Sabtu, Desember 13, 2014

Bag-3. Sejarah Tapanuli: Kolonel Alexander van der Hart, Pahlawan Belanda yang Menjadi Residen Tapanoeli Mati Konyol Dibunuh Seorang Pribumi Biasa



Ibukota Kresidenan Tapanoeli adalah Siboga. Sejak Tapanoeli menjadi sebuah kresidenan 1843 hingga Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust pada tahun 1905, sudah ada 22 orang bangsa Belanda yang menjadi Residen Tapanoeli. Diantara mereka ini terdapat dua residen yang terkenal di kalangan Belanda yakni Mayor (Luit.-Kol.) Alexander van der Hart (1844-1847) dan L.C. Welsink (1898-1908). Artikel ini hanya fokus pada Alexander van der Hart, residen kedua Tapanoeli. Siapakah dia?

Prajurit pemberani asal Rotterdam masuk Akademi Militer di Semarang

Alexander van der Hart adalah seorang yang bagaikan ‘red devil’ bagi penduduk pribumi di Sumatra. Ini manusia tidak ada takutnya. Lahir di Rotterdam 19 Agustus 1808. Pada usia remaja van der Hart sangat bernafsu untuk menjadi prajurit. Baru menginjak usia 13 tahun, van der Hart sudah meninggalkan rumah orangtuanya dan ikut berlayar ke Hindia Belanda (Nederlansche Indie). Pada tahun 1821 van der Hart sudah berada dalam suatu ekspedisi (baca: penjajakan pendudukan) di Palembang. Diantara para prajurit yang ikut ekspedisi, van der Hart paling menonjol, karenanya sang komandan merekomendasikan anak pmberani ini mengikuti pendidikan militer di Semarang. Masuk akademi 1822 dan keluar pada tahun 1826 dengan pangkat letnan dua artileri senjata.

Setelah lulus akademi militer, van der Hart langsung menjadi bagian dalam perang Jawa, yang pada saat itu lagi gencar-gencarnya melumpuhkan perlawanan pemberontak Deipo Negoro. Meski belum ditempatkan di garis depan, van der Hart pada Desember 1827 diberi tanggung jawab untuk pembangunan sebuah benteng beton yang lokasinya antara Temple dan Kalidjinking, di jalan poros Djocjocarta-Magclang. Benteng berhasil dibangun dan hanya diselesaikan dalam beberapa hari saja. Dan baru melayani lebih dari satu tahun, luitenant dua artileri van der Hart sudah ditransfer ke Departemen Infantri Nasional (pasukan elit) di bawah Jenderal van Geen. Dia terus menerus diandalkan untuk berperang dan pada tahun 1830 van der Hart dianugerahi medali perunggu segi delapan.

Luitenant Dua yang berani ke titik musuh

Alexander van der Hart keunggulannya adalah berani ke titik musuh. Pada akhir 1830 van der Hart dipindahkan ke wilayah dimana tengah berlangsung perang yang terus menerus, di Sumatra’s Westkust. Pada tanggal 21 Desember 1930, van der Hart bersiap-siap dari Jawa membawa pasukan. Letnan dua van der Hart merupakan bagian dari pasukan yang dialihkan dari Jawa dan masuk dalam batalion pertama. Pada Juni 1931 pasukannya sudah berada di VII Kotta dalam suatu operasi militer di bawah komando Luitenant Kolonel Vermeulem Krieger. Selanjutnya pada tahun 1832 berada di lini Lintou. Di dalam pertempuran ini dia terkena peluru senapan. Setelah operasi, dan lebih cepat sembuh ia kembali.

Di arena pertempuran yang lain van der Hart terkena ranjau dan megalami luka berat, namun dua hari kemudian dia sudah ikut bertempur. Pada bulan Oktober 1832 di Limapoeloeh Kotta dia diangkat menjadi komandan sebuah detasemen 100 prajurit. Krieger mengakui kehebatan van der Hart. Sangat diandalkan di medan pertempuran yang sulit. Beberapa kali pasukannya berada di antara musuh, terkepung dan selalu ada jalan keluar meski banyak prajuritnya yang tewas. Detasemen lainnya di bawah Kapten Veltman dengan pasukannya sudah tiga kali mengepung suatu bukit yang diduduki padri, namun selalu gagal.

Namun kemudian Luitenant dua van der Hart dipercayakan ke tempat itu, cukup sekali pertempuran yang dilakukan oleh van der Hart langsung selesai perkara. Awalnya van der Hart memimpin pasukan ke titik musuh dengan merayap melalui semak-semak, namun ketika van der Hart menjulurkan badan melihat situasi, dia malahan sudah langsung ditodong oleh musuh, tetapi dasar tidak takut mati justru dengan sigap dia meloncat ke tubuh si penodong dan lalu terjadi pergulatan diantara berdua sementara disekitarnya langsung meletus pertempuran dua belah pihak. Dor..sang penodong mati. Akhirnya bukit dapat dikuasai.

Pada tanggal 23 Oktober, lagi-lagi van der Hart berani melakukan penyusupan hingga ke tembok pembatas kekuatan musuh, semua prajuritnya justru memandangi van der Hart yang sudah berhasil melewati garis musuh. Dia sendiri sesungguhnya belum pulih benar dari luka-lukanya. Bagaikan dongeng, itu cerita yang beredar.

Pemberang yang sempat dinonaktifkan dipromosikan Luitenant Satu

Alexander van der Hart sebenarnya adalah sosok prajurit sejati. Ketika masih masa pemulihan sudah ikut bertempur. Dia di masa muda adalah seorang pemuda yang memiliki sifat berang. Di mata atasannya adakalanya dia dipandang berlebihan dan bahkan meremehkan nyawanya sendiri. Pada bulan Desember 1832 dan dengan keputusan Gubernur Jenderal, dari Januari 1833, selama enam bulan van der Hart non kegiatan. Namun demikian dia tetap bersikap baik dan tidak mabuk-mabukan. Hal ini juga pernah terjadi pada tahun 1930. Dia dinonaktifkan karena sikap berlebihan namun karena berkelakuan baik, muncul keputusan pada Januari 1831 yang mana van der Hart dipanggil kembali dan tak lama kemudian dipromosikan menjadi luitenant satu.

Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya Alexander van der Hart di luar pertempuran adalah pribadi yang juga memiliki sifat sabar. Atasannya sudah tidak perlu menilai soal kemampuan dan keberanian tempurnya, tetapi atasannya selalu menilai perilaku hidupnya. Ternyata pemuda ini sangat baik. Di dalam kehidupan pribadi dia selalu sangat ramah dan vriendelij! Baik hati, penuh kasih, ia juga sangat murah hati, dan di mana pun dia selalu menghindari kecelakaan atau memperbaiki waron, dia tidak onaangewend pasukan zijno. Alexander van der Hart selama 1933 tidak ikut dalam pertempuran. Namun demikian, pada September 1834 dia mendapatkan gelar bangsawan bernama ‘der Militaire Willemsorde, 4de klasse’. Dengan demikian pada tahun 1833, tahun 1834 dan 1835 van der Hart praktis tidak berada di Sumatra’s Westkust. Sebab sejak Maret 1834 van der Hart barada di battalion keenam di bawah komandan Jenderal Cleerens.

Kapten dalam Perang Bondjol

Penaklukan Bondjol, 1837
Namun pada Maret 1836 van der Hart sudah muncul kembali di Padang. Dia sekarang dan memiliki detasemen 80 tentara plus para hulubalang Melayu. Beradasarkan penilaian di Batavia, melalui keputusan Gubernur Jenderal van der Hart dinaikkan pangkatnya menjadi kapten. Pada bulan Agustus van der Hart dengan anak buah Amboinezen menjadi bagian dari pasukan Jenderal Cochius dalam rangka serangan untuk melumpuhkan Bondjol. Pasukan van der Hart mengambil bagian dari sisi timur. Meski serangan ini berhasil namun dalam perang ini pasukannya delapan tewas dan 12 terluka. Alexander van der Hart berakhir di bawah komando Jenderal Cochius, April 1837. Hasil ini menambah sukses van der Hart. Di mana-mana ia pergi, semua melihat dia bertindak bijaksana yang selalu mendapat pujian dan sebagai pemberani yang selama berpartisipasi dalam perang selalu mampu mengepung pertahanan musuh dan lalu musuh berhasil dijatuhkan.

Oleh karena sakit, sejak awal 1838 van der Hart dipindahkan dari Sumatra’s Westkust ke Batavia. Alexander van der Hart memutuskan berhenti sejak Mei 1838. Pada tahun ini dia mendapatkan penghargaan dari Raja bintang ridder der orde van den Nederland Leeuw atas jasa-jasanya sejak Mei 1836 hingga Agustus 1837. Berdasarkanh keputusan Gubernur Jenderal 21 Februari 1838 van der Hart dialihkan dari tempur menjadi staf umum, Namun setahun kemudian Maret 1839 van der Hart  kembali lagi ke Sumatra’s Westkust sehubungan dengan diangkatnya Kolonel Michiels sebagai Residen Civiel en Militair Sumatra’s Westkust. Michiels konon sangat menyukai keberanian van der Hart ini. Lantas kemudian Alexander van der Hart ditempatkan di XIII Kottas en Daloe-Daloe. Pada tahun 1839 dan 1840 berturut-turut ditempatkan di Baros dan Singkel. Kemudian pada tahun 1841 van der Hart berhasil mengamankan kerusuhan di Saidnapitoe (Tapanoeli) dan Batipoe (Padangsche Bovenlanden). Atas keberhasilan itu, van der Hart menerima bintang ridder der Militaire Willemsoder 3de klasse.

Residen Tapanoeli berpangkat Mayor

Pada tahun 1841 diangkat menjadi mayor dalam staf umum dan kemudian pada tahun yang sama ditunjuk sebagai wakil mendampingi L.A. Galle, residen pertama Tapanoeli,  yang tugas dan fungsi ganda sebagai otoritas sipil juga sebagai otoritas militer yang membuat dirinya tidak cukup untuk istirahat. Jenderal Michiels menilai dia sangat cocok untuk tugas itu dan memang diinginkan dan diperlukan terutama untuk meningkatkan keadaan sosial dan upaya peluasan pertanian di Tapanoeli. 

Peta militer Belanda dari Siboga ke Pertibie, 1845
Pada 31 Januari 1844 mendapat perintah untuk menghimpun pasukan yang dimaksudkan untuk menambah kekuatan dalam rangka melumpuhkan dan mengamankan pemimpin Sosa (pengikut Tuanku Tambusai) yang diangap selama ini telah membuat keonaran di tanah Batak selatan (Ankola en Sipirok). Dalam tugas barunya, van der Hart mendapat pasukan sebanyak 316 orang termasuk 100 pasukan dari armada kapal frigate ‘Palembang’ yang diperbantukan untuk Tapanoeli untuk teluk Siboga. Melihat eskalasi yang ada, sesuai Keputusan Gubernur Jenderal tahun 1844, van der Hart dipromosikan menjadi pimpinan tertinggi di Residentie Tapanoeli. Pada tahun 1845 pangkatnya dinaikkan menjadi Luitenant Kolonel. Pada 12 Februari 1845 van der Hart resmi diangkat menjadi Residen Tapanoeli.

Dengan tupoksi ganda ini, A. van der Hart adalah pemimpin yang tak kenal lelah dan selalu rajin, meski semua orang melihat bahwa penyakitnya terus-menerus melemahkan dirinya. Tapi dia tidak peduli. Namun kehadirannya sangatlah berguna terutama pada upaya peningkatan pertanian dan perubahan sosial di Tapanoeli. Dia menyadari bahwa budidaya padi adalah mata pencaharian utama penduduk asli, namun tidak menghasilkan beras yang cukup di mana-mana, maka salah satu objek pertama perawatannya adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan itu. A. van der Hart lalu memerintahkan penggunaan bajak dalam pertanian--suatu alat yang berguna yang sebelumnya tidak diketahui di daerah-daerah Batak.

Semua itu disertai dengan banyak usaha dan pengawasan yang terus menerus dan ketekunan. Dan ternyata terbukti hasilnya. Selain van der Hart beruntung sebagai pemimpin yang diterima penduduk juga programnya diakui berhasil. Beberapa daerah penghasil beras di Mandheling en Ankola swasembada sudah lama hilang dan tidak cukup melayani kebutuhan keseluruhan Tapanoeli terutama di Bataklanden (nama lain wilayah Siboga dan sekitarnya waktu itu). Untuk memenuhi pangan yang cukup  dilakukan pembangunan sendiri dan juga dengan membeli dari wilayah tetangga (Padangsche Bovenlanden). Selain itu, budaya ekspor lada yang ada sebelumnya, tetapi sudah lama kondisinya memburuk. A. van der Hart berusaha untuk membangkitkan kembali penduduk dan mempromosikan tanaman produksi beras agar Baros, Sorkum, Paboejong, Tillokbaleh dan Natal dapat tumbuh sebagaimana yang dulu pernah dicapai.

Selain itu, perkebunan kopi, yang tidak dikenal sebelumhya dan akhir-akhir ini di Mandheling sudah merakyat, sekarang diperluas juga di Ankola dan lalu dilaksanakan di mana-mana. Dengan kata lain, van der Hart tidak ada penduduk yang  diabaikan, yang juga dalam hal ini termasuk perdagangan benzoïn, kapur barus dan lainnya. Semuanya secara hati-hati diperiksa dan dikendalikan agar membantu dan member dorongan bagi kemakmuran penduduk dan mendidik peradaban. Program ini dilakukan secara bertahap yang nantinya berkontribusi lebih banyak untuk pemerintah sebagai sebuah koloni. Untuk mensinergikan peradaban dan kemajuan, van der Hart juga  mempersiapkan pembangunan jalan yang nyaman dan efisien, dan untuk lebih mempromosikan beberapa kabupaten.

Eskpedisi ke Nias menjadi Luitenant Kolonel

A. van der Hart adalah sosok pemimpin yang bijaksana dan dermawan yang bekerja pada populasi Batta pada umumnya. Dia memacu terus-menerus untuk tenaga kerja, bagaimanapun, memberikan beberapa penyelesaian terhadap sejumlah pihak yang menganggap ketidakpuasan dan oposisi terhadap pemerintah. Pada mulanya dengan mengirim sejumlah militair dan menciduk sebagai tawanan setidaknya untuk memberi cukup jera bagi semangat pemberontakan. Pada bulan Mei 1847 lalu dilakukan ekspedisi ke Nias dengan pasukan tambahan karena sebelumnya upaya persuasif sejumlah militer dianggap gagal. Dalam hal ini van der Hart menyiapkan serangan kekerasan. Upaya ini dianggap penting untuk menetralisir ketidakamanan perairan pelayaran di sekitar Nias dan adanya niat bermusuhan oleh sekelompok pihak terhadap pemerintah. A. van der Hart telah mengambil langkah penyerangan dengan mengirim Luitenant Donleben untuk memunculkan ketakutan dan pertobatan bagi penduduk pribumi, juga untuk mengembalikan dan selanjutnya memperluas otoritas politik pemerintah di Nias. Ekspedisi ini akhirnya berhasil. Sebagai tanda persetujuan dan hadiah untuk kinerja di Nias kala itu baru diputuskan hitung mundur kenaikan pangkat kepada van der Hart menjadi Luitenant Kolonel berdasarkan keputusan pada November 1850.

Residen Padangsche Bovenlanden

Pada tahun 1848, Luit. Kolonel van der Hart, dengan keputusan Gubernur Jenderal, ditugaskan menjadi Residen untuk sementara waktu di P'adangsche Bovenlanden, dan juga bertanggung jawab atas komando militer di afdeeling itu. Selama menjabat di wilayah bini, dia lagi-lagi memiliki kesempatan untuk membuktikan layanan penting terutama pertanian dan peternakan, sebagai sumber utama kemajuan dan pengerahan tenaga kerja agar rajin.

Program van der Hart berupaya memperluas kebun koffijcultuur, pertambangan, penanaman teratur jutaan pohon, peningkatan produksi, perbaikan besar dalam skema perdagangan kopi skala besar dan mendirikan sejumlah gudang-gudang besar. Selain itu, juga peningkatan sarana transportasi untuk membawa koflij ke ibukota atas dasar tanpa keberatan dari penduduk asli, sebab ini juga menjadi penghapusan koeliediensten sebelumnya yang begitu dibenci oleh penduduk. Akhirnya semua itu berhasil dan dapat digunakan yang jalan yang semakin lebar dan jarak tempuh yang lebih jauh yang memungkinkan transportasi gerobak ditarik hewan. Sementara itu semua budidaya padi yang sangat berguna juga tidak dilupakan.

Ketika Generaal Majoor Michiels di tahun 1849 dipindahkan ke Java untuk memimpin ekspedisi ketiga terhadap Bali, Luitenant Kolonel van der Hart untuk sementara dipersepsikan sebagai orang yang memiliki otoritas sipil dan militer di Sumatra’s Westkust. Tugas penting van der Hart selama menjadi otoritas itu adalah meredakan kerusuhan kecil di Priaman karena otoritas setempat mengenakan pajak hampir setahun. A. van der Hart melakukan tindakan segera dan tepat. Akhirnya dapat dieselesaikan oleh van der Hart.

Gubernur Sulawesi: Kolonel A. van der Hart

Berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal, dari April 1853, Luitenant Kolonel van der Hart ditunjuk menjadi Gubernur Sulawesi dan juga bertindak sebagai komandan militer di sana yang mana van der Hart dipromosikan menjadi kolonel, berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Juli 1853. Sejumlah demonstrasi maritim muncul yang dipicu oleh beberapa pangeran yang dianggap bandel dan kemudian pada bulan Agustus 1853 diadakan ekspedisi ke Paloe, lalu dilangsungkan undangan yang dihadiri secara pribadi oleh van der Hart pada 1854, memiliki hasil terbaik sejauh ini dan membawa banyak penghargaan dan pengakuan dari otoritas dan pengaruh kita. Dengan aplikasi yang tepat dan dengan konsultasi dengan terencana, Kolonel van der Hart melakukannya dengan baik untuk menemukan solusi dan mempersingkat kenaikan signifikan pendapatan negara.

Pahlawan Belanda mati konyol oleh pribumi amatir

Namun belum lama van der Hart bekerja di sini, semua yang diraih selama ini menjadi sirna. Pada tanggal 25 malam tanggal 26 Mei 1855 salah satu dari hamba-hamba-Nya, yang sudah lama tidak bekerja lagi di malam hari sudah di rumah tuannya bersembunyi untuk melakukan kejahatan keji. Ini bermula dari sembilan bulan sebelumnya pria itu bersama-sama dengan hamba lainnya melakukan penyerangan terhadap seorang wanita lalu otoritas kehakiman di Makassar memustukan untuk dihukum. Dua hamba gubernur ini atas perintah hakim secara terbuka dihukum. Martabat hamba ini jatuh perasaan mereka terluka bahwa mereka semua dikandung segera balas dendam. Hukuman sembilan bulan bukan malah mereka untuk bertobat, tetapi malah membuat rencana untuk membahas dendam dengan belati.

Pukul dua dini hari, ketika kolonel dengan istri dan anak perempuannya lagi tidur nyenyak di rumah dinas, seorang penyusup mendekati tempat tidur dan melakukan tindakan pertama dengan menghantam kaki tuan rumah. Kolonel melompat dan mengambil senjata dan pembunuh sendiri mendapat satu luka di perut akibat tembakan, tetapi ini tidak mencegah si penyusup kabur tetapi justru sebaliknya sang penyusup mendekat kembali ke tempat tidur. Namun, prajurit tetaplah prajurit. Istrinya yang cemas dan ketakutan telah menyembunyikan diri mereka di bawah. Kemudian si penyusup menyerang kolonel dan sang jagoan perang ini kalah cepat dan terkena pukulan yang mengakibatkan dirinya tersungkur lalu tewas di tempat. Jago tembak memang tidak pernah mati tertembak, tetapi dapat mati konyol dengan cara lain bahkan dengan cara yang justru sangat sederhana.

***
Sangat tragis. Hanya oleh tangan seorang pembunuh miskin mengakhiri kehidupan seorang pria yang begitu sering telah terpapar untuk kepentingan tanah air di Nederlandsche Indie karena luput terhadap bahaya perang. Sudah begitu banyak pengorbanan dan kesulitan yang dihadapinya untuk kepentingan negara tetapi tetap mampu menyelamatkan hidupnya. Keberanian tidak takut mati dan ketangkasan memainkan senjata menjadi ciri yang melekat pada dirinya. Kehormatan yang diperolehnya dalam tugas sering disampaikan kepada tentara lain sebagai bukti keberanian dan loyalitas Alexander van der Hart. Kolonel van der Hart tak bisa disangkal merupakan salah satu contoh prajurit terbaik yang dimiliki. Akan tetapi tak terduga van der Hart justru mati konyol ditangan seseorang yang tidak tahu apa-apa. ‘Semoga nama van der Hart selalu tetap lama dalam ingatan kita’ sebuah pesan yang mengakhiri sebuah rangkaian tulisan yang dimuat di Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, edisi 26, 27 dan 28 Agustus 1856.

(bersambung)

*Dikompilasi dan diringkas oleh Akhir Matua Harahap.

Tidak ada komentar: