Minggu, Desember 14, 2014

Bag-10. Sejarah Padang Sidempuan: ‘Dari Kota Kecil, Anak-Anak Padang Sidempoean Menuju Batavia untuk Kuliah di Dokter Djawa School dan STOVIA’



*Suatu sketsa Kota Padang Sidempuan

Ini adalah suatu sketsa (analisis sederhana) berdasarkan fakta-fakta sejarah yang ada. Mungkin para generasi yang lebih muda tidak menyadari bahkan mungkin tidak mengetahui, bahwa Kota Padang Sidempuan masa kini, ternyata di jaman doeloe memiliki dinamikanya sendiri. Bagaimana anak-anak Padang Sidempuan berkembang dan menyebar ke semua penjuru angin di masa doeloe? Mari kita lacak!

***
Satu-satunya perguruan tinggi di masa doeloe di Nederlandsche Indie adalah Dokter Djawa School. Sekolah kedokteran yang dibuka pada tahun 1851 ini kemudian di tahun 1905 menjadi STOVIA (cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia). Untuk menjadi mahasiswa sekolah kedokteran itu bukanlah hal yang mudah: selain sangat jauh dari kota kecil Padang Sidempoean, juga seleksi masuk sangat ketat dan memiliki kualifikasi yang tinggi. Namun begitu, ternyata cukup banyak anak-anak Padang Sidempoean yang berhasil menjadi dokter di sekolah kedokteran tersebut.

***
Kampus 'Dokter Djawa School', 1900 (KITLV)
Awal kisahnya sekolah kedokteran dikenal di Padang Sidempoean bermula ketika dua orang anak Mandailing, Si Asta dan Si Angan berangkat sekolah dari Panjaboengan menuju Natal lalu ke Padang dan selanjutnya ke Batavia. Mereka berdua masuk Docter Djawa School pada tahun 1854. Saat mereka masuk, belum ada siswa yang lulus. Ini artinya mereka tergolong angkatan generasi pertama. Menariknya, ternyata dua anak didik Nyonya Godon (istri asisten residen Mandheling en Ankola) ini terbilang siswa yang sangat pintar. Manariknya lagi, ternyata dua anak yang masih belia ini merupakan siswa pertama luar Djawa yang diterima di sekolah kedokteran tersebut. Setelah lulus dan memperoleh gelar dokter, mereka pulang kampong.

Perguruan tinggi Dokter Djawa School, meski namanya demikian, namun sesungguhnya semua dosen-dosen yang mengajar di sekolah kedokteran ini adalah dokter-dokter berbangsa Belanda yang memiliki izajah dokter di Negeri Belanda. Dalam perkembangannya, sistem pendidikan dan seleksi penerimaaan siswa terus ditingkatkan sehingga pada akhirnya (1890) siswa yang diterima haruslah lulusan sekolah-sekolah Eropa (tujuh tahun). Beruntung di Padang Sidempoean terdapat sekolah Eropa.

Sekolah Eropa di Padang Sidempoean didirikan pada awal tahun 1880-an. Pendirian sekolah ini pada awalnya dimaksudkan untuk menyediakan fasilitas pendidikan dasar bagi anak-anak Belanda yang mana pada masa itu populasi orang Belanda sudah terbilang banyak di Padang Sidempoean. Namun dalam perkembangannya anak-anak pribumi juga dapat diterima. Lokasi sekolah ini pada masa kini masih dapat dilihat situsnya yang merupakan gedung Bank BPDSU/Bank Sumut  yang berada di depan kantor Pos Padang Sidempoean. Sekolah Eropa inilah yang menjadi milestone anak-anak Padang Sidempoean untuk sekolah di fakultas kedokteran.

***
Siapa saja anak-anak Padang Sidempoean yang berhasil meraih gelar dokter kala itu? Mari kita lacak!

Haroen Al Rasjid dan Mohamad Hamzah


Dua anak Padang Sidempoean Haroen Al Rasjid dan Mohamad Hamzah. Haroen Al Rasjid adalah putra Mandailing yang ayahnya meniti karir di pemerintahan mulai dari Panjaboengan, Padang Sidempoean hingga ke Batavia. Mohamad Hamzah adalah cucu dari koeriahoofd Batoe na Doewa. Haroen Al Rasjid menyelesaikan sekolah Eropa di Batavia sedangkan Mohamad Hamzah menyelesaikan sekolah Eropa di Padang Sidempoean. Lantas keduanya sama-sama masuk Dokter Djawa School.

Pada tahun 1901 kedua abak muda ini telah lulus Dokter Djawa School dan berhak meraih gelar dokter. Mohammad Hamzah dinyatakan lulus pada bulan Juni, dan Haroen Al Rasjid lulus pada November 1901. Dr. Mohamad Hamzah ditempatkan di Telok Betoeng dan Dr. Haroen Al Rasjid ditempatkan di Padang.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 29-11-1901: ‘memberitakan sebanyak 10 siswa Dokter Djawa School telah berhasil dalam ujian tingkat akhir dan dipromosikan menjadi dokter (diantaranya) Haroen Al Rasjid.

De locomotief : Samarangschhandels- en advertentie-blad, 29-12-1902: ‘mengabarkan dokter-dokter baru yang lulus tahun ini diangkat menjadi pegawai pemerintah dan ditempatkan di kota-kota yang berbeda. (Dalam berita ini disebutkan) Haroen Al Rasjid ditempatkan di Padang dan Mohammad Hamzah di Telok Betoeng’.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 03-01-1903: ‘kapal s.s. ‘Van Riemsdijk’ pagi ini pukul 08.30 melakukan pelayaran (dari Batavia) menuju Telok Betoeng, Kroe, Benkoelen, Padang en Atjeh. Di dalam manifest pelayaran ini terdapat nama yang disebut Dr. Djawa Mohammad Hamzah dan Dr. Djawa Haroen Al Rasjid’.

Haroen Al Rasjid sejak Oktober 1904 dipindahkan untuk bertugas di Siboga. Setelah lebih dari lima tahun bertugas di Siboga, Haroen Al Rasjid tidak memperpanjang kontraknya dan memilih pension dini. Lalu, Haroen Al Rasjid mengusulkan pension dini. Department Civieal mengabulkan permintaan Haroen Al Rasjid dan diberitakan di dalam koran pada edisi 6 Oktober 1909. Namun efektifnya baru berlaku jika sudah ada penggantinya. Haroen Al Rasjid berencana akan pindah ke Telok Betoeng untuk membuka praktek dokter. Tampaknya yang menjadi pengganti Haroen Al Rasjid adalah teman lamanya, Moohamad Hamzah.

Bataviaasch nieuwsblad, 11-10-1909: ‘Selolong (Benkoelen) ke Siboga (Tapanoeli), dokter inlandsehe Mohamad Hamzah’.

Haroen Al Rasjid tetap menetap hingga akhir hayatnya di Lampong. Anaknya yang sulung bernama Ida Loemongga, setelah lulus HBS di Batavia meneruskan pendidikan tinggi di bidang kedokteran di Belanda pada tahun 1918 hingga akhirnya berhasil mencapai gelar Doktor tahun 1932. Ida Loemongga Haroen Al Rasjid Nasoetion adalah perempuan pertama Indonesia yang menempuh pendidikan di luar negeri dan juga perempuan pertama di Indonesia yang meraih gelar doctor. Anaknya yang kedua adalah Gele Haroen Al Rasjid sarjana hokum lulusan negeri Belanda dan menjadi Residen Lampung yang pertama. 

Sementara itu, Mohamad Hamzah gelar Soetan Batoe Nadoea menetap di Pematang Siantar dan pernah menjabat sebagai anggota dewan kota (gemeeteraad) Pematang Siantar tiga periode.

Abdul Karim dan Abdul Hakim

Abdul Karim dan Abdul Kasim berangkat dari Padang Sidempoen dalam waktu yang berbeda. Abdul Karim diseleksi langsung di Padang Sidempoean dan kemudian dibawa ke Batavia tahun 1898 dengan pendampingan seorang dokter. Sementara Abdul Hakim direkrut pada tahun 1899. Kedua siswa ini berasal dari sekolah yang sama (sekolah Eropa Padang Sidempoean).

Bataviaasch nieuwsblad, 12-03-1898: ‘telah berangkat dari Padang dengan kapal s.s. Reael, Abdul Karim yang didampingi oleh dokter djawa Sie Amat’.

Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 28-01-1899: ‘seorang  pemuda belia bernama Abdul Hakim, murid sekolah Eropa di Padang Sidempoean akan diambil sebagai murid sekolah untuk pelatihan dokter pribumi (docter djawa)’.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 04-12-1901: ‘Ujian Dokter-djawaschool lulus dari tingkat dua ke tingkat ketiga sebanyak lima siswa (diantaranya) Abdul Hakim. Empat siswa gagal, dimana tiga siswa mengulang dan satu siswa diberhentikan dengan hormat karena kualifikasi tidak mencukupi’

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 27-11-1902: ‘sejumlah siswa di Doktor Djawa School dipromosikan ke tingkat lima dan ke tingkat empat. Siswa yang dipromosikan ke tingkat empat (diantaranya) Abdul Hakim van Padang Sidempoean dan Abdul Karim van Padang Sidempoean’

Dari delapan siswa yang naik ke tingkat lima pada tahun 1902 terdapat tujuh siswa (satu gagal) adalah siswa-siswa yang berasal dari kota-kota di Jawa. Sedangkan yang naik ke tingkat empat sebanyak sembilan siswa dimana lima diantaranya berasal dari luar Jawa (dua dari Padang Sidempoean, masing-masing satu siswa dari Ambon, Padang dan Manado). Abdul Karim dan Abdul Hakim seangkatan dengan Tjipto Mangunkoesoemo. Pada tahun 1904 Abdul Karim dan Abdul Hakim naik dari tingkat lima ke tingkat enam. Sedangkan yang naik dari tingkat empat ke tingkat lima terdapat sembilan siswa yang mana tiga diantaranya dari luar Jawa (Manado, Ambon dan Padang).

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 07-11-1904: ‘di dokter djawa school yang naik dari tingkat empat ke tingkat lima terdapat sembilan siswa yang mana tiga diantaranya dari luar Jawa (Manado, Ambon dan Padang). Sedangkan yang naik ke tingkat enam sebanyak 10 siswa (diantaranya) Abdul Karim dan Abdul Hakim. Satu siswa mengulang.’

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 07-11-1905: ‘Ujian Docter-Djawaschool yang lulus ujian akhir terdapat tujuah siswa (diantaranya) Abdul Hakim dan Abdul Karim’.

Abdul Hakim dan Abdul Karim akhirnya lulus Dokter Djawa School November 1905 dan berhak mendapat gelar dokter. Mereka berdua berdinas dan ditempatkan di kota yang berbeda. Dr. Abdul Karim ditempatkan di Sawah Lunto Januari 1906, sedangkan Dr. Abdul Hakim ditempatkan ke Padang Sidempoean, kampong halamannya.

Algemeen Handelsblad, 07-01-1906: ‘Departed Batavia per ss "Maetsuijcker" ke Telok Betong, Manna, Benkoeden, Indrapoera, Padang, dll (diantaranya) Dokter Abdul Karim’.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 07-11-1906: ‘oleh Pelayanan Medis Sipil, ditempatkan dari Batavia ke Padang Sidempoeau, dokter asli Abdul Hakim’.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 13-11-1906: ‘dengan kapal s.s. Baud berangkat ke Telok Betong, Padang dan lainnya, (diantaranya) Abdul Hakim’.

Dr. Abdul Karim berdinas di Sawahlunto tidak sampai satu tahun, lalu kemudian Desember 1906 dipindahkan ke Gunung Sitoli (Tapanoeli). Abdul Karim terbilang cukup lama di Goenoeng Sitoli hingga akhirnya dipindahkan ke Fort van der Capellen Agustus 1912. Pada bulan Maret 1914, Dr. Abdul Karim mengajukan pensiun dini’.

Bataviaasch nieuwsblad, 31-12-1906: ‘oleh Pelayanan Medis Sipil bahwa yang sekarang untuk sementara bekerja di pelayanan medis (diantaranya) di Sawah Loento (Sumatra’s Westkust) ke Goenoeng Sitoli (Tapanoeli), dokter  asli Abdul Karim’.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 25-04-1910: ‘dokter asli ke Bindjei (pantai timur Sumatera), Abdul Hakim’.

Bataviaasch nieuwsblad, 06-08-1912: ‘van Goenoeng Sitoli naar Fort van der Capellen de inlandsche arts, Abdul Karim’.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 25-03-1914: ‘Dokter asli di Sawahloento, Abdul Karim telah meminta pemberhentian dengan hormat dari dinas negara’.

***

Adik kelas dari Abdul Karim dan Abdul Hakim yang berasal dari Padang Sidempoen adalah Mohamad. Setelah lulus Mohamad Daulay ditempatkan di Ngawi dan juga diperbantukan untuk di Semarang’.

Bataviaasch nieuwsblad, 28-11-1902: ‘hasil ujian transisi kelas persiapan dokter djawa school dari tingkat dua diangkat ke tingkat tiga,  Si Mohamad van Padang Sidempoean’.

Bataviaasch nieuwsblad, 11-10-1909: ‘Layanan Medis Sipil mengumumkan bahwa di Ngawi (Madiun), dokter Inlandsche Mohamad Daulay; juga diperbantukan dokter inlandsche Mohamad Daulaij di Semarang’



Bataviaasch nieuwsblad, 22-04-1916: ‘pendirian rumah sakit swasta bagi penderita kusta di Pulu Sitjanang (pantai timur Sumatera) dokter pribumi Mohamad Daulay’.

Pada tahun 1902 Dokter Djawa School berganti nama menjadi STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen).Pada saat ini sekurang-kurangnya ada lima anak Padang Sidempoean di kampus kedokteran ini.

Radjamin Nasoetion

Radjamin Nasoetion gelar Soetan Koemala Pontas lahir di Barbaran Julu, Mandailing, tanggal 15 Agustus 1892. Untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu, Radjamin masuk sekolah berbahasa Belanda, ELS di Padang Sidempuan. Radjamin seorang anak kepala kuria di Mandailing, setelah lulus ELS melanjutkan pendidikan ke Batavia. Radjamin diterima di STOVIA. Radjamin Nasoetion lulus STOVIA dan berhak memperoleh gelar dokter 1912.

Setelah lulus pendidikan kedokteran, anehnya Radjamin tidak ditempatkan pemerintah di dinas kesehatan melainkan akhirnya diposisikan menjadi pegawai pemerintah di bidang pabean. Ini bermula ketika bulan Juli 1912 untuk sementara Radjamin ditempatkan di kantor Bea dan Cukai di Batavia sebagai partikelir sambil menunggu penempatan. Namun di bulan November apa yang terjadi? Beslit Radjamin keluar, akan tetapi statusnya di kantor Bea dan Cukai di Batavia justru ditingkatkan menjadi pegawai magang (masa kini CPNS). Tugas utamanya adalah pengawas (opziener) untuk bidang pos, telegraf dan telepon. Sejak November 1913, Radjamin beberapa kali pindah tempat seperti Pangkalan Boen, Perbaungan, Cilacap, Semarang, Batavia (kembali), Medan, Surabaija, Sampit, Surabaija (kembali), Belawan, Djambi, Medan (kembali), Batavia (kembali), dan Surabaija (kembali, September 1929).

Di Surabaija November 1929, Radjiman dan kawan-kawan mendirikan Sarikat Pekerja Bea dan Cukai. Pada tahun 1931 sebagaimana diberitakan koran-koran setempat, bahwa salah satu anggota Dewan Kota yang berasal dari penduduk pribumi, bernama Koesmadi telah berakhir masa jabatan untuk periode pertama.  Untuk menjadi anggota dewan kota berikutnya Koesmasi harus mengikuti pemilihan yang dilakukan oleh anggota dewan yang masih aktif. Di satu pihak Koesmadi ternyata mencalonkan diri kembali. Di pihak lain, nama Radjamin muncul ke permukaan untuk bersaing dengan Koesmadi. Pada hari terakhir pencalonan ternyata hanya dua orang kandidat yakni Koesmadi dan Radjamin—keduanya terbilang sebagai bangsawan, yang satu dari Jawa Timur, dan satu lagi dari Tapanuli. Pada keesokan harinya, tanggal 25-02-1931 kedua calon datang ke kantor panitera kota untuk pengesahan calon.

Namun anehnya, hari berikutnya, Koesmadi mengundurkan diri sebagai calon dan merekomendasikan dengan tulus dan hangat kepada Radjamin. Koesmadi beralasan bahwa, Radjamin, selain anggota PBI (sarikat buruh) juga adalah tokoh Sumatra yang kuat dan terkemuka di Surabaya dan yakin Radjamin akan lebih mampu untuk meningkatkan aspirasi rakyat di Dewan Kota. Meski Koesmadi mengundurkan diri, dan hanya tinggal satu kandidat, pemilihan tetap dilakukan. Pada tanggal 10-03-1931 diperoleh kabar bahwa Radjamin menang mutlak dengan jumlah perolehan suara sebanyak 62 (suara perwakilan penduduk Surabaya). Berita keberhasilan Radjamin ini cepat tersebar luas, utamanya di Batavia dan Medan. Boleh jadi berita ini hanya sedikit rembesan cerita sampai ke Tapanoeli—kampung halaman Radjamin Nasoetion. Mungkin Radjamin tidak terlalu dikenal di kampung halamannya, sebab umur tujuh tahun Radjamin mengikuti sekolah dasar di Padang Sidempuan, lalu perguruan tinggi di Batavia. Karir Radjamin terus meroket, sebagai pengurus partai dan juga menjadi anggota Volksraad.

***
Singkat cerita, Radjamin di Surabaya tiba-tiba mendapat surat dari anak perempuannya, seorang dokter yang bersuamikan dokter yang sama-sama berdinas di Tarempa, Tandjong Pinang, Kepulauan Riau. Surat ini ditujukan kepada khalayak dan cepat beredar, karena termasuk berita penting masa itu. Surat kabar Soeara Oemoem yang terbit di Surabaya mempublikasikan isi surat keluarga (anak kepada ayahnya) tersebut menjadi milik public sebagaimana dikutip oleh koran De Indische Courant tanggal 08-01-1942. Penyerangan oleh Jepang dimulai dengan pengeboman di Filipina dan Malaya/Singapura. Pemboman oleh Jepang di Tarempa merupakan bagian dari pengeboman yang dilakukan di wilayah Singapura. Tarempa sangat dekat dari Singapura.  Lantas, tanggal 3 Februari 1942 perang benar-benar meletus di Kota Surabaya. Suasana panik, mengakibatkan Radjamin naik posisi. Koran Soerabaijasch Handelsblad tanggal 26-02-1942 melaporkan telah terjadi perubahan di Dewan Kota. Radjamin diangkat sebagai wakil ketua (ketua masih bangsa Belanda).

Pada tanggal 8 Maret 1942 pemerintahan Belanda di Indonesia benar-benar takluk tanpa syarat kepada pasukan Jepang. Pada hari itu juga kekuasaan Gemeente (Pemerintahan Kota) Surabaya berpindah tangan kepada militer (pasukan tentara) Jepang. Lantas Dewan Kota dibubarkan. Namun demikian, pada fase konsolidasi ini, pihak Jepang masih memberi toleransi dua kepemimpinan di dalam kota. Walikota Fuchter masih dianggap berfungsi untuk kepentingan komunitas orang-orang Eropa. Sementara walikota di kubu Indonesia dibawah perlindungan militer Jepang ditunjuk dan diangkat Radjamin Nasoetion--Wethouder, mantan anggota senior dewan kota yang berasal dari bumiputra. Jepang memilih Radjamin dibandingkan yang lain karena Radjamin satu-satunya tokoh pribumi di Surabaya yang memiliki portfolio paling tinggi. Radjamin selain dikenal sebagai Wethouder (tokoh anggota dewan kota) yang pro rakyat. Radjamin juga diketahui secara luas sangat dekat dengan rakyat dan didukung tokoh-tokoh ‘adat’ di Surabaya. Radjamin juga berpengalaman dalam pemerintahan Belanda sebagai pejabat tinggi (eselon-1) Bea dan Cukai. Jangan lupa, Radjamin juga seorang yang cerdas, dokter, lulusan perguruan tinggi, Stovia di Batavia.

Sesuai kebijakan Pemerintah Jepang di Indonesia, pada bulan September 1942 Jepang menurunkan posisi walikota Radjamin menjadi Wakil Walikota, sementara Walikota diisi dan diangkat dari bangsa Jepang sendiri. Walikota yang diangkat adalah Takahashi Ichiro. Dalam hal ini, penurunan posisi Radjamin bukanlah karena kualitasnya, tetapi semata-mata karena berubahnya misi dan kepentingan politik Jepang di Indonesia. Sementara, Radjamin tetap bersedia karena ingin terus mengontrol pemerintahan dari dalam dan mengawasi dan memastikan pembangunan pro rakyat tetap pada relnya. 

Pada bulan Agustus 1945 Hiroshima dan Nagasaki di bom,  kemudian Jepang menyerah kepada sekutu. Pada saat tersebut Indonesia juga memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945. Takahashi Ichiro kemudian menyerahkan sepenuhnya kepala pemerintahan Kota Surabaya kepada wakilnya, Radjamin Nasution. Fungsi pemerintahan kota ini dijalankan oleh Radjamin. Terhitung sejak Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945 itu, Radjamin Nasution Pontas ditetapkan Pemerintah RI di Jakarta (nama Batavia hilang) sebagai Walikota Surabaya.Radjamin hingga akhir hayatnya tinggal di Surabaija dan telah menjadi ‘arek surabaija’. Dua anaknya mengikuti bidang keahlian ayahnya sebagai dokter. Anaknya yang pertama menjadi professor di FKUI, anak yang kedua menjadi dokter militer dengan pangkat letkol.

***
Setelah Radjamin Nasoetion, sejumlah mahasiswa asal Padang Sidempoean di STOVIA antara lain Gindo Siregar (1922-); Aminoedin Pohan (1919-); Diapari Siregar (1921-); Moerad Loebis (1920-); Amir Hoesin (1918-); Soleiman Siregar; Amijn Pane (1924-), Daliloeddin Lubis (1923-), Amir dan Moenir Nasoetion bersaudara. Namun diantara mereka hanya Diapari Siregar dan Aminoedin Pohan yang melanjutkan pendidikannya ke Negeri Belanda untuk memperoleh akte dokter spesialis. Amimoedin Pohan sendiri memiliki riwayat yang sangat spesial, karena dialah satu-satunya sarjana yang pernah pulang kampong.

Aminoedin Pohan dan Diapari Siregar

Aminoedin Pohan kelahiran Sipirok memulai pendidikan di HIS Padang Sidempuan dan kemudian melanjutkan sekolah dan mendaftar di sekolah elit Wilhelmina School di Batavia 1916 lalu masuk STOVIA. Setelah lulus ia menjadi dokter pemerintah dan kemudian studi ke Negeri Belanda dan mendapat akte dokter spesialis di Leiden 1931 dengan judul skripsi: ‘Abortus, voorkomen en behandeling’. Sepulang dari Belanda Aminoedin mengundurkan diri dari pegawai pemerintah, tetapi kemudian diusulkan oleh Abdul Rasjid (anggota Volksraads) dan bersaing dengan dokter-dokter Belanda dan akhirnya yang dipromosikan Menteri Kesehatan ke Padang Sidempuan adalah Amidoedin Pohan untuk menjabat sebagai Direktur rumahsakit yang baru dibangun (1936). Setelah dua tahun menata rumah sakit Padang Sidempuan Aminoedin Pohan dipindahkan ke Semarang dan penggantinya di Padang Sidempuan adalah Dr. M.M. Hilfman. Pada tahun 1940, Aminoedin dipindahkan ke Departemen Kesehatan di Batavia. Sedangkan Diapari Siregar mendapat akte dokter spesialis di Leiden 1932. Setelah berhenti pegawai pemerintah, Diapari Siregar pulang kampong tapi hanya sampai di Pematang Siantar. Diapari Siregar lebih memilih membuka prakter dokter swasta di Pematang Siantar.

***
Pada tahun 1924 siswa yang diterima di STOVIA haruslah lulusan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Selanjutnya pada tahun 1927 STOVIA berganti nama menjadi Geneeskundige Hoogeschool ((Sekolah Tinggi Kedokteran. Pada tahun 1934 siswa yang diterima haruslah lulusan AMS (Sekolah Lanjutan Atas) atau HBS (Sekolah Menengah Belanda).


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama: surat kabar berbagai edisi.

Tidak ada komentar: