Kamis, September 03, 2015

Dr. Sorip Tagor Harahap: Dokter Hewan Pertama, Alumni Sekolah Kedokteran Hewan di Bogor (1912); Pendiri Sumatranen Bond di Belanda (1917)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah TOKOH Tabagsel dalam blog ini Klik Disini

Sorip Tagor lahir di huta (desa) Hoeta Imbaroe, Padang Sidempoean, 21 Mei 1888. Anak dari pasangan Radja Tagor Harahap dan Dorima Siregar ini memulai pendidikan dasar berbahasa Belanda (ELS) di Padang Sidempoean. Sorip Tagor kemudian melanjutkan studi ke Sekolah Kedokteran Hewan (Inlandschen Veeartsen School) tahun 1907 di Buitenzorg (kini Bogor). Sekolah Kedokteran Hewan di Buitenzorg ini sendiri dibuka tahun 1907 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-06-1928).

Sebelum lulus, Sorip Tagor diangkat sebagai asisten dosen (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 16-08-1912). Pada tahun 1912 Sorip Tagor dinyatakan lulus dan bergelar Dokter Hewan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 22-08-1912).

Pada tahun 1910, Alimoesa Harahap mengikuti jejak Sorip Harahap hingga ke Sekolah Kedokteran Hewan di Buitenzorg. Alimoesa, kelahiran Losoeng Batoe, Padang Sidempoean lulus tahun 1914 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 08-08-1914). Alimoesa Harahap kelak berkarir sebagai pejabat kesehatan di Pematang Siantar dan pada tahun 1922 menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Pematang Siantar. Pada tahun 1927, Alimoesa Harahap terpilih menjadi anggota dewan pusat (Volksraad) di Batavia. Alimoesa Harahap adalah anggota Volksraad pertama dari Sumatra Utara.

Siswa-siswa lainnya pada fase awal ini (1910-1930) yang menyusul ke Sekolah Kedokteran Hewan di Buitenzorg yang berasal dari Afdeeling Padang Sidempoean, antara lain: Aboe Bakar Siregar, Alibasa Harahap, Pinajoengan, Anwar Nasoetion, Hari Rajo Pane dan lainnya. Anwar Nasoetion yang lulus tahun 1930 kelak dikenal sebagai ayah dari Prof. Andi Hakim Nasoetion (Rektor IPB 1978-1987).

Pada tahun 1913, Sorip Tagor diangkat lagi sebagai asisten dosen di Sekolah kedokteran Hewan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-08-1913). Namun tidak lama kemudian (masih tahun 1913), Sorip Tagor berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studinya untuk mendapatkan gelar dokter hewan penuh (setara dokter hewan Belanda, yang disingkat Dr). Bulan Juni 1916, Sorip Tagor lulus ujian kandidat dokter hewan (tingkat dua) di Rijksveeartsenijschool, Utrecht (lihat Algemeen Handelsblad, 19-06-1916).

Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempoean sudah kota besar
Pada tahun 1917, Sorip Tagor lulus ujian dari tingkat tiga ke tingkat empat (lihat Algemeen Handelsblad, 23-09-1917). Oleh karena sekolah kedokteran hewan hanya ada di Utrecht, dan di sekitar tahun kedatangan hingga lulus tidak terdapat nama pribumi maupun Tionghoa, besar kemungkinan Sorip Tagor adalah mahasiswa pribumi pertama di sekolah kedokteran hewan di Belanda. Dengan kata lain, Sorip Tagor adalah pelopor pendidikan kedokteran hewan di Indonesia (baca: Hindia Belanda).

Satu dari lima pribumi pertama yang kuliah di Belanda adalah Soetan Casajangan, kelahiran huta Batoe Nadoea, Padang Sidempoean. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, mantan seorang guru di huta Simapilapil, alumni Kweekschool Padang Sidempoean tiba di Amsterdam tahun 1905. Tujuan kedatangannya untuk mendapatkan akte kepala sekolah (setara guru Eropa) di Haarlem. Selama kuliah, Soetan Casajangan aktif menulis dan berorganisasi. Pada tahun 1908, Soetan Casajangan menggagas didirikannya Perhimpoenan Hindia (Indische Vereeniging) yang sekaligus menjadi presiden pertama. Organisasi mahasiswa ini kelak berubah nama menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI). Soetan Casajangan kembali ke tanah air tahun 1913 dan ditempatkan mengajar di sekolah Eropa (ELS) di Buitenzorg. Besar kemungkinan Sorip Tagor dan Soetan Casajangan sudah kenal dekat baik ketika di Padang Sidempoean maupun di Buitenzorg. 

Pionir lainnya asal Afdeeling Padang Sidempoean, antara lain: (1) Radja Enda Boemi adalah ahli hukum pertama orang Batak, satu dari dua pribumi di Sumatra, dan satu dari delapan pribumi di Hindia. Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran, lulus dari Universiteit Leiden tahun 1925 (2) Ida Loemongga, alumni sekolah elit Prins Hendrik School di Batavia adalah sarjana kedokteran lulusan Universiteit Leiden dan kemudian melanjutkan studi doktoral ke Universiteit Utrecht dan meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1931. Ida Loemongga Nasution adalah perempuan Indonesia pertama yang begelar Ph.D (3) Soetan Goenoeng Moelia adalah penerus Soetan Casajangan yang sama-sama studi di bidang pendidikan. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia adalah pribumi pertama yang bergelar doktor (Ph.D) di bidang pendidikan, lulus dari Rijks Universiteit, Belanda tahun 1933. 

Jangan lupa: Satu lagi, Si Sati Nasution atau dikenal sebagai Willem Iskander adalah orang pribumi pertama studi ke Negeri Belanda tahun 1857 untuk mendapatkan akte guru. Setelah lulus tahun 1861, Willem Iskander pulang ke kampung dan tahun 1862 mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Tanobato (Afd. Mandailing en Angkola, kemudian disebut Afd. Padang Sidempoean). Willem Iskander adalah pelopor pendidikan nasional di Indonesia. Untuk sekadar diketahui, dua kakak kelas Si Sati yang bernama Si Asta dan Si Angan diterima di sekolah kedokteran Docter Djawa School di Batavia tahun 1854. Keduanya lulus tahun 1857 dan mereka berdua adalah siswa yang pertama diterima di Docter Djawa School yang berasal dari luar Jawa (Docter Djawa School kemudian diubah menjadi STOVIA)... .

Selama masa kuliah di Utrecht, Sorip Tagor aktif berorganisasi terutama di Indische Vereeniging. Anak-anak asal Afd. Padang Sidempoean di Belanda sudah cukup banyak ketika Sorip Tagor datang, antara lain: Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon (tiba 1910), Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (1911). Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi, Mangaradja Soangkoepon dan Soetan Goenoeng Moelia kelak menjadi anggota Volksraad. Radja Enda Boemi setelah kembali ke tanah air tahun 1925 diangkat sebagai ketua pengadilan di Semarang, kemudian dipindahkan ke Soerabaja dan lalu terakhir sebagai ketua pengadilan di Buitenzorg.

Sumatra Bond di Belanda 1917
Sorip Tagor mempelopori didirikannya Perhimpoenan Sumatra di Belanda. Pada tanggal 1 Januari 1917, Sumatra Bond resmi didirikan dengan nama ‘Soematra Sepakat di Utrecht’. Dewan terdiri dari Sorip Tagor (sebagai ketua); Dahlan Abdoellah, sebagai sekretaris dan Soetan Goenoeng Moelia sebagai bendahara. (Salah satu) anggota (benama) Ibrahim Datoek Tan Malaka (yang kuliah di kampus Soetan Casajangan). Tujuan didirikan organisasi ini untuk meningkatkan taraf hidup penduduk di Sumatra, karena tampak ada kepincangan pembangunan antara Jawa dan Sumatra. Mereka yang tergabung dalam himpunan ini menerbitkan majalah yang akan dikirim ke Sumatra dan mengumpulkan berbagai buku yang akan dikirimkan ke perpustakaan di Padang, Fort de Kock, Sibolga, Padang Sidempoean, Medan. Koeta Radja dan di tempat lain di Soematra  (lihat De Sumatra post, 31-07-1919).

Di Batavia juga didirikan Sumatranen Bond. Organisasi ini dibentuk oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA yang berasal dari Sumatra. Sumatra Bond yang disebut Jong Sumatra didirikan pada tanggal 8 Desember 1917. Asosiasi pemuda ini lahir dari suatu pemikiran bahwa intesitas (pembangunan) hanya berada di Jawa dan di Sumatra dan pulau-pulau lainnya terabaikan. Dengan kata lain pemikirannya sama dengan Sumatranen Bond/Sumatra Sepakat yang berada di Belanda. Susunan pengurus Jong Sumatranen di Batavia ini adalah Tengkoe Mansoer sebagai ketua, Abdoel Moenir Nasoetion sebagai wakil ketua, Amir dan Anas sebagai sekretaris serta Marzoeki sebagai bendahara (lihat De Sumatra post, 17-01-1918).

Pada era Sorip Tagor, Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging) memulai ‘memanaskan mesin’ rezim politik. Selama ini Perhimpunan Hindia masih sebatas memperjuangkan isu-isu pembangunan khususnya pendidikan, pertanian dan ekonomi. Organisasi ini semakin loyo sejak Soetan Casajangan pulang ke tanah air tahun 1913. Pendirian Sumatranen Bond di Belanda oleh Sorip Tagor 1917 menjadi jalan keluar dalam menghadapi persoalan kebangsaan di Perhimpoenan Indonesia. Lalu pada tahun 1919 Dahlan Abdoellah, sekretaris Sumatranen Bond menjadi ketua Perhimpoenan Hindia (Indische Vereeniging) yang menjadi awal perubahan haluan di Perhimpoenan Hindia dari incremental ke arah yang lebih radikal. 

Sorip Tagor di dalam majalah Hindia Poetra, organ Perhimpoenan Hindia pada edisi Januari 1919 menulis artikel yang pada intinya mengatakan bahwa 'studi dan kegiatan politik sejalan dalam organisasi'. Sorip Tagor  kata-kata pedas mengatakan 'jika Perhimpoenan Hindia menghindari politik, organisasi tidak akan mencapai apapun dalam bentuk manfaat bagi penduduk Indonesia, baik hari ini maupun masa datang'. Sorip Tagor juga dalam tulisan mempersalahkan sejumlah mahasiswa asal Jawa dari keluarga ningrat yang tak punya perhatian terhadap situasi umum di Hindia dan keadaan kehidupan wong cilik (lihat Harry A. Poeze  et al: ‘Di negeri penjajah: orang Indonesia di negeri Belanda, 1600-1950). 

Lalu secara perlahan-lahan Perhimpoenan Hindia merespon baik teguran Sorip Tagor tersebut. Aksi nyata mulai terlihat pada kepengurusan Dr. Soetomo dan kemudian tingkat radikalisme Perhimpoenan Hindia semakin menguat di era kepengurusan Mohamad Hatta yang mana Perhimpunan Hindia diubah namanya lebih radikal menjadi Perhimpoenan Indonesia. Masa kepengurusan Mohamad Hatta merupakan cukup lama (1926-1930. Radikalisme Perhimpoenan Indonesia (memperjuangkan kemerdekan dan melawan imperialis) mencapai puncaknya pada masa kepengurusan Parlindoengan Lubis, Sidartawan dan Mohamad Ildrem Siregar (sejak 1938).

Mangapa Sorip Tagor berapi-api soal nasionalisme? Jawabnya adalah karena Sorip Tagor dan Soetan Casajangan sama-sama memiliki satu pemikiran. Boleh jadi, Sorip Tagor telah banyak mendapat masukan dari Soetan Casajangan. Sejak awal, Soetan Casajangan adalah actor pertama pergerakan di Belanda yang kerap memberikan kritik dan solusi kehidupan di Hindia di berbagai forum yang dihadiri oleh kalangan cendekiawan di Belanda. Soetan Casajangan, sebelum pulang ke tanah air, pada tahun 1913 menerbitkan buku yang dicetak di Barns oleh Percetakan Hollandia-Drukkerij. Inilah cara Soetan Casajangan agar orang di Eropa dapat melihat apa yang terjadi di Hindia. Buku itu berjudul: 'Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander' (negara bagian di Hindia Belanda dilihat oleh penduduk pribumi). Buku ini adalah sebuah monograf (kajian ilmiah) yang mendeskripsikan dan membahas tentang perihal ekonomi, sosial, sejarah budaya Asia Tenggara (nusantara) dan khususnya pembangunan pertanian di Indonesia. Buku ini berangkat dari pemikiran bahwa sudah sejak lama penduduk pribumi merasakan adanya dorongan untuk penyatuan yang lebih besar yang kemudian dengan munculnya berbagai sarikat, antara lain Indisch Vereeniging (digagas oleh Soetan Casajangan) dan Boedi Oetomo (digagas oleh Soetomo). Buku ini sangat mengejutkan berbagai pihak di kalangan orang Belanda baik di Negeri Belanda maupun di Hindia Belanda. Buku ini adalah buku pertama orang pribumi yang diterbitkan pertama kali dan diedarkan di Eropa. Saat buku ini diberitakan di surat kabar, Dr. Soetomo baru pulang dari tugas di Deli (1911-1914) berpidato di rapat umum yang dilaksanakan di Boedi Oetomo cabang Batavia. Dr. Soetomo mengatakan kontrak kuli (asal Jawa) di Deli tidak adil dan sangat menderita. Dr. Sotomo lebih lanjut mengatakan 'kita tidak bisa (lagi) berjuang sendiri (melihat situasi di Deli). Kita harus berjuang bersama. Orang luar Jawa banyak yang terpelajar terutama dari Tapanoeli'. Sejak inilah Dr. Soetomo (meski sebagai pendiri tetapi terkooptasi oleh senior) melihat Boedi Oetomo telah salah jalan (hanya terbatas dan bersifat kedaerahan di Jawa, Madura, Bali dan Lombok sesuai statuta Boedi Oetomo). Pada tahun 1919 Dr. Soetomo melanjutkan studi kedokteran ke Belanda dan langsung bergabung dengan Perhimpoenan Hindia. Boleh jadi Dr. Soetomo telah memahami arah haluan politik Perhimpoenan Hindia sudah lebih radikal (sejak kepengurusan Dahlan Abdoellah dan teguran Sorip Tagor). Haluan inilah yang ditemukan Dr. Soetomo ketika menyadari Boedi Oetomo tidak bisa berjuang sendiri. Dr. Soetomo semakin intens di Perhimpoenan Hindia dan kemudian menjadi ketua pengurus. Demikianlah garis continuum Perhimpoenan Hindia (Indische Vereeniging) menjadi Perhimpoenan Indonesia: Soetan Casajangan adalah pelopor; Sorip Tagor dan Dahlan Abdoellah sebagai pendobrak; lalu Soetomo dan Mohamad Hatta sebagai penegak; kemudian Parlindoengan Lubis sebagai penerus.

***
Sorip Tagor pada bulan Desember 1920 lulus ujian akhir (2de helft) di Rijksveeartsenijschool, Utrecht. Sorip Tagor diwisuda dan mendapat gelar dokter hewan (lihat Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 30-01-1921). Secara kronologis studi Sorip Tagor sebagai berikut: Sorip Tagor terdaftar sebagai mahasiswa Rijksveeartsenijschool pada akhir tahun 1913 lalu mengikuti program matrikulasi (penyetaraan). Pada tahun 1915 kuliah tingkat satu (lulus ujian); tahun 1916 kuliah tingkat dua (lulus ujian kandidat dokter hewan); tahun 1917 kuliah tingkat tiga (lulus ujian); tahun 1918 kuliah tingkat empat (lulus ujian propa. dan melakukan riset); pada bulan Juni 1920 lulus ujian pertama atau ist helft. Terakhir pada bulan Desember 1920 lulus ujian 2de helft (eindexamen). Dr. Sorip Tagor meski aktif berorganisasi dan mempelopori gerakan politik mahasiswa di lingkungan organisasi mahasiwa Perhimpoenan Hindia, namun kelancaran studinya tetap berjalan normal. Seperti pernah dikatakannya bahwa 'studi dan politik sama pentingnya'.

Een eeuw veeartsenijkundig onderwijs (1921)
Berdasarkan buku Satu Abad Sekolah Kedokteran Hewan Belanda (Een eeuw veeartsenijkundig onderwijs, 1821-1921) dari dua puluh mahasiswa yang lahir di Nederlandsch Indie (Hindia Belanda) hanya satu pribumi yakni Sorip Tagor. Ini memastikan bahwa Sorip Tagor Harahap adalah pribumi pertama alumni Belanda bergelar dokter hewan (Dr.).

Setelah Dr. Sorip Tagor kembali ke tanah air, di Batavia, Gubernur Jenderal menunjuk Dr. Sorip Tagor untuk menjadi dokter hewan di lingkungan istana. Penunjukan dan pengangkatan ini secara resmi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Koloni No. 89 Tanggal 26 Mei 1921 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 22-09-1921). Dalam tugas ini, Dr. Sorip Tagor juga diperbantukan di Soerabaja (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 27-10-1921). Setelah itu, Dr. Sorip Tagor ditempatkan di Pekalongan dan pada tahun 1925 tugas ini juga diperbantukan ke Tegal. Pada tahun 1927 Dr. Sorip Tagor ditempatkan sebagai Kepala Dinas Sipil Veeartsenjjkundigen di Weltevreden, kini Gambir (lihat De Indische courant, 26-02-1927). Pada tahun 1928 Dr. Sorip Tagor dipindahkan ke Sibolga (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 07-01-1928). Setelah beberapa tahun di Tapanoeli, Dr. Sorip Tagor dipindahkan ke Muaraboengo, Djambi dan pada tahun 1937 Dr. Sorip Tagor dipindahkan ke Djawa dan menjadi kepala dinas di Provinsi Djawa Barat yang berkedudukan di Bandoeng (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 20-05-1937). 

Selanjutnya pada tahun 1941, dokter kelas satu (pangkat tertinggi pegawai pemerintah) Dr. Sorip Tagor dipindahkan dari Bandoeng ke Batavia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 31-05-1941). Ketika terjadi pendudukan Jepang, Dr. Sorip Tagor tercatat satu dari empat dokter hewan yang berada di Batavia (Bataviaasch nieuwsblad, 19-02-1942). Dr. Sorip Tagor  membuka praktek di Sawah Besar Batavia/Djakarta (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 08-10-1948). Pada saat pengakuan kedaulatan Indonesia, Dr. Sorip Tagor diangkat pemerintah RI sebagai kepala di Dinas Kesehatan Hewan di Djakarta (De nieuwsgier, 26-11-1951).
Satu lagi anak huta Hoeta Imbaroe, Padang Sidempoean bernama Radja Goenoeng yang lahir tahun 1883 (senior dari Sorip Tagor) adalah termasuk tokoh penting. Setelah menyelesaikan sekolah dasar di Padang Sidempuan melanjutkan pendidikan ke sekolah guru di Fort de Kock (lulus 1898). Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng menjadi guru di berbagai tempat dan terakhir di tempatkan di Medan sebagai penilik (pengawas) sekolah. Pada tahun 1918 Radja Goenoeng terpilih menjadi anggota dewan kota (gementeeraad) Medan. Radja Goenoeng adalah orang pribumi pertama yang terpilih sebagai anggota dewan kota di Medan (dewan kota Medan baru dibentuk tahun 1912). Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng mendapat bintang dari Gubernur Jenderal di Batavia tahun 1928 karena prestasinya di bidang pendidikan. Radja Goenoeng adalah yang mereorganisasi sistem pendidikan di Medan dan Noord Sumatra (Tapanoeli en Oostkust Sumatra).Sebelumnya (1923) nama Kajamoedin menjadi salah satu dari sekian anak-anak Padang Sidempoean yang menjadi kandidat untuk Volksraad 'dapil' Sumatra. Kandidat lainnya untuk Sumatra yang berasal dari Padang Sidempoean, antara lain: Radja Goenoeng di Medan; Dr. Abdoel Rasjid (di Padang Sidempoean); Mr. Soetan Goenoeng Moelia di Batavia; dan Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon dari Oostkust Sumatra. Dr. Abdoel Rasjid (yang juga merupakan adik dari Mangaradja Soangkoepon) adalah pendiri dan ketua pertama Bataksch Bond di Batavia tahun 1919.    
Dr. Sorip Tagor atau Haji Muhammad Sorip Tagor Harahap meninggal dunia tanggal 21 Mei 1973 di Cisarua (Jalan Selabintana), Sukabumi, Jawa Barat. Salah satu anaknya bernama Agus Tagor Harahap, yang cara pemikirannya sejalan dengan cara pemikiran ayahnya. Agus Tagor memiliki dua stasion radio yang terkenal: Di Bogor bernama Radio Kauman yang akrab dengan siaran-siaran bagi masyarakat bawah dan pembangunan pedesaan. Di Jakarta bernama Radio Kayumanis yang akrab dengan rakyat bawah dan pembangunan watak berjiwa sosial. Agus Tagor pernah menjadi anggota DPR. Kini, nama Tagor menjadi identitas keluarga yang bersifat generik. Inez Tagor dan Risty Tagor artis-artis top masa kini termasuk dalam keluarga Tagor ini.
Dr. Sorip Tagor adalah dokter hewan Indonesia pertama dan telah mempelopori perjuangan mahasiswa dalam gerakan politik (studi dan politik sama pentingnya). Dokter hewan berikutnya adalah JA Kaligis. Jelang kelulusan Sorip Tagor di Universiteit Utrecht, JA Kaligis tiba di Belanda untuk melanjutkan studi kedokteran hewan (juga) di Utrecht  (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-01-1920). JA Kaligis lulus dan mendapat gelar dokter hewan bulan Oktober 1922 (lihat Nieuwe Rotterdamsche Courant, 05-10-1922).
Kelahiran Padang Sidempoean lainnya lulusan Veeartsen School te Buitenzorg yang melanjutkan studi ke Belanda adalah Tarip Siregar. Keberangkatan Tarip Siregar karena hadiah beasiswa yang diberikan pemerintah atas publikasi hasil penelitiannya dalam pemberantasan cacing pita pada ternak. Tarip Siregar berangkat ke Belanda tahun 1927. Pada tahun 1930 Tarip dinyatakan lulus ujian akhir dan mendapat gelar dokter (Dr) tahun 1930 di Veeartsenij Hoogeschool di Utrecht, Belanda (De Sumatra post, 07-10-1930). Dr. Tarip Siregar dan Alimoesa Harahap sama-sama lulus di Veeartsen School te Buitenzorg tahun 1914 (JA Kaligis lulus tahun 1910 di Veeartsen School te Buitenzorg). Pada tahun 1918 status Veeartsen School ditingkatkan dari persyaratan ELS/HIS menjadi MULO atau sederajat (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 23-05-1918).
Sebelum sekolah Veeartsen School te Buitenzorg dibuka pada tahun 1907, pendidikan kedokteran hewan bagi pribumi dilakukan dengan program khusus (kursus tiga tahun yang dilakukan secara periodikal). Salah satu alumni kursus kedokteran hewan tersebut adalah Radja Proehoeman yang lulus dokter hewan tahun 1886. Setelah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, pada tahun 1907 dokter hewan Radja Proehoeman ditempatkan di Padang Sidempoean (Bataviaasch nieuwsblad, 07-03-1907).
Saat Veeartsen School dengan masa pendidikan empat tahun dibuka di Buitenzorg, boleh jadi Radja Proehoeman yang merekomendasikan Sorip Tagor. Si Badorang gelar Radja Proehoeman kelahiran Pakantan adalah ayah dari Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D, dokter begelar doktor (Ph.D) gernerasi pertama. Sjoeib Proehoeman diterima di sekolah kedokteran STOVIA tahun 1909 dan lulus tahuh 1917. Dr. Sjoeib Prohoeman awalnya ditempatkan di Batavia dan kemudian pada tahun 1919 Sjoeib Proehoeman dipindahkan ke Padang Sidempoean (De Sumatra post, 26-06-1919). Tidak lama kemudian Sjoeib Proehoeman dipindahkan ke Panjaboengan (Bataviaasch nieuwsblad, 29-10-1919). Selanjutnya Sjoeib Proehoeman diberi kesempatan untuk melanjutkan studi kedokteran ke Belanda (Bataviaasch nieuwsblad, 31-05-1926). Sjoeib Prohoeman lulus mendapat gelar dokter (Dr) tahun 1926. Dr. Sjoeib Proehoeman tidak langsung pulang tetapi langsung melanjutkan ke tingkat doktoral. Dr. Sjoeib Proehoeman berhasil meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam dengan desertasi berjudul ‘Studies over de epidemiologie van de ziekte van Weil, over haren verwekker en de daaraan verwante organismen’ (lihat Nieuwsblad van het Noorden, 20-11-1930). Seperti halnya nama Tagor, nama Proehoeman juga menjadi nama generik untuk keluarga keturunan Radja Proehoeman, dokter hewan Indonesia generasi pertama. Lihat juga Sejarah Universitas Indonesia (3): Sejarah Panjang Universitas Indonesia; Prof. Mr. Soepomo, Ph.D Doktor Hukum Cum Laude

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: