Sabtu, Mei 24, 2014

R. Soetan Casajangan Soripada Harahap: Tokoh Pendidikan, Penulis Buku Orang Indonesia Pertama yang Diterbitkan di Luar Negeri (1913)

Buku, karya Soetan Casajangan (1913)
*Untuk melihat semua artikel Sejarah TOKOH Tabagsel dalam blog ini Klik Disini


Radjioen gelar Soetan Casajangan Soripada adalah seorang pemuda yang berasal dari Padang Sidempuan yang dikenal sebagai pelopor pribumi di Belanda (Een Inlandsch pionir in Nederland). Soetan Casajangan (kini ditulis sebagai Sutan Casayangan atau Kasayangan) merupakan akademisi kedua yang datang ke negeri Belanda pada tahun 1905 untuk menempuh pendidikan tinggi. Soetan Casajangan memulai kuliah di Rijkskweekschool (setingkat IKIP sekarang) di Haarlem. Soetan Casajangan tidak langsung menjadi mahasiswa, karena kurangnya pengetahuan bahasa Belanda yang dimilikinya. Direktur Rijkskeekschool, Haarlem, P. H. van der Ley memintanya mengikuti matrikulasi selama satu tahun lebih (1905 dan 1906), kemudian baru mengikuti kuliah secara reguler, lulus dan memperoleh akte guru (diploma). Selanjutnya Soetan Casajangan mengambil akte kepala sekolah (hoofdacte) selama tiga tahun dan berhasil diraih pada tahun 1912. Berita kelulusan Soetan Casajangan ini dimuat di koran De Sumatra Post yang terbit tanggal 26 September 1912. Soetan Casajangan sendiri adalah mahasiswa non Belanda yang pertama kali diizinkan berkuliah di Rijkskweekschool. Setelah Soetan Casajangan lulus, di sekolah yang sama di Haarlem waktu itu adalah Ibrahim gelar Datoek Tan Malaka yang berasal dari Fort de Kock (Bukittinggi).

Soetan Casajangan memulai pendidikan di kampung halamannya di Batunadua. Setelah mengikuti sekolah rakyat selama tiga tahun, Soetan Casajangan melanjutkan pendidikan di sekolah guru (Kweekschool) di Padang Sidempuan. Setelah lulus, Soetan Casajangan yang masih berumur 17 tahun,  mengabdikan dirinya menjadi guru di Simapilapil. Soetan Casajangan, seorang guru yang bekerja keras mengajari masyarakatnya ternyata juga suka membaca. Soetan Casajangan dalam mengajar, sangat menekankan pentingnya mempelajari bahasa asing kepada murid-muridnya. 

Pada umur 30 tahun Soetan Casajangan merantau untuk sekolah di Negeri Belanda. Soetan Casajangan di perantauan sangat sungguh-sungguh, bahkan dia bersedia belajar privat Bahasa Belanda. Selama kuliah di negeri Belanda, Soetan Casajangan juga aktif menjadi asisten Profesor Charles Adriaan van Ophuysen di Universitas Leiden. Dua orang ini sebelumnya sudah saling kenal sebagai murid dan guru ketika van Ophuysen pernah menjadi Direktur Kweekschool Padang Sidempuan antara 1885 hingga 1890. Soetan Casajangan juga menjadi mentor para mahasiswa baru asal Indonesia (termasuk Todung Sutan Gunung Mulia Harahap, Soangkupon Siregar dan Rasid Siregar). Menariknya, Soetan Casajangan juga tidak lupa kepada murid-muridnya. Dari Algemeen Nederlandsche Verbon di Rotterdam, Soetan Casajangan mengupayakan dan mendapatkan buku-buku gratis lalu mengirimkannya ke tanah air. Ini menunjukkan bahwa jiwa Soetan Casajangan tetap terhubung dengan bangsanya.

Anggota Indische Vereniging (Soetan Casajangan duduk tengah)
Sebagai mahasiswa senior dan berprofesi guru di tanah air, Soetan Casajangan merupakan pelajar pertama di luar negeri yang tidak berbicara lagi tentang dirinya sendiri tetapi juga tentang soal kebangsaan dan nasib bangsanya sendiri. Bangsa pribumi harus ditingkatkan pendidikannya juga perlu mempelajari bahasa asing (waktu itu bahasa internasional adalah Bahasa Belanda). Menurut Soetan Casajangan, memiliki pengetahuan bahasa asing melalui pendidikan merupakan kunci untuk memperoleh pengetahuan secara luas. Soetan Casajangan memulai memperjuangkan pendidikan untuk bangsanya sendiri melalui perlunya mendidirikan sebuah organisasi mahasiswa. Gagasan pendidirian organisasi mahasiswa ini dapat diwujudkan dengan berdirinya Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) yang disahkan pada tanggal 25 Oktober 1908 di Leiden. Soetan Casajangan menjadi presiden pertama.
Organisasi ini menggalang persaudaraan orang Indonesia yang berada di negeri Belanda yang dikemudian hari menjadi cikal bakal Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Eropa. Ketika Indische Vereeniging didirikan pada waktu yang relatif bersamaan didirikan organisasi Boedi Oetomo yang digagas oleh dokter Wahidin Soedirohoesodo. Keutamaan Indische Vereeniging karena cakupannya lebih luas yang berbasis Indonesia (kebangsaan) sedangkan organisasi Budi Utomo hanya terbatas di wilayah Jawa dan Madura saja (komunitas).

Soetan Casajangan tokoh yang telah belajar banyak melakukan kontak dengan orang Eropa. Ia adalah seorang yang percaya diri, santun dan berpenampilan selalu tampak elegan lebih-lebih dengan ciri khasnya yang menggunakan kacamata bertangkai emas. Karena itu, dia kerap ditunjuk mengikuti acara-acara resmi yang mewakili mahasiswa Indonesia di Belanda. Namun demikian, Soetan Casajangan memiliki cara yang berbeda untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Soetan Casajangan lebih menekankan pentingnya untuk mencerdaskan anak bangsa terlebih dahulu, karena dengan pendidikan, Indonesia baru bisa keluar dari ketertindasan dalam segala hal. Dengan demikian visi dan misi Soetan Casajangan tentang kemakmuran pribumi hanya dapat dilakukan melalui peningkatan pendidikan. Melalui Indische Vereeniging, proses kesadaran berbangsa ditumbuhkembangkan oleh Soetan Casajangan. Organisasi anak negeri ini dibentuk dengan tujuan untuk memajukan kemakmuran dan peningkatan pendidikan pribumi. Oleh banyak pihak, para pakar etika di negeri Belanda, Soetan Casajangan dianggap sebagai pelopor pribumi dan oleh para akademisi Indonesia, Soetan Casajangan dianggap sebagai peletak dasar kesadaran kebangsaan Indonesia dan penentu orientasi kesatuan Indonesia.

Soetan Casajangan melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi. Di kampung halamannya, di Padang Sidempuan dia rasakan sendiri ketidakadilan itu nyata, di negeri Belanda diperjuangkannya dihadapan para pakar bangsa Belanda, juga sekembalinya di tanah air, perjuangan menuntut keadilan terus bergelora. Ketika tengah kuliah di negeri Belanda, sepak terjang Soetan Casajangan sudah diketahui umum, karena itu Soetan Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato dihadapan para anggotanya. Dalam forum yang diadakan pada tahun 1911, Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan pendidikan pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya.

Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).
..saya selalu berpikir tentang pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwa tidak pernah luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi).

Pada tahun 1920, Soetan Casajangan diundang kembali oleh Vereeniging Moederland en Kolonien dari tanah air untuk berpidato di hadapan para anggota organisasi pada tanggal 28 Oktober 1920 dengan makalah 19 halaman yang berjudul :'De associatie-gedachte in de Nederlandsche koloniale politiek (modernisasi dalam politik kolonial Belanda). Forum ini juga dihadiri oleh Sultan Yogyakarta. Soetan Casajangan tetap dengan percaya diri untuk membawakan makalahnya. Berikut beberapa petikan isi pidatonya:
 
Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).
....saya berterimakasih kepada Mr. van Rossum, ketua organisasi...yang mengundang dan memberikan kesempatan kembali kepada saya...di hadapan forum ini....pada bulan 28 Maret 1911 (sekitar sepuluh tahun lalu)...saya diberi kesempatan berpidato karena saya dianggap sebagai pelopor pendidikan bagi pribumi...ketika itu saya menekankan perlunya peningkatan pendidikan bagi bangsa saya...(terhadap pidato itu) untungnya orang-orang di negeri Belanda yang respek terhadap pendidikan akhirnya datang ke negeri saya..dan memenuhi kebutuhan pendidikan (yang sangat diperlukan bangsa) pribumi. Gubernur Jenderal dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras untuk merealisasikannya..yang membuat ribuan desa dan ratusan sekolah telah membawa perbaikan..termasuk konversi sekolah rakyat menjadi sekolah yang mirip (setaraf) dengan sekolah-sekolah untuk orang Eropa..
Sekarang saya ingin berbicara dengan cara yang saya lakukan pada tahun 1911...saya sekarang sebagai penafsir dari keinginan bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah (politik etik) dalam pendidikan...tetapi kesetaraan antara coklat dan putih...saya menyadari ini tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda, bahkan sebagian oleh bangsa saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling takut dengan usul kebijakan baru ini...karena dapat merugikan kepentingannya..perlu diingat para intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan intelektual bangsa Belanda..organisasi ini saya harap dapat menjembatani perlunya kebijakan baru pendidikan. saya sangat senang hati Vereeniging Moederland en Kolonien dapat mengupayakannya...karena anggota organisasi ini lebih baik tingkat pemahamannya jika dibandingkan dengan Dewan..
 
***
Soetan Casajangan lahir di Batunadua, Padang Sidempuan, 30 Oktober 1874. Oppung (kakek) Soetan Casajangan seorang Kepala Kuria di Batunadua bernama Patuan Soripada. Kakeknya termasuk salah satu tokoh penting dalam melawan Padri. Ayah Soetan Casajangan bernama Dja Tagor gelar Mangaraja Sutan dan ibunya bernama Sajo Intan. Dja Tagor adalah satu-satunya Kepala Kuria di Tanah Batak yang sempat mengenyam pendidikan barat dan belajar banyak dari pergaulannya dengan orang-orang Eropa. Mangaraja Sutan adalah pelopor penghapusan perbudakan di Mandailing-Angkola pada tahun 1863 dan juga aktif untuk meredakan kekacauan yang terjadi di daerah Padang Lawas. Setelah ayahnya meninggal dunia, Soetan Casajangan, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, jabatan 'kepala adat' justru Soetan Casajangan meminta adiknya mengambilalih jabatan itu. Soetan Casajangan ingin berjuang seperti ayah dan kakeknya. Darah ayah mengalir dalam diri Soetan Casajangan: like father, like son

Soetan Casajangan mulai berjuang dengan meretas mimpi untuk melanjutkan pendidikannya di Eropa. Boleh jadi mimpi ini terinspirasi dari Willem Iskander Nasution, yang menjadi orang pertama pribumi Indonesia menuntut ilmu di Negeri Belanda. Willem Iskander belajar ke negeri Belanda pada tahun 1857 dan selesai dengn memperoleh sertifikat guru bantu pada tahun 1862. [Pada kunjuangan keduanya ke negeri Belanda  tahum 1874, Willem Iskander hanya bertindak sebagai mentor untuk sejumlah guru-guru dari Sumatra dan Jawa yang dibiayai oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Namun semua anggota rombongan ini termasuk Willem Iskander tidak kembali ke tanah air karena sakit dan meninggal di dalam perjalanan dan setelah berada di negeri Belanda]. Soetan Casajangan berangkat sendiri, tanpa tatapan dari ayah dan kakek.

Manifest kapal Soetan Casajangan (iklan di koran Amsterdam 5-7-1905)
Singkat cerita, Soetan Casajangan, anak pertama dari tiga bersaudara, berangkat dari Batavia 5 Juli 1905 dan tiba di Rotterdam 30 Juli 1905.  (lihat manifest keberangkatan kapal Prinses Juliana Batavia-Amsterdam yang dimuat di koran Belanda yang terbit di Amsterdam tanggal 5 Juli 1905). Sehari kemudian Soetan Casajangan berkunjung ke rumah mantan gurunya Profesor Charles Adriaan van Ophuysen di Leiden. Pada bulan September Soetan Casajangan menemukan seorang guru di Amsterdam yang juga menyediakan tempat tinggal bersamanya dan mulai belajar bahasa Belanda dan belajar lainnya secara teratur. Interaksinya dengan sang guru dan ajakan Soetan Caajangan kepada pemuda-pemudi pribumi untuk datang menuntut ilmu jauh ke negeri Belanda diceritakan Soetan Casajangan dalam sebuah artikel singkat di Bintang Hindia yang terbit 1905. Deskripsi yang menarik tersebut nyata-nyata meningkatkan minat pemuda terpelajar di Indonesia. Jumlah yang datang ke Belanda semakin meningkat dan pada tahun 1907 diperkirakan jumlahnya sebanyak duapuluhan akademisi muda yang tengah belajar di Belanda [bandingkan dengan tahun 1905, jumlah mahasiswa baru enam orang].

***
Soetan Casajangan adalah seorang guru pribumi di tanah air, juga seorang mahasiswa di Rijkskweekschool di Haarlem, juga seorang mentor bagi mahasiswa baru asal Indonesia, juga penggagas kesadaran kebangsaaan di komunitas mahasiswa Indonesia (Indisch Vereeniging). Soetan Casajangan pernah memperoleh ketenaran sebagai asisten Profesor Charles Adriaan van Ophuysen di Universitas Leiden. Soetan Casajangan, juga adalah seorang editor Bandera Wolanda (1909) dan pemimpin redakasi (redaktur) Bintang Perniagaan (1911). Bandera Wolanda adalah kelanjutan Bintang Hindia, yang mana redaktur Hindia Belanda adalah Abdul Rivai (mahasiswa pertama yang datang ke negeri Belanda). Bintang Perniagaan diterbitkan oleh Fa. B.J. Rubens & Co. Soetan Casajangan juga pernah menjadi guru di negeri Belanda. Soetan Casajangan yang kala itu masih kuliah tetapi sudah mendapat akte diploma guru sudah memenuhi syarat menjadi guru setingkat SMA di negeri Belanda. Soetan Casajangan memenuhi permintaan Pemerintah Belanda untuk menjadi pengajar pertama dalam bahasa Melayu di sekolah bisnis atau School of Commerce (Handelsschool) yang berada di Rotterdam dan Haarlem. 

Soetan Casajangan sebagai guru, akademisi dan pejuang pendidikan, gagasan-gagasan dan pemikirannya disampaikan dalam berbagai pertemuan. Publish or perish, gagasan dan pemikirannya juga dituangkan secara tertulis dalam berbagai artikel dan buku.  Karya-karya Soetan Casajangan yang berhasil dirangkum dan hingga masa ini bisa diakses adalah sebagai berikut:

Buku:

Soetan Casajangan. 1913. 'Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander' (negara bagian di Hindia Belanda dilihat oleh penduduk pribumi). Diterbitkan di Baarn oleh Percetakan Hollandia-Drukkerij. Buku ini adalah sebuah monograf (kajian ilmiah) setebal 48 halaman yang mendeskripsikan dan membahas tentang perihal ekonomi, sosial, sejarah budaya Asia Tenggara (nusantara) dan pertanian di Indonesia. Buku ini berangkat dari pemikiran bahwa sudah sejak lama penduduk pribumi merasakan adanya dorongan untuk penyatuan yang lebih besar yang kemudian dengan munculnya berbagai sarikat, antara lain Indisch Vereeniging (digagas oleh Soetan Casajangan), Boedi Oetomo (digagas oleh Wahidin) dan Sarikat Dagang Islam. Buku ini sangat mengejutkan berbagai pihak di kalangan orang Belanda baik di Negeri Belanda maupun di Hindia Belanda.

Sampul asli buku Soetan Casajangan, 1913
Dalam buku ini terang-terangan Soetan Casajangan menyinggung Undang-Undang di Hindia Belanda yang  membatasi konsesi untuk warga pribumi yang mana menurut Soetan Casajangan hanya orang Eropa hak konsesi dapat diberikan sementara penduduk pribumi asli haknya justru dirampas. Lebih lanjut, Soetan Casajangan mengutarakan tuntutan yang sangat mendasar bahwa persamaan di hadapan hukum bagi orang pribumi dan orang Belanda harus dengan segera diwujudkan. Menurut Soetan Casajangan  di Belanda sendiri tidak semua orang sifat, tabiat dan kebajikannya sama tapi toh diperlakukan sama di hadapan hukum. Di Hindia Belanda mengapa tidak? Untuk itu, menurut Soetan Casajangan pemerintah Belanda juga harus menyelenggarakannya di bidang pendidikan termasuk pengadaan beasiswa.

Dalam buku ini, Soetan Casajangan juga menuntut kepada pihak pemerintah Belanda hal yang sama di bidang penerangan pertanian dan penggalakan perdagangan. Dengan kesamaan hukum tersebut pribumi akan mendapat kemajuan yang sama dengan orang-orang Belanda baik di bidang pendidikan, pertanian maupun perdagangan. Tulisan Soetan Casajangan ini juga mengkritik disparitas harga kopi dimana harga jual kopi lokal hanya dihargai sebesar f40 per pikul sementara harga jual kopi di pasar Eropa berkisar f70-f90 (rata-rata dua kali lipat per pikul).

Buku Lainnya:
  1. Soetan Casajangan. 1924. Maleische Grammatica (Ilmoe Bahasa), Bagi Kweek, Opleidings, en Normaalschool (Tata bahasa Melayu (ilmoe bahasa), bagi sekolah guru, pelatihan dan sekolah biasa). Pertjétakan Goebernemén. .
  2. Soetan Casajangan (bersama dengan L. Bij de Ley, Masagoes Moehammad, dan Djaäfar). 1926. Kitab Hitoengan Oentoek Sekolah-Normal. Wolters.

Artikel:

Soetan Casajangan Soripada, 'De associatie-gedachte in de Nederlandsche koloniale politiek', Artikel 19 halaman ini diterjemahkan sebagai ‘modernisasi dalam politik kolonial Belanda’ dipublikasikan pertamakali 1920 dalam Volume 3, Orgaan der Vereeniging 'Moederland en Koloniën' yang juga dimuat pada Hindia Poetra. 3 (1921) mengutarakan pentingnya reformasi (kebijakan etika ideal) di dalam suatu perhimpunan yang memungkinkan tercapainya kerjasama dan penghargaan yang tulus dan solidaritas antara dua peradaban secara timbal balik--yang selama ini antara 'putih' dan 'coklat' tidak mungkin. Gagasan dalam artikel Soetan Casajangan ini mendapat kagum berbagai kalangan khususnya dari para pakar etika (antara lain Snock dan Abendanon) yang juga didukung oleh Kerajaan sebagai sebuah pemikiran yang inovatif dimana bangsa yang terjajah akan mampu masuk ke kondisi modernisasi peradaban di tanah kolonial.

Artikel lainnya:
  1. Soetan Casajangan. 1911. 'Opleiding van Inlandsche onderwijzers in Nederland'.  Kolonien. Weekblad. No. 42.
  2. Soetan Casajangan (berama H.C.C. Jam Ener Brousson J. E. Tehupeiory). 1908. 'Bandera Wolanda: didirikan pada tahoen 1900:  Maleisch exportblad'. Amsterdam: Boon.
  3. Soetan Casajangan. 1911. 'Inlandsch onderwijs'.  Voordracht. Indologenblad. 2 (1910-11).
  4. Soetan Casajangan. 1911. 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs'  (Peningkatan pendidikan pribumi). Moederland en Kolonien 11-4:.
  5. Soetan Casajangan. 1913. “Nederland en Indië: ‘blank’ en ‘bruin’ een saâm vereenigd door een hechten broederband : associatie- en eendracht wijzen hoopvol naar groot Nederland”. 
***
Kweekschool Padang Sidempuan (kini SMA Negeri 1)
Gagasan, pemikiran dan tuntutan Soetan Casajangan jelas bermula dari tanah kelahirannya dan bersemi selama di negeri Belanda. Soetan Casajangan menggagas kebangsaan via Indisch Vereeniging (Perhimpunan Indonesia), melakukan pemikiran selama kuliah dan menuliskannya dalam berbagai artikel dan buku. Dari hasil-hasil karyanya, sebagaimana didaftarkan di atas, Soetan Casajangan adalah seorang penulis buku yang hebat di jamannya. Soetan Casajangan pada intinya sangat-sangat peduli tentang pendidikan pribumi juga tentang pertanian dan perdagangan bagi pribumi. Secara khusus Soetan Casajangan menginginkan ada peningkatan nyata dalam pendidikan pribumi dan pemberian beasiswa bagi anak-anak pribumi yang pintar untuk kuliah di negeri Belanda. Soetan Casajangan secara jitu nyata-nyata telah menyadari betul bahwa beasiswa bagi pelajar pintar untuk belajar di luar negeri adalah 'mesin' yang mampu melipatgandakan pengetahuan pemuda-pemudi pribumi.

Soetan Casajangan secara khusus telah mengungkapkan gagasannya ini di dalam banyak pertemuan-pertemuan, diantaranya adalah suatu ceramah di hadapan para anggota Moederland en Kolonien (perhimpunan orang-orang Belanda di tanah induk dan tanah jajahan) dan para Indologen Vereeniging (perhimpunan ahli Indologi) di Leiden 1911. Soetan Casajangan menjelaskan bahwa perlu memperbaiki pendidikan pribumi dan perlunya menambah pengetahuan bahasa Belanda melalui pendidikan. Menurut Soetan Casajangan, pengetahuan bahasa asing dalam pendidikan pribumi merupakan kunci untuk memperoleh pengetahuan secara luas. Pada tahun 1912 Soetan Casajangan mengungkapkan kembali gagasannya itu dihadapan perhimpunan Oost en West di Amsterdam. 

Sudah cukup banyak pertemuan-pertemuan yang dilakukan Soetan Casajangan tentang perlunya penggalangan dana beasiswa, hasilnya hanya wait and see. Soetan Casajangan yang bersemangat dan cerdas mencoba melakukan seruan melalui pengumuman (bekendmaking) berupa iklan yang dikirimkan ke berbagai surat kabar di Negeri Belanda. Seruan Soetan Casajangan ini mendapat sambutan dari berbagai pihak dan yang tak disangka, hasilnya spektakuler dan justru mendapat simpati dari Ratu Juliana, Pangeran Hendrik, Ratu Emma dan dua mantan Gubernur Jenderal di Hindia Belanda. Pernyataan kesanggupan untuk kontribusi dan mengirimkan uang terus mengalir. Pada tanggal 30 April 1912 berlangsung pembentukan dana seperti yang diusulkan oleh Soetan Casajangan. Implementasi dari gagasan Soetan Casajangan ini adalah didirikannya Juliana Instituut. Dana abadi yang dikelola institut ditujukan untuk persatuan dan kemajuan di Hindia Belanda.

***
Kiprah Soetan Casajangan yang tidak melihat dirinya lagi sebagai pribadi sendiri tetapi lebih melihat kebangsaaan. Sebagai seorang guru, orang Indonesia yang dituakan di Negeri Belanda (dari segi umur lebih tua dari semua yang lain), Soetan Casajangan menjadi tokoh yang dihormati tidak hanya usianya yang lebih senior tetapi pemikirannya juga lebih maju (pionir) dibanding yang lainnya. Secara khusus bukunya yang terkenal berjudul Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander (Negara bagian di Hindia Belanda dilihat oleh penduduk pribumi). Hollandia-Drukkerij mendapat sorotan yang luas dari kalangan akademisi Belanda. Ketebalan buku yang hanya 48 halaman di masa itu, pada masa ini boleh dibilang sudah ratusan halaman. Ketika orang lain berpikir tentang dirinya pribadi, Soetan Casajangan  telah melihat sisi-sisi ekonomi, sosial dan budaya orang pribumi yang selama beratus-ratus tahun bukan menjadi perhatian pemerintah kolonial. Soetan Casajangan telah berhasil merangkum semua hasil pengamatan dan pengalaman yang dialaminya selama dua puluh lima tahun yang menjadi bahan-bahan yang digunakannya dalam pertemuan-pertemuan dan penulisan-penulisan artikel dan buku.

Karenanya sosok dan isi pemikiran Soetan Casajangan mendapat apresiasi yang luas dari kalangan orang-orang Belanda. Pengakuan terhadap Soetan Casajangan diwujudkan dalam berbagai bentuk. W. J. Giel mengungkapkan kekaguman terhadap potret seorang pelopor pribumi di Hindia Belanda bernama Soetan Casajangan di dalam sebuah artikel berjudul ‘Een Inlandsch pionier in Nederland' yang ditulis tanggal 23 Maret 1913. Artikel ini (n.l.de Batakker M. Soetan Casajangan Soripada)’ diterbitkan di Weekblad.voor Indie 10 (1913-14). Bentuk-bentuk lainnya yang mengapresiasi tentang Soetan Casajangan antara lain:
  • Een Batakker over Indië. (Resumé eener lezing van R. Soetan Casajangan over: “Een en ander ter bevordering van den vooruitgang van Nederl. Indië").10 May 1913.
  • Hilgebs (Th. J. A.). Een ontwikkelde Inlander (nl. Soetan  Casajangan) over onderwijs en onderwijspolitiek. De School v. N. I. 3 (1912-13).
  • Onze Koloniën: Een serie Monographieën bijeengebracht door R.A. van Sandick. Eerste reeks/first series (All publ.). [Eerste druk; First edition].
  • Essays Published by the Netherlands East-Indian San-Francisco Committee, Dept. of Agriculture, Industry and Commerce, Masalah 2-33 by G.C.T. van Dorp, 1914.

***
Soetan Casajangan sendiri di negeri Belanda pernah tercatat menikah dengan seorang janda bernama Johanna Henriette van den Dop (lahir di Zoeterwoude, 1887) pada tanggal 6 Mei 1913 di Leiden. Johanna Henriette adalah putri kedua dari Johannes van den Dop lahir di Leiden yang menjabat sebagai editor dan pemimpin redaksi surat kabar di Leiden. Soetan Casajangan pada saat menikahi Johanna Henriette sudah berumur 38 tahun. Dari perkawinan ini memiliki satu anak yang bernama Johnny (lahir di Fort de Kock atau Bukittinggi 28 April 1914). Sedangkan anak Soetan Casajangan dari istri pertama memiliki satu anak (lahir di Batunadua/Padang Sidempuan 9 Mei, 1899) yang kemudian berganti nama menjadi Willem. 

Soetan Casajangan Soripada Harahap sendiri kemudian kembali ke tanah air bulan Juli 1913. Soetan Casajangan sebelum ditempatkan untuk menjadi guru di Sekolah Raja di Fort de Kock, untuk sementara waktu ditugaskan di sekolah Eropa di Bogor. Selain di Bukittinggi, Soetan Casajangan juga pernah mengajar di berbagai tempat, seperti di Ambon, Dolok Sanggul dan Batavia. Mata pelajaran yang diajarkan oleh Soetan Casajangan meliputi matematika, ilmu ukur, sejarah, biologi, botani, fisika dan geografi. Tentu saja Soetan Casajangan mengajar bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Pada periode 1917-1918 Soetan Casajangan menjadi asisten J.H. Nieuwenhuys dan D.A. Rinkes (penasehat urusan pribumi).

Sementara itu pemikiran-pemikiran Soetan Casajangan Soripada tentang pendidikan masih digalangnya. Soetan Casajangan pernah mengundang dalam suatu pertemuan tokoh-tokoh di daerah asalnya  (termasuk pegawai negeri pribumi) maupun perwakilan dari organisasi di akhir Agustus tahun 1915. Tema pidatonya dalam pertemuan itu tentang Kemakmuran di Nusantara yang dapat dikaitkan dengan 'Pemerintahan Kolonial'  yang menitikberatkan kepentingan penduduk yang erat terkait dengan orang-orang dari pemerintah. Soetan Casajangan bertanya pada dirinya sendiri bagaimana orang bisa melindungi kepentingan sendiri dan orang-orang dari pemerintah jika mereka tidak punya senjata. Sarannya itu disambut para hadirin dan sebuah korps relawan dibentuk. Empat hari kemudian permintaan resmi yang ditandatangani oleh delapan puluh orang telah disampaikan kepada Asisten Residen. Hari berikutnya diresmikan dan dihadiri oleh Asisten Residen.

Di Padang Sidempuan, kampung halamannya, Soetan Casajangan juga menerbitkan surat kabar berbahasa Batak yang bernama Poestaha. Kehadiran koran berkala ini, tidak saja telah memberikan pengetahuan bagi rakyat di Padang Sidempuan dan sekitarnya, tetapi juga telah membangkitkan kesadaran kebangsaan atas ketidakadilan Belanda, Salah satu anak Padang Sidempuan yang menjadi tokoh kebangkitan kebangsaan melalui Poestaha ini adalah Parada Harahap yang kelak menjadi tokoh persuratkabaran nasional. Parada Harahap pernah menjadi pemimpin redaksi Poestaha. Aneh tapi nyata. Parada Harahap (radaktur Bintang Timoer di Batavia) merupakan penulis 'Riwayat Dr. A. Rivai' yang diterbitkan pada tahun 1939. Abdul Rivai adalah mahasiswa pribumi pertama di Belanda yang juga redaktur Bintang Hindia di negeri Belanda. Soetan Casajangan pernah menulis artikel kecil di Bintang Hindia 1905. Soetan Casajangan adalah mentor Parada Harahap di bidang jurnalistik investigasi di Padang Sidempuan. Beberapa kali Parada Harahap ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda di Padang Sidempuan karena sering menulis artikel di Poestaha tentang ketidakadilan yang dialami masyarakat.

Soetan Casajangan karena kesibukannya tidak pernah kunjung kembali ke negeri Belanda, tetapi istrinya pulang ke negeri Belanda. Mungkin karana adat yang berbedza, berdasarkan pengadilan di Hague pada tanggal 24-07-1925 Henriette van den Dop dan Rajiun Gelar Soetan Casajangan Soripada Harahap dianggap bercerai. Soetan Casajangan yang setia kepada istri, anak-anaknya dan ibu pertiwi meninggal tahun 1927. Di dalam keluarga Soetan Casajangan di Batunadua, trah pendidik ini diestafetkan. Salah satu paman dari Soetan Casajangan adalah Sutan Oloan yang memiliki anak bernama Sutan Tagor Mulia merupakan tokoh pendidikan di Padang Sidempuan. Inez Tagor (bintang sinetron, model dan presenter televisi); Risty Tagor (pemain sinetron dan bintang film Indonesia) adalah keturunan dari Daulat Patuan Soripada yang menjadi kakek dari Soetan Casajangan.

Publish or Perish

Soetan Casajangan berjuang dengan caranya sendiri, berbeda dengan pejuang yang lain, yakni: pendidikan. Soetan Casajangan adalah seorang guru pribumi dan seorang pendidik, yang menyadari lebih awal, bahwa melalui pendidikanlah bangsanya dapat meraih kesejahteraan, haknya tidak dirampas dan kehidupannya tidak tertindas. Soetan Casajangan menyadari bahwa pendidikan dengan menggunakan bahasa lokal sangat perlu, tetapi tidak cukup. Akan tetapi dengan mempelajari bahasa asing, setiap orang dapat meluaskan pengetahuan menjadi lebih mudah. Terbukti bahwa dia benar. Di era global ini penguasaan bahasa asing menjadi mutlak. Putra-putri Indonesia masa kini telah banyak menulis pengetahuan yang dimilikinya dengan menggunakan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris yang telah diterbitkan di manca negara.

Foto Soetan Casajangan dalam sebuah jurnal (1913)
Soetan Casajangan di negeri Belanda telah diakuai sebagai pelopor pribumi di Belanda (Een Inlandsch pionir in Nederland)--lihat, Weekblad voor Indië, tevens damesweekblad voor Indië (11 May 1913). Soetan Casajangan juga telah mempelopori penulisan buku dalam bahasa asing di negeri ini 101 tahun yang lalu. Soetan Casajangan yang seorang mentor mahasiswa pribumi di luar negeri, seorang yang terpelajar, seorang penggagas perlunya beasiswa bagi pelajar pintar adalah seorang pribumi yang pertama kali menulis buku dalam bahasa asing yang diterbitkan di luar negeri (1913). Bukunya yang berisi tentang ketidakadilan ekonomi, sosial dan budaya di bumi nusantara di satu sisi telah mengejutkan pemerintah kolonial Belanda, dan di sisi lain bukunya telah mendapat banyak pujian dan tanggapan yang positif di kalangan akademisi asing dan juga kaum etik bangsa Belanda sendiri. Soetan Casajangan telah menyadarinya, menuliskannya dan mempublikasikan dalam bahasa asing supaya dapat dibaca oleh bangsanya sendiri dan juga oleh orang asing.

Soetan Casajangan mungkin tidak merasakan perlunya gelar pahlawan pendidikan bangsa bagi dirinya, sebab nama kecilnya Rajiun Harahap di Batunadua, Padang Sidempuan telah diberikan gelar adat yakni Soetan Casajangan. Dalam tradisi adat Angkola di Tapanuli Selatan, gelar Soetan Casajangan adalah gelar yang menunjukkan arti kesetiaan dan pemberani. Salut kepada Maharaja Soetan Casajangan Soripada, seorang guru--pahlawan tanpa tanda jasa. Soetan Casajangan mengundurkan diri karena mulai lelah dan sakit. Permintaan Soetan Casajangan kemudian dikabulkan dan diberhentikan dengan hormat sebagai Direktur  Normaal School di Meester Cornelis (Jakarta) yang dimuat di koran De Indische Courant yang terbit tanggal 18-03-1927. Tidak lama kemudian, tersebar luas Soetan Casajangan pada tanggal 2 April 1927 telah menghembuskan nafas terakhir, meninggal dunia karena stroke. Berita meninggalnya Soetan Casajangan dimuat di koran De Indische Courant yang terbit tanggal 08-04-1927. Selamat jalan Bung Soetan Casajangan, semua rakyat Indonesia modern akan meneruskan perjuanganmu.

Soetan Casajangan telah terabaikan, terlupakan, bahkan mungkin juga telah dikesampingkan dalam perebutan tanda jasa. Akan tetapi, Soetan Casajangan, yang hanya seorang guru 'kampung' di Padang Sidempuan, tetapi di pentas pendidikan nasional dan pentas akademik internasional, jasanya tertulis dengan tinta emas dan cetak tebal di berbagai artikel dan buku yang ditulisnya sendiri. Karya Soetan Casajangan di abad teknologi informasi ini tersimpan dengan baik di puluhan library uiniversitas terkenal di berbagai negara yang bisa diakses. Soetan Casajangan meninggalkan nama baiknya, reputasinya dan keteladanannya dalam bentuk tulisan. Gagasan, pemikiran dan tindaklanjut disuarakan lewat tulisan (artikel dan buku) yang sudah diketahui oleh bangsa asing, tetapi sangat kurang oleh bangsanya sendiri. Soetan Casajangan menganjurkan perlunya mempelajari bahasa asing hingga pelosok-pelosok terpencil di negeri ini untuk memperluas pengetahuan, telah mengantarkannya untuk memperluas pengetahuan dunia internasional tentang yang terjadi sesungguhnya di nusantara. Oleh karenanya, Soetan Casajangan bukan saja penggagas dan pemikir yang baik, tetapi juga penulis yang hebat. Dengan tulisan-tulisannya, Soetan Casajangan telah berhasil membuka mata dunia terhadap nusantara. Soetan Casajangan telah berjuang mengungkapkan ketidakadilan oleh pemerintah kolonial, dengan pikiran yang jernih dan menggunakan pena yang sangat tajam.

***

Dikompilasi dari berbagai sumber oleh Akhir Matua Harahap. Sumber pendukung lainnya, antara lain:
  • In Het Land van de Overheerser: Indonesiers in Nederland 1600-1950 (Di negeri penjajah: orang Indonesia di negeri Belanda, 1600-1950) oleh Harry A. Poeze, Cornelis Dijk,Inge van der Meulen. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) bekerjasama dengan KITLV-Jakarta.
  • The Netherlands Indies and the great war 1914-1918 door kees van dijk KITLV Press, Leiden, 2007.
  • The rising tide of colour: Indonesische studenten en de ontdekking van hun wereldgemeenschap. Klaas Stutje-Eindscriptie onderzoeksmaster geschiedenis. Amsterdam, 9 juni 2010.
  • A Difficult Start Scholarships to The Netherlands By Ben White in Scholarships to the Netherlands. Van Deventer-  Maas Foundation    / Jubilee book, 2013.            
  •   Menjadi Indonesia, Volume 1, oleh Parakitri Tahi Simbolon.  
  •  Cendekiawan dan kekuasaan dalam negara Orde Baru oleh Daniel Dhakidae.           
  •  The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness oleh Ahmat Adam.       
  •  Pertumbuhan dan perkembangan pers di Sumatera Utara oleh Mohammad Said. Waspada, 1976.
  • Sejarah pers di Sumatera Utara, dengan masyarakat yang dicerminkannya, 1885-Maret-1942 oleh Mohammad Said. Waspada, 1976.
  • Dutch Culture in a European Perspective: 1900, the age of bourgeois culture.
  • Nalar dan naluri: 70 tahun Daoed Joesoef oleh Kadjat Hartojo, Harry Tjan Silalahi, Hadi Soesastro, dan Daoed Joesoef. Centre for Strategic and International Studies, 1996.
  • Riwayat dr A. Rivai oleh Parada Harahap
  • Silsilah Marga Harahap dari Batunadua. http://arifmulianasution. wordpress. com.

Juga perlu dibaca artikel lain dalam blog ini:
  1. Surat Kabar di Padang Sidempuan ‘Tempo Doeloe’ dan Lahirnya Tokoh-Tokoh Pers Nasional dari Tapanuli Bagian Selatan.
  2. Willem Iskander dan Lahirnya Tokoh-Tokoh Sastrawan Nasional dari Tapanuli Bagian Selatan.
  3. Kweekschool Padang Sidempuan, Rajiun Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada di Leiden, dan Pendiri Perhimpunan Pelajar Indonesia (Indische Vereeniging) di Eropa.

Tidak ada komentar: