Jumat, Januari 31, 2014

Ekonomi Kopi di Mandailing-Angkola ‘Tempo Doeloe’: Tanam Paksa, Kuli Panggul dan Pembangunan Jalan


*Semua artikel Budaya Angkola Mandailing dalam blog ini Klik Disini

Menurut buku ‘All About Coffee’ karya William H. Ukers (New York, 1922), kopi Mandailing dan kopi Angkola merupakan kopi terbaik dunia dan memiliki harga tertinggi di pasar internasional. Kopi Mandailing (Mandheling) dideskripsikan dalam buku tersebut  sebagai berikut:  the best coffee in the world", also the highest priced; formerly a Government coffee; yellow to brown, large-sized bean, dully roast but free from quakers; it is of heavy body, exquisite flavor and aroma. Sedangkan kopi Angkola (Ankola) dideskripsikan sebagai berikut: formerly a Government coffee; large fat bean, making a dull roast; second only to Mandhelings; it has a heavy body  and rich, musty flavor. Nikmatnya kopi Angkola atau kopi Mandailing di masa doeloe, kini bisa ditemukan di Sipirock Coffee.

Kopi Mandailing dan kopi Angkola yang di masa ‘doeloe’ harganya ‘selangit’ di Eropa dan Amerika Serikat, ternyata pada awalnya harus pula dibayar mahal oleh penduduk ‘bumi’  Mandailing dan Angkola di Tapanuli Selatan. Kisah budidaya kopi (koffie cultuur) di Mandailing/Angkola yang menerapkan sistem yang seragam dengan tanam paksa (cultuurstelsel) sebagaimana di Jawa, tetapi kisah yang terjadi di Mandailing/Angkola justru jauh sangat  memilukan ketika hasilnya harus diangkut dengan kuli panggul secara paksa pula dari gudang-gudang kopi di pedalaman ke pelabuhan-pelabuhan di pantai. Kisah transportasi paksa kopi ini memicu dipercepatnya pembangunan jalan di Mandailing dan Angkola.

***
Ekonomi kopi di Angkola-Mandailing bermula di tahun 1833--awal Belanda memasuki Tapanuli dari Natal, kemudian menduduki daerah Mandailing dan menaklukkan daerah Angkola. Tidak lama setelah Mandailing-Angkola dikuasai militer Belanda, pada tahun 1835 pemerintah kolonial Belanda mendatangkan bibit kopi Arabica dari Jawa-- karena di beberapa lokasi di Mandailing khususnya di Pakantan sangat sesuai untuk pertumbuhan kopi. Ternyata terbukti hasilnya sangat-sangat bagus. Daerah Angkola khususnya Sipirok ternyata juga sangat sesuai untuk tanaman kopi. Ini berarti lereng-lereng gunung yang hawanya dingin sangat memungkinkan kopi tumbuh dengan sempurna. Atas dukungan perusahaan NHM milik Raja Willem I—area penanaman kopi di Mandailing diperluas ke Angkola. Untuk mendukung adopsi sistem tanam paksa (cultuurstelsel) di Mandailing-Angkola lantas pada tahun 1840, di Tano Bato diadakan kebun pembibitan kopi yang akan didistribusikan selain di daerah Mandailing juga didistribusikan ke daerah Angkola khususnya Sipirok.

***
Pada tahun 1845 pemerintah kolonial Belanda melakukan pembelian pertama dari penduduk dan kemudian disimpan di gudang kopi. Gudang-gudang ini terdapat di Tanobato untuk daerah Mandailing (28 pal), Kotanopan untuk daerah Ulu dan Pakantan (11 pal). Pada fase berikutnya kemudian gudang kopi dibangun di Padang Sidempuan. Gudang kopi Padang Sidempuan ini pusat pengumpulan di Angkola dan juga menjadi gudang pengamplasan dari dua gudang pemasok yang berada di Sipirok dan Sigalangan. Masalahnya kemudian bagaimana mengangkut hasil panen kopi ke pantai—tempat dimana kapal-kapal Belanda berlabuh.  Untuk mengatasi itu diperlukan kuli dengan upah rendah ke Natal dan Lumut.

A.P. Godon yang pertamakali datang ke Mandailing/Angkola pada bulan April, 1848 melaporkan ‘tragedi’  ekonomi kopi di Mandailing dan Angkola. Penduduk Mandailing/Angkola kala itu berjumlah 44.000 jiwa berdasarkan hasil sensus yang dilakukan bulan September 1846 yang distribusinya sebagai berikut: Mandailing Jae sebanyak 17.000 jiwa, Mandailing Julu sebanyak 11.000 jiwa, Ulu dan Pakantan sebanyak 5.000 jiwa dan Angkola-Sipirok sebanyak 11.000 jiwa. Pada tahun tersebut daerah Padang Bolak/Padang Lawas belum sepenuhnya dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda.

Jumlah penduduk Mandailing-Angkola sudah jauh berkurang ketika dia datang karena adanya ekonomi kopi yang menyebabkan pemiskinan, migrasi penduduk ke pantai, timbulnya penyakit dan kematian. Pemerintah kolonial bersama para kepala-kepala kampung melakukan pemerasan terhadap penduduk. Para penduduk dewasa dipaksa bekerja menanam kopi yang hanya untuk makan dan tinggal di gubuk-gubuk yang terbuat dari bambu dengan rangka kayu kasar beratapkan ijuk. Sementara laki-laki dewasa (yang belum menikah dibebaskan dari tugas ini) dipaksa bagaikan budak untuk mengangkut kopi ke pantai (Natal). Pakantan-Kotanopan, Tanobato-Tapus dilakukan dengan kuli. Dari Tapus ke Natal dilakukan oleh kuli panggul yang berbeda. Di Angkola hasil kopi tanam paksa dibeli dari penduduk dan dikumpulkan di Padang Sidempuan  lalu diangkut dengan kuli panggul ke Lumut yang berjarak 27 pal. Dari Lumut kemudian diangkut dengan kapal-kapal layar kecil ke Kota Sibolga.

***
Di Mandailing pada tahun 1848 terdapat sebanyak 2.800.000 pohon kopi yang sebagian sudah menghasilkan. Sebagai gambaran menurut A.P Godon yang datang ke gudang kopi pada bulan Mei 1848 ada sebanyak 4.100 pikul (1 pikul = 1 kwintal = 100 kg) kopi di gudang yang merupakan hasil panen dari tahun 1847. Kemudian pada bulan Januari 1849 dilakukan pembelian sebanyak 5.200 pikul, dan dengan demikian terdapat sebanyak  9.300 pikul kopi di gudang yang sudah dikumpulkan  di Tanobato dan siap untuk diangkut dengan kuli panggul ke Natal.

Pada waktu itu jalan antar kampung masih jalan setapak di Ulu/Pakantan tetapi pada ruas tertentu jalan yang dilebarkan tetapi masih sempit untuk ukuran kuda beban antara Muarasipongi ke Kotanopan hingga ke Tanobato. Jalan dari Tanobato hingga ke Natal yang jaraknya 50 pal dlui melalui jalan setapak yang melewati pegunungan dengan ketinggian 4.000 kaki dan bahkan dengan medan yang berat.

Untuk transportasi kopi di pedalaman menjadi monopoli para kepala-kepala kampung. Kuli-kuli ini merupakan para budak yang dimiliki kepala-kepala kampung dan penduduk dewasa yang dipaksa untuk ambil bagian dalam pengangkutan kopi ke Tapus—dari Tapus ke Natal (8 pal) dilakukan oleh kuli yang berbeda. A.P. Godon mengamati sendiri kerja transportasi paksa ini dari Tanobato ke Natal dibawah pengamanan militer. Dengan jumlah kopi yang ada di gudang sebanyak 9.300 pikul maka dibutuhkan 69 hari untuk setiap kuli panggul dimana jumlah kuli panggul yang tersedia sebanyak 6.000 orang yang mana setiap pikul dibagi 3 bagian panggul dan lamanya perjalanan jalan kaki selama 15 hari pulang pergi [9300 X 3 kali X 15 hari (pp) = 418,500 hari, dibagi diantara 6.000 kuli].

Bisa dibayangkan penderitaan penduduk Mandailing dan Angkola. Di Mandailing kegiatan mengangkut kopi hingga ke Tanobato adalah bagian dari tanam paksa. Dari Pakantan ke Kotanopan dilakukan dua hari (4 hari pp). Hanya dari Tanobato ke Natal yang diberi upah angkut secata tersendiri. Para kuli panggul bekerja nonstop selama dua bulan lebih melalui jalan-jalan setapak melalui hutan, pinggir jurang yang dalam, baik hujan maupun terik dan udara yang dingin yang hanya dibayar 15 sen sehari, padahal pemerintah kolonial Belanda mengalokasikan anggaran yang memadai sebanyak 25 sen sehari kepada dewan kuli (kepala-kepala kampung). Hal yang kurang lebih sama antara Padang Sidempuan ke Lumut.

Budidaya (koffie kultuur) membuat penduduk jelata menderita ditambah lagi di sana sini terdapat banyak pelanggaran dalam mekanismenya. Kebencian penduduk terhadap transportasi paksa semakin meningkat. Di Mandailing, A.P. Godon mengusulkan agar pembukaan jalan dipercepat agar bisa menggunakan gerobak. Sebelumnya sudah ada tiga rute alternatif pada tahun 1841 dari survei yang dilakukan sebelumnya, yakni: via Tanobato menuju Natal, via daerah aliran sungai Batang Gadis menuju Singkuang dan via Muara Sipongi menuju Air Bangis. Namun akhirnya yang dipilih adalah via Tanobato ke Natal yang sudah digunakan oleh para pedagang dan para kuli panggul untuk transportasi paksa. Rute menyusuri Batang Gadis menuju Singkuang tidak sesuai karena tidak memadai untuk tonase kapal di muara sungai Batang Gadis. Rute ke Air Bangis sangat terlalu jauh.

Akhirnya transportasi paksa dihapuskan dan digantikan dengan kereta kuda dan gerobak diadakan. Bulan Agustus 1848, jembatan gantung di atas Batang Gadis digantikan dengan jembatan rangka kayu dengan beratap ijuk. Dengan demikian jalan Penyabungan-Tanobato Batu dapat dilalui kuda beban gerobak. Kemudian di Tanobato dibangun gudang besar untuk menampung hasil panen kopi dan pengamplasan.

Pada tahun 1849 A.P Godon membahas dengan kepala-kepala kampong tentang pembangunan jalan dan bagaimana mempekerjakan orang  jalan menuju Natal. Godon dapat meyakinkan Dewan Mandailing bahwa ini adalah cara yang lebih baik jika dilakukan dengan transportasi paksa. Mr Swieten, kepala tatakelola Pantai Barat Sumatra ditempatkan untuk memulai pengawasan pembangunan dengan membawa masterplan jalan yang sudah disiapkan di Padang. Sementara itu, Godon melakukan kalkulasi kebutuhan tenaga kerja.

Godon sangat hati-hati mempertimbangkan antara kebutuhan tenaga kerja untuk pembangunan jalan dengan kegiatan pertanian rakyat dan termasuk misi tanam paksa. Hanya sepertiga laki-laki setiap kampung yang dapat dipekerjakan untuk membangun jalan, selebihnya untuk tetap bekerja di pertanian. Diperoleh sebanyak 2.650 laki-laki yang mana Yang Dipertuan Kota Siantar menjadi pimpinan tertinggi. Ini berarti setiap kuria akan menyertakan 500 laki-laki dan kuria sendiri menjadi pimpinannya. Setiap Kepala Kampung membawahi 100 laki-laki dan setiap suhu mengkoordinir 25 orang.

Sistem kerja menjadi gotong royong tanpa ada campurtangan polisi. Godon hanya datang dua atau tiga kali seminggu ke lokasi pembangunan jalan. Pekerjaan pembangunan jalan ini dilakukan selama 180 hari (enam bulan) dan selesai pada tanggal 8 Januari 1851. Mr. Swieten pada bulan Maret 1951 melakukan pemeriksaan bahwa jalan ke Natal sudah sepenuhnya dapat dilalui gerobak yang ditarik dengan kerbau terlatih dan kuda beban yang digiring oleh laki-laki. Dengan demikian. kuli panggul-transportasi paksa tamat di Mandailing.

Dengan melihat keberhasilan pembangunan jalan di Mandailing, hal yang sama juga dilanjutkan di Angkola yakni dari Sipirok ke Padang Sidempuan dan ke Lumut. Sebelum adanya budaya kopi, arus perdagangan dari Sipirok ke Sibolga tidak melalui Padang Sidempuan, melainkan sepenuhnya via Bulumario dan Marancar. Budaya kopi mengarahkan rute transportasi kopi dari Sipirok melalui Padang Sidempuan karena gudang kopi oleh pemerintah kolonial Belanda di bangun di Padang Sidempuan. Jarak gudang di Sipirok ke gudang di Padang Sidempuan sejauh 19 pal. Jalan yang dilalui oleh kuda beban sangat sempit yang menurut A.P. Godon hanya kondusif di musim kemarau karena jalan-jalan sempit tersebut sangat licin di musim hujan.

Dalam buku Parlindungan disebutkan pada mulanya Van Asselt 1857 datang ke Parausorat sebagai pakus (pembeli/pedagang pengumpul kopi untuk pemerintah kolonial Belanda). Para pakus inilah yang memainkan peran di dalam proses pembelian, pergudangan dan pengangkutan di pedalaman di Angkola sebagaimana di Mandailing. Pada bulan Desember 1856 di seluruh Angkola/Mandailing terhitung terdapat sebanyak 2.952.081 batang tanaman kopi yang sudah menghasilkan dan pada tahun 1857 lebih dari 28.000 pikul kopi dipanen. Ketika transportasi kopi dari Tanobato ke Natal sudah menggunakan gerobak, pengangkutan kopi dari Padang Sidempuan ke Lumut masih dilakukan dengan kuli panggul. Hal ini karena jalan menuju Sibolga juga termasuk sulit apalagi sungai Batang Toru hanya dihubungkan jembatan gantung yang terbuat dari rotan.

Gudang kopi di Muarasipongi, 1895 (kitlv.nl)
Dalam perkembangannya, jembatan suspensi rotan ini baru diganti dengan jembatan yang lebih kencang yang terbuat dari kabel kawat telegraf yang pembangunannya selesai pada tahun 1882. Jembatan kabel ini dapat dilalui gerobak dan kuda beban. Sehubungan dengan dipindahkannya pusat pemerintahan kolonial Belanda di Tapanuli dari Panyabungan ke Padang Sidempuan 1884, maka arus transportasi kopi yang sebelumnya Tanobato ke Natal bergeser menjadi poros Muarasipongi, Kotanopan, Panyabungan ke Sibolga melalui Padang Sidempuan. Pelabuhan Natal mati suri seiring dengan makin berkembangnya pelabuhan Sibolga.

Jalan pos di Mandailing, 1901
Dalam sebuah laporan di dalam De Gids, Jaargang Vol. 50 pada tahun 1886 seluruh kopi di Mandailing-Angkola diangkut ke Sibolga--tidak melalui Natal lagi. Namun demikian, ujung transportasi darat kopi tetap hanya sampai di Lumut. Di dalam laporan ini disebutkan bahwa sudah pernah diadakan sebuah survei yang dilakukan oleh salah seorang karyawan perusahaan kopi Northward untuk melihat kemungkinan melalui daerah aliran sungai Batangtoru agar lebih singkat mengangkut kopi dari Mandailing-Angkola. Akan tetapi muara sungai Batang Toru tidak kondusif karena adanya sedimen lumpur yang tidak memungkinkan kapal berlabuh. Sebaliknya, belum  memungkinkan pula membangun jalan dari Lumut ke Sibolga karena kondisi medannya yang rawa-rawa.

 ***
Jika dulunya pusat perdagangan kopi di pelabuhan Natal pada fase berikutnya beralih menjadi pusat perdagangan kopi di pelabuhan Sibolga. Baik di Natal maupun Sibolga hasil budidaya kopi dari Mandailing/Angkola selanjutnya diteruskan ke Pelabuhan Padang melalui laut. Adanya pembangunan jalan di Mandailing/Angkola bagi penduduk yang berada di Mandailing/Angkola yang sebelumnya menjadi beban (bahkan sangat menakutkan) berubah menjadi kegiatan ekonomi yang menguntungkan. Ekonomi kopi yang pada mulanya mimpi buruk dan pahit bagi penduduk Mandailing/Angkola akhirnya berbuah manis dengan harga kopi tertinggi dunia.
__________________ 

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap dari berbagai sumber, antara lain:
-Godon, A. P.  De assistent-residentie Mandailing en Ankola, op Sumatra's Westkust, van 1849 tot 1857.
-Parlindungan, M.O. 1964.  Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833. Tandjung Pengharapan
-P.N. van Kampen & zoon. De Gids, Jaargang Vol. 50/ Amsterdam, 1886

Tidak ada komentar: