
Loose
3
Panyabungan-Kotanopan-Muara Sipongi
satu
Hard/keras
4
Kotanopan-Muara Sipongi
satu
Hard
5
Muara Sipongi-Bukittinggi
satu
Hard
6
Bukittinggi-Padang
dua
Hard
7
Panyabungan Natal
satu
Loose
8
Padang Sidempuan-Pal XI
satu
Hard
9
Pal XI-Sipirok
dua
Loose
10
Pal XI-Aek Godang
satu
Hard
11
Aek Godang-Gunung Tua
dua
Hard
12
Aek Godang-Sibuhuan-Ujung Batu
satu
Hard
13
Sipirok-Tarutung
satu
Loose
14
Sipirok-Simangambat
satu
Loose
15
Gunung Tua-Binanga-Sibuhuan
satu
Loose
16
Gunung Tua-Langga Payung
satu
Hard
17
Langga Payung-Rantau Prapat
dua
Hard
18
Ujung Batu-Pasir Pangaraian*
satu
Loose

*hanya bisa dilalui saat musim kering


Masa ‘keemasan’ Natal

Di Tapanuli Selatan angkutan dan transportasi air/laut hanya ditemukan di daerah Natal dan sekitarnya. Kota Natal sebagai kota pelabuhan, peranannya sangat besar di masa lalu baik untuk menyalurkan hasil-hasil bumi untuk ekspor, juga pelabuhan Kota Natal menjadi pintu masuk produk-produk impor yang diperdagangkan di Tapanuli Selatan. Konon, Kota Natal dulunya tidak hanya sebagai pusat perdagangan tetapi juga pintu masuk penyebaran agama Islam di daerah Mandailing/Angkola. Masa-masa keemasan Kota Natal ini cukup lama yang mengakibatkan Kota Natal sebagai pelabuhan dan pusat perkembangan sosial tumbuh menjadi sebuah kota—satu satunya ‘kota besar’ di Tapanuli Selatan.

Pendudukan Jepang menjadi titik balik masa-masa ‘keemasan’ Natal sebagai kota dagang yang penting di Tapanuli Selatan dan bahkan di pantai barat Sumatera. Sejak jaman Portugis kemudian jaman Inggris hingga jaman Belanda Kota Natal tumbuh dan berkembang sebagai pusat perdagangan. Setelah asisten residen dipindahkan ke Kota Natal dan selanjutnya dipindahkan ke Kota Panyabungan, posisi strategis Kota Natal sangat fenomenal. Kemudian asisten residen ditingkatkan menjadi Residen dan berkedudukan di Padang Sidempuan, posisi strategis Kota Natal masih tetap cukup penting.

Salah satu sudut Kota Natal masa doeloe yang masih eksis
Setelah ibukota residen Tapanuli dipindahkan ke Sibolga, posisi strategis Kota Natal mulai berkurang dan Kota Sibolga sebagai pusat perdagangan yang dulunya setara dengan Kota Natal mulai berkembang dan meningkat pesat. Akibatnya, arus barang dan orang  dari wilayah Tapanuli Selatan semakin mengarah ke Sibolga. Sementara pelabuhan Kota Natal sekalipun masih tetap berdenyut tetapi dalam aktivitas ekonomi hanya berfungsi sebagai feeder untuk Kota pelabuhan Sibolga. Ketika terjadi pendudukan Jepang di Tapanuli, kedudukan Kota Natal sebagai kota dagang yang cukup penting di masa sebelumnya mulai tampak menurun bahkan sudah menunjukkan tanda-tanda menuju titik terendah. Kini, Kota Natal sangat merana, memang bukti-bukti keutamaannya di masa doeloe masih terlihat bekas-bekasnya, namun kapal-kapal dagang sudah tidak terlihat lagi walaupun hanya sekadar mampir.

Tidak ada komentar: