Minggu, Oktober 26, 2014

Bag-1. Generasi Pertama Mahasiswa Tapanuli Selatan: Willem Iskander, Orang Pertama Indonesia Studi ke Eropa



Belanda pertama kali datang ke Indonesia tahun 1596 dan kemudian mendirikan kongsi dagang yang dikenal sebagai VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) di Batavai tahun 1602. Singkat cerita (235 tahun), Belanda memulai pendudukan di Tapanuli tahun 1833 yang dimulai di Mandailing. Koffij-cultuure sendiri baru diperkenalkan Belanda di Mandheling pada tahun 1841. Hasilnya, rakyat sangat menderita tapi pemerintah Belanda juga tidak untung, Akan tetapi Belanda berkeyakinan  bahwa Tapanuli sangat prospektif, karenanya Tapanuli perlu dibentuk satu keresidenan sendiri tahun 1842 yang beribukota di Sibolga dengan dua asisten residen yakni  Asisten Residen Tapanoeli (juga di Sibolga) dan Asisten Residen Mandheling en Ankola (di Kotanopan). Desentralisasi pemerintahan yang dilakukan tetap tidak menunjukkan kemajuan, pemerintah Belanda terus defisit di Tapanuli. Saat itu sumber pendapatan Belanda di Tapanuli hampir seluruhnya berasal dari wilayah administrasi Asisten Residen Mandheling en Ankola.

Tiga asisten residen terdahulu, T.J. Willer, C. Rodenburg dan J.K.D. Lammleth tidak mampu meningkatkan produktivitas daerah. Namun Gubernur Jenderal di Batavia menyadari ada suatu kekeliruan berpikir yang dibuat Guberneur Surmatra’s Westkut di Padang selama ini. Willer, Rodenburg dan Lammleth adalah tipikal pemimpin style Belanda, keras, kaku dan tidak kompromi. Gaya ini tidak cocok dan jelas mendapat resistensi di Tapanuli. Akademisi Belanda membantu menjelaskan bahwa tipikal penduduk Tapanuli secara fisik kuat dan pekerja keras juga cerdas karena hanya satu-satunya etnik di Nusantara yang sudah memiliki sistem sosial dan sistem pemerintahan yang teratur yang bersifat demokratis, memiliki teknologi sendiri,  memiliki aksara dan sastra sendiri, memiliki isntrumen musik sendiri, sangat happy karena berada di lanskap yang subur.

Dengan menyadari itu, pemerintah kolonial pusat di Batavia mengubah kebijakan dan strateginya 180 derajat. Anehnya, siapa yang menjadi calon asisten residen di Mandheling en Ankola bukanlah hal yang mudah. Cukup lama untuk mendapatkan figure yang sesuai hingga akhirnya menemukan siapa yang juga secara mental kebetulan sangat respek dengan situasi dan kondisi yang akan dihadapi. Dialah  A.P. Godon, seorang yang sangat cerdas, pemberani tapi santun serta memiliki sikap kompromistis dan humanis. Anehnya lagi, A.P Godon besedia meski dia sendiri berpangkat Controleur kelas-1, padahal untuk wilayah yang belum aman dan stabil yang ditunjuk adalah Controleur kelas-2 sebagaimana tiga asisten residen terdahulu. A.P Godon tidak ambil pusing dan bahkan pada kunjungan pertamanya ke Mandailing langsung membawa istrinya. Namun pemerintah di Batavia tetap mewanti-wanti A.P. Godon sebagaimana diberitakan di koran Nederlandsche staatscourant, 28-07-1848: ‘di Sumatra’s Westkust, Asisten-Residen Mandheling en Ankola, Controleur kelas-1, A.P. Godon, yang diminta melibatkan kepada siapa, Radja, persepsi yang sudah ditetapkan’. Inti pesannya, pemerintahan yang diwakili A.P. Godon harus bisa merangkul semua pemangku kepentingan di Mandheling en Ankola. A.P. Godon sendiri menjawab dengan gaya kepemimpinannya sendiri: model blusukan.

A.P. Godon memperkenal pendidikan modern di Mandheling en Ankola

A.P. Godon cepat membaca dan menganalisis situasi dan kondisi dan menemukan titik permasalahan. Langkah pertama untuk meningkatkan produktivitas daerah adalah membuka saluran perdagangan (Mandheling dan Natal) tetapi itu jika dikerjakan sendiri (maksunya dibiayai sendiri) pihak Belanda tidak akan mampu karena selama ini pengeluaran pemerintah untuk Tapanuli defisitnya semakin menganga (ibarat perusahaan, itu harus dibubarkan dan Tapanuli dibiarkan saja). Dengan cara kekerasan hanya menambah masalah. A.P. Godon berinisiatif merencanakan dengan baik dan duduk bersama bermusyawarah di balai rakyat (sopo godang) dengan pemimpim-pemimpin lokal. Hasilnya memuaskan, volume produksi (khususnya kopi dan hasil-hasil hutan) dari Mandheling en Ankola mengalir deras ke Pelabuhan Padang via Natal dan harga kopi Mandheling dan kopi Ankola harganya terus merangsek hingga menjadi harga kopi dunia tertinggi di Eropa dan Amerika Utara karena kualitasnya paling baik. Gubernur Jenderal Belanda di Batavia mulai tersenyum dan sumringah. Karena tidak lama sejak A.P. Godon datang, defisit mulai normal dan bahkan trennya akan segera surplus.

A.P. Godon mulai rileks dengan meningkatnya portofolia dirinya sebagai pejabat pemerintah, keluarga khususnya istrinya mulai nyaman dan merasa hidup di suatu taman eden. Instrinya pun mulai ambil bagian dalam pembangunan Mandheling en Ankola. Karena istrinya mantan seorang guru, maka sang nyonya setia ini merintis pendidikan bagi pribumi dengan menyediakan ruang di rumah dinas mereka di Kotanopan dan ia sendiri bertindak sebagai gurunya. Tidak dibayar memang karena ia sudah mendapat tunjungan istri dari suaminya. Istrinya berkeliling kampong ke kampong (blusukan) untuk mendapatkan sejumlah calon siswa potensial. Ternyata angkatan pertama sekolah privat ini sudah menunjukkan hasil dan dua orang lulusannya direkomendasikannya sendiri untuk meneruskan pendidikan yang lebih tinggi di Batavia. Inilah keajaiban pertama, sebagai bagian dari keseluruhan keajaiban yang terjadi di Tanah Mandheling en Ankola.

Si Asta dan Si Angan siswa pertama berasal dari luar Jawa yang diterima di Sekolah ‘Dokter Jawa’

Rekomendasi istri A.P. Godon ini sepintas tampak suatu dilemma bagi suaminya dan juga orang tua dua anak-anak didiknya ini. Namun, kekhawatiran sang istri yang juga guru teladan ini justru mendapat dukungan dari pihak suami (wakil pemerintah) dan orangtua murid (wakil rakyat). Kebetuluan anak-abak cerdas ini adalah anak-anak pemimpin di Mandailing dan A.P. Godon sendiri lagi naik daun dan memiliki nilai portofolio yang tinggi di Padang dan di Batavia. Inilah keajaiban kedua. Cas-cis-cus. A.P. Godon langsung menulis surat ke Batavia karena ia tahu harus merealisasikan pesan dari pusat ketika dia diperintahkan ketika berangkat mulai bertugas di Tapanuli. Permintaan itu lekas dipenuhi dan ini merupakan bukti adanya ‘bargaining position’ dari penduduk Tapanuli khususnya di Mandheling en Ankola.

Akhir November 1854, dua pemuda belia Mandheling bernama Si Asta dan Si Angan berangkat ke Batavia. Mereka adalah anak-anak potensial yang ingin studi tentang kesehatan (bedah dan kebidanan) di sekolah tinggi kedokteran pribumi di Batavia (sekolah dokter Jawa). Pilihan orangtua anak-anak ini, sangat masuk akal, sebab di Mandheling selain wabah penyakit masih sering muncul (inpeksi) juga persoalan pertolongan kelahiran.  Ahli kesehatan yang ada, hanya cukup untuk orang-orang Belanda dan itupun biasanya ditempatkan di tangsi-tangsi militer. Bagi masyarakat Mandheling yang sudah lama menderita (padri dan koffij-cultuure), adanya penyakit dan masalah-masalah persalinan akan menambah penderitaan bagi penduduk. Sudah waktunya ada yang mengatasi secara baik dan modern. Inilah misi para anak muda ini studi kedokteran ke Batavia.

Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws-en advertentieblad, 18-01-1855: ‘Batavia,  25 November 1854. Satu permintaan oleh kepala Mandheling (Batta-landen) dan didukung oleh Gubernur Sumatra’s Westkust, beberapa bulan yang lalu, ditetapkan oleh pemerintah pusat, bahwa kedua anak kepala suku asli terkemuka, yang telah menerima pendidikan dasar dibawa untuk akun negara ke Batavia dan akan mengikuti pendidikan kedokteran, bedah dan kebidanan. Para pemuda yang disebut Si Asta dan Si Angan di rumah sakit militer di sana pada murid ini baru saja tiba dari Padang disini, dan akan disertakan di pelatihan perguruan tinggi (kweekschool) dokter asli.’.

Sekolah pendidikan kedokteran ‘Dokter-Jawa’ dibuka pada tahun 1851 di Batavia (Weltevreden, Gambir) dengan jumlah murid terbatas dan lama pendidikan sekitar dua tahun. Si Asta dan Si Angan merupakan masuk dalam angkatan awal dan pertama yang berasal dari luar Jawa. Lulus sekolah ini diberi gelar Dokter Djawa dan diperbantukan kepada pemerintah untuk ditugaskan khususnya di daerah-daerah endemik. Sekolah pendidikan kedokteran ini dikemudian hari, 1903 menjadi cikal bakal STOVIA.

Si Sati, pelajar pertama di Hindia Belanda studi ke Eropa

Salah satu adik kelas Si Asta dan Si Angan juga murid yang cerdas bernama Si Sati. Si Sati memiliki kemampuan linguistik yang baik. Selama fase belajar A. P. Godon meminta Si Sati untuk menjadi penulisnya. Oleh karena proses belajar dilakukan pada malam hari, tugas yang diminta A.P. Godon ini dapat dilakukan oleh Si Sati dengan baik dan semakin mempercepat kinerja A.P Godon dalam mengelola pemerintahan dan menyelenggarakan pembangunan masyarakat. Setelah lulus tahun 1855 Si Sati dinominasikan gurunya, istri A.P. Godon menjadi guru di sekolahnya sendiri agar terjadi kesinambungan sambil istri A.P Godong menyiapkan cuti besar. Hal ini terkait dengan peraturan bahwa setelah delapan tahun ambtenaar (pejabat) pemerintah Belanda diberi cuti dua tahun ke Eropa. Oleh karena A.P. Godon mulai bertugas 1848 maka pada tahun 1856 (tahun depan) A.P. Godon dan keluarga akan mudik dan meninggalkan Mandheling en Ankola. Mungkin hanya A.P. Godon yang bertugas di satu tempat cukup lama (delapan tahun). Ini sangat jarang dan mungkin satu-satunya di level asisten residen di Nederlancsh-Indie.

Istri A.P. Godon adalah guru yang visioner sebagaimana juga suaminya pekerja keras yang memiliki visi dan misi yang jelas. Hal ini juga menurun pada anak didiknya. Si Sati menganggap bahwa kebutuhan guru sangat mendesak, karena masyarakat memerlukan pendidikan. Untuk memenuhi guru-guru formal ini (pendidikan guru), Si Sati coba inisiatif untuk mendiskusikan dengan mentornya, A.P. Godon. Kedua orang ini ternyata memiliki visi dan misi yang sama. Si Sati sendiri sangat berambisi untuk sekolah guru ke Negeri Belanda. Si Sati telah melihat kakak kelasnya Si Asta dan Si Angan yang telah memiliki visi dan misi di bidang kesehatan. Usul Si Sati ini ternyata bukan bertepuk sebelah tangan, rupanya A.P. Godon juga memikirkannya. Tentu saja istri A.P. Godon sangat respek dengan keputusan dua pria beda generasi, beda latar belakang, beda warna kulit dan beda budaya tetapi memiliki visi yang sama pada bidang peningkatan mutu modal manusia melalui pendidikan. Inilah keajaiban ketiga di Mandheling en Ankola.

Sekali lagi, A.P. Godon memainkan pengaruhnya di Batavia. Untuk permintaan A.P. Godon ini tidak mudah, karena harus melalui parlemen di Batavia. Ada perdebatan sengit antar anggota dewan, utamanya soal pembiayaan. Namun usul pemerintah akhirnya diterima dewan apalagi didukung oleh Ratu di Negeri Belanda. Hal yang menguatkan usul ini diterima karena Menteri Pendidikan berdasarkan masukan dari A.P Godon berhasil meyakinkan anggota dewan karena di Mandheling en Ankola tidak hanya memiliki potensi ekonomi (neraca surplus) juga memiliki potensi pendidikan untuk menghasilkan guru-guru yang selama ini sulit dipenuhi pemerintah. Istilah sekarang ternyata berlaku tempo doeloe ‘tidak ada makan siang gratis’.

Singkat cerita, Si Sati gelar Soetan Iskander akhirnya  berangkat bersama keluarga A.P. Godon ke Negeri Belanda tahun 1857. Si Sati alias Soetan Iskander adalah orang pribumi pertama yang menempuh pendidikan tinggi ke Negeri Belanda. Setelah menyelesaikan pendidikan guru (kweekschool) dan mendapat diploma guru, Si Sati  yang mengubah namanya menjadi Willem Iskander telah tiba di Batavia akhir 1861 dan kembali ke kampong halaman di Mandheling tahun 1862.  Atas keinginannya, Willem Iskander mendapat izin dari pemerintah untuk mendirikan sekolah guru (kweekschool) dan memilih lokasi di Tano Bato arah ke Natal yang berhawa sejuk. Pemerintah mengangkat Willem Iskander sebagai guru dan memiliki beslit pegawai pemerintah.

Bataviaasch handelsblad, 27-12-1862: ‘Empat tahun lalu oleh asisten residen Godon sekembalinya ke Belanda, salah satu dari Sumatera, Mandhelinger, Soetan Iskander, juga dibawa. Hal ini di Belanda dilatih dan baru saja kembali sebagai orang bijak dan beradab di negaranya. Guru sekolah, sebuah bukti baru dari pengembangan orang asli bahkan dari daerah paling beradab. Iskander sekarang berdiri sebagai kepala sekolah biasa di Mandheling  dan dewan akan berada di sana agar mampu, sebab pendidikan di atas cara dimaksud yang tentunya adalah mengharapkan hasil yang terbaik’.

Introduksi pendidikan di Sipirok dilakukan oleh para misionaris

Pada awalnya dan secara definitif tahun 1938 afdeeling (kabupaten) Mandheling en Ankola (asisten residen berkedudukan di Kotanopan) baru terdapat tiga controleur, yakni: Controleur Natal berkedudukan di Natal, Controleur Mandailing berkedudukan di Panjaboengan dan Controleur Ankola en Sipirok berkedudukan di Padang Sidempuan. Padang Lawas sendiri, masih ‘gelap gulita’, masih ada pertarungan antara Tuanku Tambusasi dengan pasukan militer Belanda. Kegiatan misionaris di Mandheling en Ankola dimulai di Pakantan, Mandailing sejak 1834. Kerena tidak ada progress, kegiatan misi dialihkan (diperluas) ke Sipirok. Adalah Van Asselt yang memulai kegiatan misi ini di Sipirok (1858), dengan memulai strategi memperkenalkan pendidikan dengan membuka sekolah rakyat di Prau Sorat dengan gurunya Nommensen (mirip sekolah ala Si Sati di Mandailing).

Permulaannya tidak mudah. Lantas Nommensen memulai misi ke Silindoeng, untuk kegiatan misi di Sipirok diserahkan ke teman-temannya bangsa Jerman, sedangkan Asselt yang berbangsa Belanda dan teman-temannya juga memperluas kegiatan di Angkola. Hasilnya belum terlihat setidaknya melihat berita di koran Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 20-03-1864 yang melaporkan berdasarkan siaran yang diterbitkan panitia untuk urusan gereja-gereja Protestan di Nederlands Ooost Indie, baru sebanyak 16 orang di Natal dan sebanyak 28 orang di Pakantan (sudah termasuk Baros). Sementara sekolah rakyat yang dilakukan para misionaris ini tetap berlangsung meski pertambahan jumlah pengikut jauh lebih kecil dari pertambahan jumlah anak didik.

Pendidikan di Mandheling terbaik di Sumatra

Progres Kweekschool Tano Bato semakin pesat. Pujian dan apresiasi mulai berdatangan. Seorang pembaca menulis di koran Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 20-03-1865: ‘..untuk guru penutur asli di Hindia Belanda menunjukkan contoh, Willem Iskander, yang berasal dari Sumatra’s Westkust yang telah mendapat pendidikan Belanda, saat ini ia berdiri sebagai kepala sekolah bagi para guru di Mandheling, dan dilakukannya dengan sebaik-baiknya. Willem Iskander memiliki semangat besar-besaran dan dikembangkan, anak muda yang sangat rajin, dengan berbakat… dorongan lebih besar untuk diterima.. kita mempercayakan kepemimpinan Iskander dalam hal aritmatika, karakter, prinsip-prinsip fisika, sejarah, geografi dan  matematika. Ada satu orang, muridnya kemajuan dalam matematika. Dan tiga mereka sangat mahir melakukan geografi… Iskander adalah guru dalam satu sekolah dengan dua belas murid yang dilakukan dia termasuk empat malam dalam seminggu.. bagaimanapun kita berharap, akan terbentuk pendidik terampil untuk mereka sendiri pada gilirannya untuk Mandheling.. perkecambahan atau berdegenerasi,!. Dengan demikian keyakinan ada dalam satu inovasi yang berkelanjutan di Mandheling dan formasi dari penduduk asli di sini di tempat yang tepat—Bartholo’.

Seorang pembaca lainnya menulis di koran Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 23-06-1869 (Pendidikan di antara pribumi untuk Sumatra’s Westkust): ‘Kami percaya pada laporan sekolah menunjukkan pendidikan pesisir tersebut digambarkan kondisi yang sangat menyedihkan antara pribumi. Hanya sekolah di Mandheling membuat pengecualian dalam hal pendidikan, tapi apa lokalitas yang bersangkutan, yang sama-sama cacat. Sekarang ini harus didukung oleh pemerintah, yang komentar akan mengajar jika tidak menimpa pentingnya jalan berdaya penonton? Mereka yang penduduk asli tetapi hanya setengah kasih sayang akan harus mengakui bahwa pendidikan dasar untuk mencium banyak yang harus diinginkan daun dengan kami di sini… Karena itu, kami vermeenen bahwa Pemerintah Baar pelabuhan prestise tangan, mereka datang ke akan harus pergi ke rigten untuk mencapai bahwa doktrin pemuda worde ditanamkan untuk oin lebih banyak sekolah yaitu pihak tidak dalam kepentingan pemerintah. Padang, 7 Juni 1869, G. A.’.

Jumlah guru-guru yang dihasilkan Kweekschool Tano Bato semakin bertambah. Siswa yang diterima bahkan tidak hanya dari afdeeling Mandheling en Ankola tetapi juga dari afdeeling Tapanoeli. Para lulusan ini membuka sekolah rakyat di daerahnya masing-masing, seperti di Panyabungan, Muara Sipongi, Natal, Padang Sidempuan, Batunadua, Batang Toru, Simapilapil dan sebagainya. Untuk menghindari duplikasi dengan sekolah rakyat di Prau Sorat yang dilakukan para misionaris, guru-guru lulusan Kweekschool Tano Bato juga membuka sekolah rakyat di Sipirok dan Bunga Bondar. Jumlah murid di dua kampong ini semakin banyak dan guru-guru juga semakin bertambah.

Sementara itu, pengikut kegiatan misi di Sipirok semakin bertambah, dan akibatnya rakyat yang beragama Islam lebih memilih sekolah rakyat di Sipirok dan Bunga Bondar, sebaliknya sebagian murid-murid yang telah beragama Kristen dari kedua kampong ini lebih memilih ke sekolah rakyat di Prau Sorat. Lambat laun, sekolah rakyat Prau Sorat didominasi oleh rakyat yang sudah beragama Kristen dan lambat laun menjadi sekolah zending. Dalam perkembangannya sekolah zending diperluas ke Sipirok dan Bunga Bondar.

Dengan semakin pesatnya pendidikan di Sipirok, pemerintah (Controleur Ankola en Sipirok) merasa perlu menempatkan seorang penilik sekolah di daerah itu. Pengangkatan penilik sekolah ini diberitakan koran Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 01-05-1875: ‘Pengawas sekolah akan dirangkap oleh A. Laarhuis (pegawai di Controleur Ankola en Sipirok) untuk Sipirok dan Boengabondar diangkat sebagai anggota komisi sekolah untuk Keresidenan Tapanoeli’.

Untuk memenuhi kebutuhan guru-guru untuk kegiatan misi, para misionaris juga membuka sekolah guru zending (mengikuti pola pengembangan Kweekschool di Tano Bato yang diasuh Willem Iskander). Jumlah murid sekolah zending dan sekolah guru zending juga semakin bertambah. Perkembangan sekolah zending ini dilaporkan oleh seorang pembaca di koran Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 03-07-1875: ‘kondisi sekarang tentang hal misi di Bataklanden. Ini hanya sekadar sketsa, tapi saya percaya, bagaimanapun, bahwa sepenuhnya tidak diinginkan oleh banyak pengikut lainnya. Rijnsche Zendeling-genootschap te Barmen di Bataklanden sekarang memiliki sembilan (stasiun) misi (tiga diantaranya berada di Sipirok, Bunga Bondar dan Prau Sorat) dengan 10 misionaris dan 16 pembantu dari pribumi (guru dan kepala sekolah). Jumlah murid di sekolah zending di Sipirok sebanyak 42 murid, Bunga Bondar 38 murid dan Prau Sorat 25 murid, sedangkan murid sekolah guru zending masing-masing sebanyak 65, 25 dan 20 murid.

Kweekschool Tano Bato dipindahkan ke Padang Sidempuan

Penyebaran pendidikan di afdeeling Mandheling en Ankola tidak lepas dari peran tiga serangkai: A.P. Godon dan Istrinya serta Willem Iskander. A.P. Godon sendiri ternyata kemudian diketahui adalah seorang birokrat sejati yang menggunakan pola berpikir akademik. A.P. Godon telah meninggalkan nama baik di afdeeling Mandheling en Ankola setidaknya telah memberi jalan ribuan penduduk untuk memasuki sekolah rakyat dan puluhan atau bahkan ratusan guru-guru. A.P. Godon juga menorehkan nama baiknya di dunia akademik para pelajar bangsa Belanda dengan menulis buku yang diterbitkan tahun 1872 oleh penerbit H. M. DORPP & Co. Buku tersebut berjudul: ‘Geen Militaire Expedition, maar Een kundig en beleidvol Bestuur op Sumatra (Bukan Ekspedisi Militer, tapi Manajemen Kompeten dan Bijaksana di Sumatera). Sangat jarang seorang birokrat menulis buku yang berbau-bau akademik, kecuali Max Havelaar yang dikenal sebagai Multatuli yang pernah menjabat sebagai Controleur di Natal. Kontribusi A.P. Godon di dalam pendidikan bagi penduduk Mandheling en Ankola sangatlah besar.

Sementara itu, prestasi Willem Iskander juga semakin membahana hingga keluar Keresidenan Tapanoeli. Di dalam efdeeling Mandheling en Ankola kebutuhan guru semakin banyak, sementara kapasitas dan jumlah lulusan Kweekschool Tano Bato sangat terbatas. Menteri Pendidikan menganggap perlu untuk meningkatkan kapasitas kweekschool Tano Bato. Oleh karena ibukota afdeeling Mandheling en Ankola akan dipindahkan ke Padang Sidempuan, maka perlu pula memindahkan lokasi Kweekschool dari Tano Bato ke Padang Sidempuan. Hal ini juga sejalan dengan pemekaran onderafdeeling Ankola en Sipirok menjadi onderadeeling Sipirok dan pembentukan onderafdeeling Padang Lawas.

Willem Iskander sendiri diproyeksikan akan menjadi Direktur Kweekschool Padang Sidempuan yang akan direncanakan dibuka pada tahun 1879. Untuk meningkatkan kapabilitas sebagai kepala sekolah dari Kweekschool yang lebih besar, Willem Iskander direkomendasikan untuk mengambil akte guru kepala sekolah ke Negeri Belanda. Dalam rencana studi ini, Willem Iskander diminta untuk membimbing sejumlah guru-guru pribumi untuk mengambil akte guru di Negeri Belanda. Pada tahun 1874 Willem Iskander berangkat ke Negeri Belanda bersama tiga guru pribumi. Namun sangat disayangkan, ketiga guru tersebut tidak berhasil pulang dengan diploma guru sekolah karena alasan sakit yang berbeda ketiganya meninggal dunia. Willem Iskander juga kemudian meninggal dunia di Negeri Belanda. Afdeeling Mandheling en Ankola kehilangan putra terbaiknya, dan dunia pendidikan di Nederlansche-Indie kehilangan satu-satunya guru pribumi yang mendapat pendidikan di Eropa.

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.  

Tidak ada komentar: