Kamis, September 10, 2015

Gelar Doktor Pertama di Indonesia: Dr. Ida Loemongga, PhD, Doktor Perempuan Pertama di Indonesia

Baca juga:
Bag-8. Sejarah Padang Sidempuan: ‘Dr. Ida Loemongga, PhD, Dinasti Guru dan Dokter: Like Son, Like Father; Like Girl, Like Mother’


Ida Loemongga dikawal dua adiknya saat sidang terbuka di Amsterdam, 1932
Pendidikan doktor adalah pendidikan tertinggi di bidang akademik. Pada masa kini, jumlah doktor Indonesia sudah cukup banyak tetapi masih jauh dari jumlah yang dibutuhkan. Perempuan yang bergelar doktor jumlahnya masih sangat sedikit jika dibandingkan laki-laki. Meski begitu adanya, namun gelar doktor sesungguhnya sudah sejak dari doeloe, orang Indonesia dapat meraihnya. Tidak hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Uniknya, empat diantara orang Indonesia bergelar doktor pertama adalah berasal dari Padang Sidempuan, afd. Mandheling en Ankola, Tapanoeli. Bahkan satu diantara empat tersebut adalah doktor perempuan pertama di Indonesia..  

***
Husein Djajadiningrat
Gelar doktor pertama diraih oleh Hussein Djajadiningrat di Universiteit Leiden pada Mei 1913 di bidang sastra (De Telegraaf, 31-12-1934). Desertasi Djajadiningrat berjudul ‘Critische beschouwingen van di Sadjarah Banten’. Dr. Mr. Hussein Djajadiningrat juga adalah profesor pertama di Indonesia. Pada tahun 1935 Husein Djajadiningrat diangkat menjadi guru besar bidang hukum di Rechtschool, Batavia (lihat juga De Telegraaf, 31-12-1934).

Husein Djajadiningrat berangkat studi ke Belanda tahun 1904. Pada tahun 1905 menyusul Soetan Casajangan. Pada awal tahun 1906 jumlah mahasiswa pribumi di Belanda baru enam orang, termasuk didalamnya dokter Abdul Rivai (alumni docter djawa school) yang awalnya bekerja sebagai editor Bintang Hindia. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan kelahiran Padang Sidempuan adalah tokoh pergerakan pemuda pertama di Belanda. 

Ketua: R. Soetan Casajangan Soripada van Padang Sidempoean
Soetan Casajangan adalah penggagas untuk didirikannnya Perhimpunan Hindia (Indisch Vereeniging) tahun 1908 yang mana jumlah mahasiswa pribumi sudah mencapai 20an orang (Poeze et.al, 2008). Presiden pertama Perhimpunan Hindia (PH) dijabat oleh Soetan Casajangan hingga akhir 1910. Pada tahun 1911 Soetan Casajangan lulus sarjana pendidikan. Sebelum pulang ke tanah air, Soetan Casajangan menerbitkan buku berjudul 'Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander' (negara bagian di Hindia Belanda dilihat oleh penduduk pribumi). Tulisan ini sudah beredar sejak 1911 dan baru diterbitkan di Baarn oleh Percetakan Hollandia-Drukkerij. Suatu buku pertama orang pribumi yang beredar di Eopa. Soetan Casajangan baru pulang ke tanah air tahun 1914 (sejak 1905). Pada tahun dimana Soetan Casajangan pulang ke tanah air, di kampusnya di Rijstschool masuk Tan Malaka (tokoh pergerakan pemuda berikutnya). Dalam perkembangannya, Perhimpunan Hindia oleh Hatta dan kawan-kawan pada tahun 1920an diubah namanya menjadi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Sebelumnya, dua anak Padang Sidempuan kemudian yang datang menyusul Soetan Casajangan studi ke Belanda yaitu: Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon (1910) dan Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (1911). Setelah itu, sejumlah anak-anak Padang Sidempuan menyusul dan yang terkenal adalah Sorip Tagor Harahap, alumni pertama Sekolah Dokter Hewan di Bogor (1912) dan tiba di Belanda 1916 untuk mengambil sarjana penuh dokter hewan (Dr). Sorip Tagor. dokter hewan pribumi pertama studi di Belanda kelak lebih dikenal sebagai ompung dari Inez dan Risty Tagor. Kebijakan dokter pribumi diizinkan studi untuk menjadi dokter penuh baru belakangan terjadi. Alumni docter djawa school/STOVIA yang pertama memanfaatkan ini adalah Abdul Rivai dan mendapat gelar dokter penuh (Dr) tahun 1908..
Orang kedua yang mendapat gelar doktor adalah Mr. Gondokoesoemo pada tahun 1922. Judul desertasinya adalah ‘Vernietiging van Desabeslissingen in Indie’. Dr. Mr. Gondokoesoeno adalah yang pertama pribumi di bidang hukum meraih gelar doktor. Pada tahun ini juga, dilaporkan Mr Li Tjoan Kiat meraih gelar doktor di bidang kedokteran dengan predikat cumlaude, anak seorang Letnan Cina di Djombang (De Sumatra post, 28-08-1922), Namun Li Tjoan Kiat tidak kembali ke tanah air, dan lebih memilih berkarir di Eropa.

Algemeen Handelsblad, 30-05-1925
Orang ketiga bergelar doktor adalah Radja Enda Boemi. Anak Batang Toroe, Padang Sidempoean ini memperoleh gelar doctor (PhD) di bidang hokum di Leiden 1925 dengan desertasi berjudul: ‘Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland’. Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi adalah sarjana (ahli) hukum pertama dari Tanah Batak dan kedua dari Sumatra dan salah satu dari delapan ahli hukum pribumi yang ada di Nederlancsh-Indie kala itu. Radja Enda Boemi sebelum ke Negeri Belanda telah menyelesaikan tingkat sarjana hokum (Mr) di Rechts School, Batavia. Sepulang dari Belanda, Radja Enda Boemi ditunjuk sebagai Kepala Pengadilan di Semarang, lalu di Surabaya dan terakhir di Buitenzorg. Orang keempat adalah DJ Apituley di Amsterdam dengan desertasi berjudul: 'Onderzoekingen over de histiogenese van émail en mambraan van Nasmyth' (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 10-07-1925). Orang kelima adalah Poerbatjaraka pada bidang sastra di Universiteit Leiden dengan desertasi berjudul 'Agastya in den Archipel' (lihat Rotterdamsch nieuwsblad, 11-06-1926).  
Poerbatjaraka memiliki tradisi ilmiah yang unik dalam meraih gelar doktor. Di kampong halamannya, Poerbatjaraka secara alamiah sangat berminat pada sastra (Jawa kuno). Lalu kemudian pindah ke Batavia untuk bekerja di museum. Bakat Poerbatjaraka ini dilihat oleh Prof. Dr. NJ Krom (Kepala Dinas Arkeologi) yang mana Poerbatjaraka kerap mengirim tulisannya ke Journal Bataviaascsch Genootschap. Krom merekomendasikan dan pada tahun 1921 pemerintah memberikan kesempatan untuk belajar dibawah bimbingan Prof. GAJ Hazeu di Universitiet Leiden. Pada tahun 1922, Perbatjaraka diangkat sebagai asisten dosen di universitas karena posisi itu lagi kosong karena ditinggal pengasuh sebelumnya. Dalam fase studi dan merangkap asisten ini, Poerbatjarakan juga telah mengirim tulisannya ke Bijdragen van het Kon. Instituut di Gravenhage. Kebetulan, ketentuan statuta pendidikan tinggi ada perubahan dan syarat untuk menjadi kandidat doktor sesuai dengan kapabalitas Poerbatjaraka  dan tidak menyia-nyiakan peluang baru itu lalu dimanfaatkan oleh Poerbatjaraka. Selanjutnya Poerbatjaraka dipromosikan dan berhasil meraih gelar doctor (Rotterdamsch nieuwsblad, 11-06-1926). Hal ini berbeda dengan yang dialami oleh Gerungan Ratulangie pada tahun 1915. Ketika Gerungan Ratulangie yang lebih popular Sam Ratulangi lulus sarjana dan mendapat akta pengajar, ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi (doctoral), tetapi ditolak karena kurang persyaratan (lihat De Sumatra post, 24-11-1915). Perubahan peryaratan inilah kemungkinan yang dimanfaatkan oleh Perbatjaraka. Sam Ratulangi ketika itu adalah ketua Perhimpunan Indonesia (Indisch Vereeniging). Pada tahun 1920, ketika muncul kandidat untuk Volksraad, nama Sam Ratulangi muncul dengan gelar doktor (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 13-11-1920). Boleh jadi Sam Ratulangi melanjutkan kuliah di negara lain. Selama tahun-tahun 1915-1920, nama Sam Ratulangi tidak muncul di koran-koran Belanda, karena itu, tidak ditemukan kapan Sam Ratulangi meraih gelar doktor dan apa judul desertasinya. Hal ini juga boleh jadi telah dialami oleh Abdul Rivai sebelumnya. Poeze et al 2008 menyebut Abdul Rivai mengambil program doktoral non desertasi di luar Belanda. 
Ida Loemongga (foto 1932)
Orang keenam yang meraih gelar doktor adalah Ida LoemonggaPada tahun 1931, Ida Loemongga dipromosikan sebagai doktor di bidang kedokteran dengan desertasi berjudul ‘Diagnose en prognose van aangeboren hartgebreken’ (Bataviaasch nieuwsblad, 20-01-1931). Ida Loemongga Nasution kelahiran Padang Sidempuan, anak dari Dr. Harun Al Rasjid adalah perempuan Indonesia pertama yang bergelar doktor. Sidang terbuka Ida Loemongga digelar pada tahun 1932 di Amsterdam (lihat foto di atas).  Pada tahun 1934 Ida Loemongga pulang ke tanah air dan setelah mendapat lisensi dari pemerintah membuka praktek di Batavia. Ketika Ida Loemongga pulang, adiknya bernama Gele Harun baru memulai perkuliahan di bidang hukum di Iniversiteit Leiden. Setelah mendapat gelar master (Mr), Gele Harun pulang kampung dan membuka kantor advokat di Lampung (Letkol Mr.Gele Harun adalah residen pertama Lampung, kini tengah diusulkan menjadi Pahlawan Nasional di Lampung). .

Bataviaasch nieuwsblad, 20-01-1931
Untuk para pembaca perlu memperhatikan bahwa di era Belanda gelar dokter terbagi dua, yang pertama adalah lulusan docter djawa school atau STOVIA disebut inlandsch art (dokter pribumi). Untuk menjadi dokter penuh harus studi lagi ke Belanda. Lalu dokter penuh ini menjadi syarat untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat doktoral (kini PhD). Gelar untuk ketiga level pendidikan yang berbeda tersebut kerap menggunakan singkatan yang sama (Dr). Para alumni docter djawa school atau STOVIA yang menjadi dokter penuh di Belanda antara lain, Radjiman (lihat De Sumatra post, 4-12-1910), Mohamad Sjaaf dan Soetomo (lihat Algemeen Handelsblad, 01-06-1921). Yang berasal dari Padang Sidempuan antara lain: Diapari Siregar (lihat De Sumatra post, 19-08-1927)  dan Aminoedin Pohan (lihat Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 15-06-1932) serta (dokter hewan) Sorip Tagor (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-07-1920). Para dokter yang langsung studi kedokteran ke Belanda (tidak melalui pendidikan STOVIA atau dokter pribumi) tidak banyak jumlahnya, antara lain: Ida Loemongga dan Parlindungan Lubis (pernah menjadi ketua PPI). Mereka yang meraih gelar doktor fase awal ini tingkat sarjananya langsung ditempuh di Belanda adalah Djajadiningrat, Gondokoesoemo, Ida Loemongga dan Soetan Goenoeng Moelia. Khusus untuk Ida Loemongga dan Parlindungan Lubis memiliki pengalaman yang sama, yakni ketika di STOVIA naik dari persiapan tahun satu ke tahun dua, karena prestasinya tinggi direkomendasikan agar langsung studi ke Belanda.  .
Algemeen Handelsblad, 09-12-1933
Orang ketujuh Indonesia yang meraih gelar doktor seperti telah disebut di atas adalah Soetan Goenoeng Moelia dalam bidang sastra dan filsafat di Universiteit Leiden dengan desertasi berjudul: ‘Het primitieve denken in de moderne wetenschap', Mr. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, lahir di Padang Sidempoean (Algemeen Handelsblad, 09-12-1933). Soetan Goenoeng Moelia setelah lulus sarjana pulang ke tanah air dan beberapa tahun berkarir jadi guru di berbagai tempat, kembali ke Belanda untuk melanjutkan studi ke tingkat doktoral. Todoeng Harahap adalah saudara sepupu dari Amir Sjarifoedin (Perdana Menteri RI).

***
S. Goenoeng Moelia
Orang Indonesia di era Hindia Belanda (Nerderlansch Indie) memang hanya sedikit yang mampu meraih gelar doktor dan semuanya diraih di negeri Belanda. Jumlahnya tidak terlalu berbeda dengan yang telah disebut di atas. Prestasi pribumi pun sesungguhnya tidak terlalu buruk, karena orang-orang Belanda sendiri yang ada di Hindia Belanda juga tidak terlalu banyak yang meraih doktor. Doktor-doktor yang ada di Hindia Belanda waktu itu sebagian lahir di Belanda tetapi bekerja di Indonesia.

Masdoelhak (foto 1935)
Salah satu doktor Indonesia yang terkenal lulusan Belanda adalah Masdoelhak. Pada tahun 1943 Masdoelhak lulus ujian doctoral sebagaimana dilaporkan  Friesche courant, 27-03-1943. Pendidikan ini ditempuh setelah Madoelhak menyelesaikan sarjana hukumnya (Mr) di Belanda. Masdoelhak Nasoetion berhasil mempertahankan desertasinya dengan predikat cumlaude di Leiden yang berjudul ‘De plaats van de vrouw in de Bataksche Maatschappij’ (Tempat perempuan dalam masyarakat Batak). Masdoelhak setelah pulang ke tanah air diangkat Soekarno menjadi Residen pertama Sumatra Tengah (Sumatra Barat dan Riau) yang berkedudukan di Bukit Tinggi. Pada fase ibukota RI pindah ke Yogyakarta, diangkat menjadi penasehat Soekarno dan Hatta di bidang hukum. Masdoelhak adalah satu-satunya pejabat bergelar doktor di lingkaran inti pemerintahan Indonesia di Yogyakarta. Pada saat agresi militer kedua, saat Yogyakarta diserang, Masdoelhak yang pertamakali diculik intelijen/militer Belanda dan lalu pada tanggal 21 Desember 1948 ditembak. Peristiwa penembakan ini membuat PBB marah besar karena militer telah membunuh intelektual berbakat. (Masdoelhak baru diberi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2006).

***

Dua anak Padang Sidempuan sekelas dengan Tjipto di STOVIA
Padang Sidempuan berada di Afdeeling Mandheling en Ankola, Residentie Tapanoeli (menjadi Tapanuli Selatan, Sumatra Utara). Dari afdeeling yang subur ini, anak-anak Mandheling en Ankola banyak yang menonjol di Nederlansch Indie (Hindia Belanda). Pionir adalah dua siswa yang bernama Si Asta dan Si Angan dari Mandheling en Ankola diterima di docter djawa school di Batavia tahun 1854. Docter Djawa School didirikan 1851. Kedua anak Mandheling en Ankola ini merupakan siswa yang pertama diterima di sekolah kedokteran itu yang berasal dari luar Jawa. Pada tahun 1856 dua orang lagi siswa dari afdeeling tersebut diterima di sekolah tersebut (Si Toga dan Si Napang). Oleh karena prestasi anak-anak Mandheling en Ankola terbilang paling menonjol diantara siswa (jumlah siswa sekitar delapan sampai dua belas siswa tiap angkatan) maka sejak 1858 secara regular anak-anak Mandheling en Ankola diterima di docter djawa school. Diantara anak-anak Mandheling en Ankola ini ada yang sekelas dengan Dr. Wahidin, ada yang sekelas dengan Dr. Cipto dan tentu ada yang sekelas dengan Dr. Soetomo. Sejak 1858, afdeeling Mandheling en Ankola tidak hanya surplus beras dan kopi tetapi juga surplus tenaga kesehatan (dokter).

***
Ketika Medan masih sebuah kampung, Padang Sidempuan sudah kota besar
Pada tahun 1857 adik kelas Si Asta dan Si Angan yang bernama Si Sati Nasoetion. ketika baru setahun sekolah guru (kweekschool) Fort de Kock dibuka tahun 1856, dari Mandheling en Ankola berangkat studi ke negeri Belanda tahun 1857 untuk mendapatkan akte guru (pribumi pertama yang sekolah ke Belanda). Setelah lulus di Harlem tahun 1861, Si Sati yang telah mengubah namanya menjadi Willem Iskander pulang kampong dan tahun 1862 mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Tanobato. Karena sekolah ini kualitasnya bagus, dua tahun kemudian diakuisisi pemerintah dan dijadikan sebagai sekolah guru negeri (yang ketiga setelah Soerakarta dan Fort de Kock). Dua tahun berikutnya, kweekschool Tanobato sudah melampaui kualitas kweekschool Fort de Kock. Pada tahun 1875 sekolah guru di Mandheling en Ankola ini akan ditingkatkan kapasitas dan dipindahkan ke Padang Sidempuan tahun 1879. Karena itu, Willem Iskander dikirim pemerintah untuk studi ke negeri Belanda untuk mendapatkan akte kepala sekolah. Kweekschool Tanobato ditutup Willem Iskander berangkat tahun 1875. Namun tahun 1876. Willem Iskander meninggal di Belanda. 

Nama baik dan kepeloporannya dalam pendidikan pribumi hingga ini hari tetap terjaga. Willem Iskander alumni negeri Belanda dan guru di Kweekschool Tanobato memulai tradisi menulis buku modern dengan menggunakan kertas dan aksara Latin. Willem Iskander menulis buku ketika masih studi di Negeri Belanda.  Buku yang dihasilkan Willem Iskander berjudul ‘Boekoe Parsipodaon di Dakdanak di Sikola’ yang diterbitkan pertama kali 1862. Ini satu bukti ada gunanya Willem Iskander studi jauh ke Negeri Belanda. Buku ini merupakan buku pelajaran sekolah yang pertama ditulis oleh pribumi. Buku lainnya dari Willem Iskander yang diterbitkan adalah: (1) Hendrik Nadenggan Roa. Terjemahan dari De Brave Hendrik oleh Nicolaas Anslijn berjudul. Diterbitkan di Padang oleh penernit Van Zadelhoff, 1865. (2) Barita na Marragam. Saduran dari buku karangan J.R.P.F. Gongrijp. Diterbitkan di Batavia 1868. (3) Baku Basaon. Terjemahan buku karangan W.C. Thurn. Batavia, 1871. Dicetak ulang 1884. Buku hasil karya Willem Iskander yang sangat terkenal berjudul ‘Si-Boeloes-boeloes, Si-Roemboek-roemboek: Boekoe basaon’ diterbitkan pertama kali di Batavia oleh Landsdrukkerij (Percetakan Negara) tahun 1872. Buku ini merupakan kumpulan prosa dan puisi Willem Iskander sendiri. Lalu pada tahun 1903 dan 1906 dan 1915 buku ini dicetak ulang. Buku ini diterbitkan kembali tahun 1976 yang diterjemahkan oleh Basyral Hamidy Harahap. Kemudian tahun 1987 oleh Penerbit Puisi Indonesia dengan judul Si Bulus-bulus, si Rumbuk-rumbuk: dwibahasa. Beberpa penerbit lainya juga menerbitkan buku ini.
Sementara Kweekschool Padang Sidempuan dibuka tahun 1879 dengan kepala sekolah Mr. Harnsen. Pada tahun 1883 posisi Harnsen digantikan oleh salah satu guru Kweekschool Padang Sidempuan bernama Charles Adrian van Ophuijsen. Anak mantan controleur di Natal ini berdinas sebagai guru di Padang Sidempuan selama delapan tahun, dan lima tahun terakhir sebagai direktur sekolah. Pada era van Ophuijsen ini, Kweekschool Padang Sidempua dinobatkan sebagai sekolah guru terbaik di Hindia Belanda. Charles Adrian van Ophuijsen yang belajar bahasa Batak dan bahasa Melayu di Mandheling en Ankola kelak menjadi penyusun tatabahasa Melayu dan ejaan Ophuijsen serta menjadi guru besar (professor) tatabahasa dan sastra Melayu di Universiteit Leiden. Beberapa anak didik Ophuijsen dan alumni Kweekschool Padang Sidempuan adalah Dja Endar Moeda (editor surat kabar Pertja Barat di Padang tahun 1897); Soetan Casajangan, setelah pension guru, berangkat studi ke Belanda tahun 1905. Pada tahun 1908 Soetan Casajangan mendirikan Perhimpunan Hindia (Indisch Vereeniging) di Belanda yang menjadi cikal bakal PPI. Soetan Casajangan selama masa studi di Belanda menjadi asisten dosen untuk Prof. van Ophuijsen dalam pengajaran tatabahasa dan sastra Melayu di Universiteit Leiden (pribumi pertama yang mengajar di Universiteit Leiden); dan Soetan Martoewa Radja, alumni terakhir Kweekschool Padang Sidempuan karena ditutup tahun 1892 (karena anggaran pemerintah dipotong).

***
Afdeeling Mandheling en Ankola (afd Padang Sidempuan) tidak hanya surplus beras, kopi dan tenaga kesehatan tetapi juga guru. Pada tahun 1892, dari 18 sekolah negeri di Residenti Tapanoeli, 15 buah diantaranya berada di Mandheling en Ankola dan sisanya ada di Sibolga, Nias dan Singkel (di Medan dan Sumatra Timur sendiri kala itu belum satupun didirikan sekolah negeri). Sebagaimana tenaga kesehatan (dokter), guru-guru asal Mandheling en Ankola mengisi kebutuhan guru di Riaow, Sumatra's Oostkust, Djambi dan Atjeh. Generasi dari alumni Kweekschool Tanobato dan Kweekschool Padang Sidempuan pada berikutnya kemudian melahirkan generasi yang cemerlang dan masif: dokter, guru, jaksa, pengarang (sastrawan), wartawan, pegawai pemerintah, militer dan profesi lainnya.

***
Kweekschool dan ELS di Padang Sidempuan, 1877
Setelah Kweekschool Padang Sidempuan ditutup, anak-anak afd. Padang Sidempuan (eks afd Mandheling en Ankola) dibolehkan masuk ke sekolah dasar eropa (ELS) di Padang Sidempuan. Untuk anak-anak yang lulus sekolah dasar pemerintah yang ingin menjadi guru diarahkan ke Kweekschool Fort de Kock. Alumni ELS Padang Sidempuan banyak yang masuk ke docter djawa school/STOVIA di Batavia. Namun diantara anak-anak afd. Padang Sidempuan masih banyak yang tetap tertarik menjadi guru. Mereka tidak hanya menuju sekolah guru di Fort de Kock tetapi juga ke Batavia, Bandoeng bahkan hingga Poerworedjo.

***
Marsden dalam bukunya (The History of Sumatra, 1811) menyebut penduduk Batak mewakili orisinilitas dari penduduk pulau Sumatra. Marsden sangat kaget, karena penduduk yang berada di dataran tinggi Tapanoeli yang kaya dengan produk perdagangan dunia seperti emas, dammar, kapur barus, kemenyan, kulit manis ini sudah memiliki system social yang teratur, mampu menciptakan mesiu, muziek, seni tari dan arsitektur tersendiri, serta sastra dan tulisan (aksara Batak) sendiri. Yang paling mengangetkannya penduduk ini memiliki kejeniusan berperilaku serta penduduknya lebih dari separuh mampu membaca dan menulis dalam aksara Batak yang melampaui kemampuan baca tulis Latin dari semua bangsa-bangsa Eropa. Mereka menulis di bagian halus dari kulit pohon khusus dan menggunakan tinta yang terbuat dari jelaga dammar yang dicampur dengan ekstrak air tebu. Sumber Marsden dalam hal ini adalah catatan-catatan ahli botani Inggris bernama Miller yang pernah berkunjung ke Ankola pada tahun 1773 dalam suatu ekspedisi kulit manis (Miller adalah orang pertama Eropa yang masuk ke pedalaman Tanah Batak di Ankola).

Afdeeling Padang Sidempuan (Mandheling en Ankola)
Inilah situasi dan kondisi awal yang dapat menjelaskan mengapa semangat belajar dan pionir pendidikan anak-anak di Tanah Batak khususnya di Mandheling en Ankola sudah terlihat sejak awal. Belanda sendiri baru masuk ke Tanah Batak pada tahun 1833 dalam rangka perang padri. Setelah perang padri usai, baru Belanda menyusun pemerintahan di Mandheling en Ankola pada tahun 1841 dengan menempatkan seorang asisten residen dan dua controleur. Dalam tempo singkat, pada tahun 1854 anak-anak Mandheling en Ankola sudah ada yang ‘kuliah’ di Batavia, yakni Si Asta dan Si Angan dan pada tahun 1857 sudah ada yang ‘kuliah’ di negeri Belanda. Dengan kata lain, dalam 13 tahun pertama kehadiran sipil Belanda sudah ada anak-anak Mandheling en Ankola yang berpikiran maju. Tentu saja ini bukan sepenuhnya kontribusi sipil Belanda, tetapi sudah ada sejak lama ada tradisi membaca dan menulis di Mandheling en Ankola  sebagaimana disebut Marsden dalam bukunya tahun 1811, bahwa tingkat literasi di Mandheling en Ankola (afd. Padang Sidempuan) sudah tinggi, dan bahkan melampaui semua bangsa-bangsa di Eropa.
Dr. Ida Loemongga, PhD, dokter bergelar doktor adalah wujud dari dua kemajuan bangsa sekaligus: peningkatan pendidikan dan emansipasi. Ida Loemongga doktor lulusan Universiteit Leiden (1931) telah mewariskan tradisi dokter di dalam keluarga. Ayahnya, Dr. Harun Al Rasjid Nasoetion adalah lulusan docter djawa school tahun 1901, kelahiran Padang Sidempuan dan menyelesaikan pendidikan ELS di kota tersebut. Kakek Ida Loemongga bernama Abdul Azis Nasotion adalah memulai karir sebagai pegawai pemerintah di Panyabungan dan pindah ke Padang Sidempuan, sehubungan dengan pindahnya ibukota afd. Mandheling en Ankola ke Padang Sidempuan tahun 1870. Abdul Azis Nasution kelahiran huta Gunung Tua, Mandailing memiliki teman akrab namanya Mangaradja Soetan dari huta Batunadua, Ankola. Sutan Abdul Azis dan Mangaradja Sutan adalah murid langsung dari Willem Iskander di Kweekschool Tanobato (sekolah guru yang didirikan Willem Iskander tahun 1862). Mangaradja Sutan adalah ayah dari Soetan Casajangan, pendiri Perhimpunan Hindia di Negeri Belanda tahun 1908. Ini berarti Soetan Casajangan dan Ida Loemongga adalah produk pemikiran Willem Iskander sebagai orang pribumi pertama yang studi ke Belanda. Bukan secara kebetulan, ketiganya sama-sama studi ke Belanda dalam era yang berbeda, lebih dari itu ternyata ketiganya adalah pionir: Willem Iskander pioner pendidikan; Soetan Casajangan, pionir pergerakan; dan Ida Loemongga pionir dalam emansipasi (perempuan juga bisa bersekolah tinggi). Soal kedudukan perempuan di Tanah Batak sudah diteliti oleh Mr. Masdoelhak, PhD yang menjadi topik desertasinya, yang berjudul: De plaats van de vrouw in de Bataksche Maatschappij’ (Tempat perempuan dalam masyarakat Batak). Dalam tradisi Dalihan Na Tolu (core culture orang Batak), perempuan adalah mora, dan mora adalah pihak yang sangat dihormati. Tesis Masdoelhak membuktikan bahwa tempat perempuan di masyarakat Tanah Batak sangat tinggi (secara adat), setinggi pendidikan yang dapat diraih oleh perempuan (secara akademik). Ida Loemongga adalah contohnya.  
.
***
Berikut adalah sebagian dari ratusan anak-anak afd. Padang Sidempuan (Mandheling en Ankola) yang telah memberi kontribusi di negeri ini pada fase awal adanya Republik Indonesia.


Dja Endar Moeda. Murid Kweekschool Padang Sidempoean angkatan pertama (1879) dan lulus tahun 1883. Dja Endar Moeda memulai karir sebagai guru di Batahan, Di tempat terpencil ini, Dja Endar Moeda selain mengajar juga menulis berbagai buku pelajaran dan mengirim artikel ke majalah pendidikan di Probolinggo. Setelah Dja Endar dipindahkan ke Air Bangis, Dja Endar juga menekuni penulisan buku-buku cerita. Dari tempat ini, Dja Endar Moeda diangkat sebagai executive editor (jarak jauh) majalah pendidikan satu-satunya di Nederlansche Indie. Setelah dipindahkan beberapa kali, Dja Endar Moeda pension dini dan focus menekuni karir di bidang persurat kabaran dan penulisan buku. Dimulai sebagai editor 1897 di koran Pertja Barat yang terbit di Padang (editor pribumi pertama). Surat kabar investasi orang-orang Belanda ini akhirnya berhasil diakusisinya hingga bisnisnya memiliki percetakan dan beberapa surat kabar lainnya di Siboga, Kota Radja (Atjeh) dan Medan  yang kemudian Dja Endar Moeda dijuluki sebagai Radja Persuratkabaran Sumatra. Dengan memiliki percetakan sendiri, Dja Endar Moeda menerbitkan novel-novelnya yang belum diterbitkan (novel kala itu belum menjadi prioritas penerbit/pencetakan Belanda). Dua novel terkenalnya adalah (1) ‘Hikajat tjinta kasih sajang’. Penerbit Otto Bäumer, 1895 (2) ‘Hikajat dendam ta' soedah: kalau soedah merewan hati’ yang diterbitkan 1897.

Soetan Casajangan Soripada. Murid Kweekschool Padang Sidempoean angkatan tahun 1885. Tidak bersedia diangkat pemerintah untuk ditempatkan ke daerah lain, Dia lebih memilih memulai karir sebagai guru di Simapilapil dekat kampong kelahiranya. Namun lambat laun karena pengabdiannya, Soetan Casajangan diangkat sebagai guru pemerintah dan ditunjuk menjadi kepala sekolah di sekolah tersebut. Setelah mengabdi sebagai guru di sekolah itu selama 13 tahun, Soetan Casajangan berangkat studi ke Negeri Belanda 1905 atas biaya sendiri untuk memperoleh akte kepala sekolah kweekschool.. Soetan Casajangan adalah pendiri Perhimpunan Hindia (Indisch Vereeniging) di Belanda.

Mangaradja Salamboewe. Seorang siswa Kweekschool Padang Sidempoean, anak seorang dokter Djawa (alumni Dokter Djawa School) yang pertama yang berasal dari luar Djawa, Si Asta. Salamboewe tidak sempat menyelesaikan studinya di Kweekschool Padang Sidempoean karena ditutup. Dengan bekal pelajaran hanya sampai kelas dua, dia melamar sebagai penulis di Kantor Residen Tapanoeli di Sibolga yang kemudian diangkat sebagai adjunct djaksa dan ditempatkan di Natal. Setelah beberapa lama menjadi jaksa dia desersi dan dipecat tetapi ia malah senang karena dapat bebas mengadvokasi mayarakat yang kerap mendapat ketidakadilan. Penulis yang memiliki bakat menulis dan kemahiran beracara (pengaracara) ini direkrut surat kabar Pertja Timur di Medan untuk bertindak sebagai editor. Mangaradja Salamboewe sangat disegani oleh wartawan-wartawan Belanda karena dia tidak pilih kasih untuk menangani delik pers yang menimpa wartawan apakah pribumi atau bangsa Eropa. Maharadja Salamboewe datang dan berada di tempat yang tepat. Sebagai editor koran berbahasa Melayu yang dimiliki orang-orang Belanda tidak ada kurangnya. Di dalam suatu editorial De Sumatra post (edisi 29-05-1908), Mangaradja Salamboewe digambarkan sebagai berikut: ‘Di dalam seratoes orang pribumi tidak ada satoe yang begitoe brani’.

Muhammad Taif Nasoetion. Taif Nasution adalah alumni kweekschool yang menjadi guru dan dtempatkan  di Aceh. Taif Nasoetion dikemudian hari dikenal sebagai ayah dari Muhammad Amin Nasoetion (sering disebut S.M. Amin) adalah gubernur pertama dan ketiga Gubernur Sumatra Utara. Setelah dari Aceh, Taif kembali ke Manambin, Mandailing kampong halamannya. S.M. Amin yang kelahiran Aceh memulai sekolah rakyat di Manambin dan diteruskan ke ELS lalu ke Batavia mengambil sekolah hukum untuk mengikuti dua abangnya yang telah studi di STOVIA.

Adem Loebis. Alumni kweekschool menjadi guru di Aceh dan dikemudian hari dikenal sebagai ayah dari Kolonel Zulkifli Lubis. Adem Loebis tetap menetap di Aceh dan menyekolah Zulkifli mulai dari HIS kemudian MULO di Aceh dan AMS di Yogyakarta. Selama di Yogya Zulkifli masuk militer Jepang dan seterusnya berkarir di militer bidang intelijen hingga pernah menjadi KASAD.

Mangaradja Gading. Karim gelar Mangaradja Gading adalah alumni kweekschool. Sebagaimana umumnya, lulusan Kweekschool Padang Sidempuan, ada yang menjadi guru dan ada yang menjadi pegawai pemerintah. Mangaradja Gading melakukan ‘kebulatan tekad’ untuk melamar sebagai pegawai pemerintah. Setelah diterima, Mangaradja Gading ditempatkan di kantor residen Tapanoeli di Sibolga. Setelah beberapa tahun Mangaradja Gading ditunjuk untuk menjadi pengawas di Jambi. Dari Sibolga Mangaradja Gading, istri dan seorang anak berangkat ke wilayah baru yang belum mereka kenal, melalui Padang lalu menuju Sarolangun, Jambi. Mangaradja Gading adalah ayah dari Abdul Hakim, gubuernur Sumatra Utara yang ketiga (1951-1953).

Mangaradja Hamonangan. Alumni kweekschool yang menjadi guru di Sipirok. Mangaradja Hamonangan pension dini dan beralih ke bidang bisnis, seperti perdagangan hasil-hasil bumi dan pengusaha perkebunan. Mangaradja Hamonangan adalah ayah dari Todoeng gelar Soetan Goenoeng Moelia.

Dr. Haroen Al Rasjid Nasution dan Dr. Mohammad Hamzah Harahap lulus docter djawa school tahun 1903. Haroen Al Rasjid adalah menantu dari Dja Endar Moeda. Anak Haroen Al Rasjid bernama Dr. Ida Loemongga, PhD adalah pribumi pertama dokter yang bergelar doctor (PhD) lulus dari Universiteit Leiden 1930. Adiknya Ida Loemongga, bernama Letkol Mr. Gele Harun lulus sekolah hukum di negeri Belanda tahun 1938 (Gele Harun yang memimpin perang selama agresi militer Belanda dan menjadi Residen pertama Lampung).


Dr.Abdul Karim dan Dr. Abdul Hakim lulus docter djawa school tahun 1905 (teman sekelas Dr. Tjipto). Abdul Hakim berdinas di Sumatra Barat, Tapanoeli dan Sumatra Timur, Sedangkan Abdul Karim berdinas di Sumatra Barat dan Tapanoeli. Setelah pensiun dokter, Abdul Karim menjadi tokoh pergerakan pemuda di Tapanoeli (tahun 1920-an). Abdul Karim adalah mentor politik Parada Harahap di Sibolga.

Dr. Radjamin Nasoetion adalah alumni STOVIA tahun 1912. Setelah berkarir di berbagai tempat dan terakhir di Surabaija. Radjamin menang dalam pemilihan anggota dewan (gementee raad) Surabaija 1931 dan juga pernah menjadi anggota Volksraad. Pada pendudukan Jepang, diangkat sebagai walikota Surabaya. Pada era agresi militer Belanda Radjamin memindahkan pemerintahan Surabaya ke pengungsian. Pada era republic Radjamin tetap ditunjuka sebagai walikota Surabaya. Radjamin Nasution adalah walikota pribumi pertama di Surabaya.

Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon, studi hukum ke Belanda 1910. Setelah berkiprah sebagai pegawai pemerintah, sejak 1926 menjadi anggota Volksrand (tiga periode). Mangaradja Soangkoepon dan M. Husni Thamrin adalah dua orang anggota Volksraad yang terkenal vokal di Pejambon (kini di Senayan).

Parada Harahap adalah seorang krani di perkebunan di Deli. Karena tulisan-tulisannya di koran Benih Mardeka di Medan mengenai penyiksaan kuli kontrak di perkebunan, lalu dipecat. Kemudian Parada Harahap menjadi editor Benih Mardeka tahun 1918. Di Padang Sidempuan tahun 1919 menjadi editor koran Sinar Merdeka. Di Sibolga aktif kegiatan politik dan pergerakan pemuda. Pada tahun 1924 hijrah ke Batavia, mendirikan kator berita Alpena dengan WR Soepratman sebagai editor. Kemudian mendirikan koran Bintang Hindia dan Bintang Timoer. Pada tahun 1927 Parada Harahap menggagas perhimpunan organisasi-organisasi di Batavia yang disebut PPKI yang berindak sebagai sekretaris dengan ketua M. Husni Thamrin. PPKI adalah pelaksana kongres pemuda tahun 1928. Pada tahun 1930 sudah memiliki enam surat kabar yang dijuluki oleh pers Jepang sebagai The King of Java Press.. Parada Harahap adalah ketua kadin pribumi pertama 1927. Pada tahun 1931 memimpin rombongan pertama orang pribumi ke Jepang (termasuk M. Hatta yang baru lulus sarjana). Selama karirnya di jurnalistik, Parada Harahap sebanyak 101 kali di sidang di meja hijau, dua belas kali diantaranya masuk bui. Parada Harahap adalah satu-satunya orang Batak yang menjadi BPUPKI. Parada Harahap adalah penyusun repelita pertama di era Soekarno.

Dr. Sorip Tagor Harahap masuk sekolah dokter hewan di Bogor angkatan pertama dan lulus pada tahun 1912. Setelah menjadi asisten di kampusnya, Sorip Tagor tahun 1916 berangkat ke Belanda untuk studi lebih lanjut untuk mendapatkan dokter hewan penuh (Dr). Sorip Tagor adalah alumni pertama sekolah dokter hewan di Belanda.

Dr. Alimoesa, studi kedokteran hewan di Buitenzorg 1911 (angkatan awal), setelah berdinas di Pematang Siantar, menjadi anggota dewan kota, lalu tahun 1926 terpilih untuk 'dapil' Noord Sumatra (Tapanoeli dan Atjeh) menjadi anggota Volksraad (anggota Volksraad pertama dari Noord Sumatra--yang pertama adalah Abdul Moeis dari Sumatra's Westkust). Adik kelasnya di Buitenzorg adalah Dr. Anwar Nasoetion, lulus tahun 1928 (kelak dikenal sebagai ayah dari Prof. Andi Hakim Nasoetion, rektor IPB dua periode 1978-1987).

Abdul Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan adalah alumni pertama sekolah menengah pertanian di Buitenzorg. Setelah menjadi pegawai pemerintah beberapa tahun lalu membuka sekolah pertanian di Sumatra Barat (pionir sekolah pertanian). Abdul Azis pernah menjadi anggota dewan di Sumatra Barat (Minangkabau Raad).

Mr. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, PhD, studi bidang pendidikan ke Belanda 1911. Setelah pension jadi guru, menjadi anggota Volksraad (1936). Amir Sjarifoeddin, studi ke Belanda tahun 1915 yang kelak menjadi Perdana Menteri. Todoeng adalah sepupu Amir Sjarifoeddin. Kakek mereka bernama Sjarif Anwar, mantan murid Nommensen di Sipirok.


Mangaradja Soangkoepon, Dr. Abdul Rasjid, Mr. Todoeng Soetan Goenoeng Moelia, PhD dan Dr. Radjamin Nasoetion, empat anggota Volksraad asal Mandheling en Ankola pada tahun 1938 yang merupakan jumlah  terbanyak pada periode keempat ini dari Mandheling en Ankola. Pada periode pertama, wakil-wakil Mandheling en Ankola tidak ada yang terpilih. Hanya ada satu wakil dari Sumatra, pemenang yakni Abdoel Moeis dari Sumatra's Westkut. Pada periode kedua, ada dua wakil Mandheling en Ankola yakni Dr. Alimoesa dari dapil Noord Sumatra (Tapanoeli enAtjeh) dan Mangaradja Soangkoepon dari dapil Sumatra's Oostkust. Pada periode ketiga, dua wakil dari Mandheling en Ankola adalah Mangaradja Soangkoepon (Oost Sumatra) dan Dr. Abdoel Rasjid (Tapanoeli). Pada periode keempat (terakhir), awalnya ada dua yakni Mangaradja Soangkoepon dan Dr. Abdul Rasjid. Lalu ditambah Todoeng Harahap, PhD yang tidak melalui pemilihan tetapi penunjukan pemerintah (golongan pendidikan). Dalam perkembangannya menyusul Radjamin Nasoetion, sebagai anggota Volksraad pengganti dari Parindra/Oost Java. Sebelumnya, Radjamin Nasoetion pernah diusulkan dari kampung halaman di Mandheling en Ankola untuk wakil Tapanoeli (1934), namun dalam pemilihan akhir kalah bersaing dengan Dr. Abdul Rasjid (incumbent). Dr. Abdul Rasjid adalah adik kelas Radjamin Nasoetion di STOVIA.

Kajamoedin gelar Radja Goenoeng, lahir di Padang Sidempuan 1883.Mantan guru yang telah menerbitkan sejumlah buku pelajaran sekolah dan menjadi penilik sekolah di Sumatra Timur. Kajamoedin Harahap adalah pribumi pertama yang menjadi anggota dewan kota (gementeeraad) di Medan pada tahun 1918.

Panoesoenan, Soetan Parlindungan, Mangaradja Ihoetan dan Abdullah Lubis tokoh-tokoh pers di fase awal di Sumatra Utara (semuanya mantan guru yang berasal dari Mandheling en Ankola). Mereka ini adalah penerus Dja Endar Moeda dan Mangaradja Salamboewe (keduanya alumni Kweekschool Padang Sidempuan) di Medan. Dja Endar Moeda, pemilik dan editor Pewarta Deli sejak 1910 dan Mangaradja Salamboewe editor di Pertja Timor (1903-1908). Mangaradja Salamboewe meninggal 1908, sedangkan Dja Endar Moeda pindah ke Atjeh dan meninggal 1926. Pewarta Deli dilanjutkan oleh Panoesoenan, karena delik pers dan dihukum, digantikan oleh Soetan Parlindungan, dan kemudia diteruskan oleh Mangaradja Ihoetan dan Abdullah Lubis. Kemudian Mangaradja Ihoetan menerbitkan koran baru bernama Sinar Deli. Abdullah Lubis pemilik Pewarta Deli merekrut Adinegoro, Editor Bintang Timoer di Batavia (milik Parada Harahap) sebagai editor Pewarta Deli pada tahun 1931. Adinegoro dan Mochtar Lubis (editor Indonesia Raya) kelak mendirikan PWI di Jakarta.

Soetan Pangoerabaan Pane. Alumni kweekschool yang awalnya menjadi guru di Muara Sipongi dan kemudian pindah dari satu tempat ke tempat lain. Guru yang satu ini multi talenta. Selain berprofesi guru, Soetan Pangoerabaan Pane kelahiran kampung Pangoerabaan, Sipirok, 1885 juga adalah pengarang local terkenal, menerbitkan surat kabar local dan juga aktif di bidang bisnis seperti pertanian, transportasi dan percetakan. Menghasilkan beberapa karya. Karya terpopuler adalah roman berjudul Tolbok Haleon (Hati yang kemarau). Soetan Pangurbaan Pane adalah ayah dari Sanusi Pane, Armijn Pane dan Lafran Pane (pendiri HMI).

Soetan Martoewa Radja. Alumni Kweekschool Padang Sidempoean yang terakhir (1893). Memulai karir sebagai guru di Pargarutan sebelum dipindahkan menjadi kepala sekolah di kampungnya di Sipirok. Setelah cukup lama bertugas di Sipirok, Soetan Martoewa Radja beberapa kali pindah seperti ke Tarutung dan terakhir menjadi kepala sekolah Normaal School di Pematang Siantar. Dalam soal penulisan buku, Soetan Martoewa Radja juga terbilang aktif. Bukunya dalam bahasa Batak dialek Angkola/Sipirok tidak ditemukan, yang boleh jadi buku-buku yang diperlukan sudah cukup tersedia dari guru-guru alumni Kweekschool Tanobato atau guru-guru kakak kelasnya di Kweekschool Padang Sidempoean. Setelah dipindahkan ke Tarutung, buku-buku Soetan Martoewa Radja banyak yang diterbitkan dalam bahasa Batak dialek Toba. Soetan Martoewa Radja adalah ayah dari Kolonel MO Parlindungan (pengarang buku Tuanku Rao).

Mr. Radja Enda Boemi, PhD, ahli hukum pertama orang Batak, lulus rechtschhol di Batavi (angkatan pertama), satu dari dua dari Sumatra, dan satu dari delapan di Hindia Belanda. Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi Siregar adalah doctor hukum pribumi pertama (PhD) di Hindia Belanda, lulus dari Universiteit Leiden tahun 1925. Setelah mendapat gelar PhD, diangkat menjadi ketua pengadilan di Semarang, kemudian di Surabaya dan terakhir di Buitenzorg.

Mr. Masdoelhak Nasution, PhD, doctor hukum 'cum laude' lulusan Universiteit Leiden lulus tahun 1940 dan kemudian pulang ke tanah. Pasca proklamasi diangkat menjadi Residen pertama Sumatra Tengah yang berkedudukan di Bukittinggi. Lalu kemudian dipanggil ke Yogya untuk menjadi penasehat hukum Soekarno dan Hatta (satu-satunya ahli hukum bergelar doktor di lingkaran dalam RI di Yogyakarta). Pada saat agresi militer kedua (19 Desember 1948), Masdoelhak orang pertama yang ditangkap militer Belanda dan kemudian ditembak di Pakem beberapa hari kemudian.

Mr. Egon Hakim Nasoetion adalah lulusan sekolah hukum di Belanda. Pasca proklamai, di masa pensiun mendirikan perguruan tinggi di Padang. Egon Hakim adalah menantu dari M. Husni Thamrin. Egon Hakim adalah koordinator ekonomi dan keuangan PRRI di Sumatra Barat. Egon Hakim dan Sumitro Djojohadikoesomo, sama-sama alumni Belanda, berteman dekat dan tokoh penting PRRI dalam urusan ekonomi.

Ida Nasoetion, Presiden pertama Pesatuan Mahasiswa Universiteit van Indonesia (1947) yang meliputi fakultas kedokteran di Jakarta, fakultas pertanian di Buitenzorg, fakultas teknik di Bandung, fakultas kedokteran di Surabaya dan fakultas ekonomi di Makassar. Ida Nasution adalah esais dan kritikus terkemuka, sebagaimana Chairil Anwar (penyair), Idrus (prosa). Pada Maret 1947 diculik militer Belanda dan hingga ini hari tidak diektahui dimana makamnya.

Sanusi Pane, Armijn Pane dan Lafran Pane tiga bersaudara anak dari Soetan Pangoerabaan Pane, seorang mantan guru, novelis dan pengusaha di Mandheling en Ankola. Sanusi Pane dan Armijn Pane awalnya berdua di STOVIA, karena tertarik sastra seperti ayah mereka lalu beralih ke bidang sastra. Lafran Pane adalah alumni FISIP UGM dan pendiri HMI (1947). Soetan Pangoerabaan Pane pada tahun 1952 mendirikan organisasi para pensiunan di Batavia.

Dr. Parlindoengan Lubis, HIS di Padang Sidempuan, MULO di Medan dan salah satu lulus AMS terbaik di Batavia dan direkomendasikan studi kedokteran di Belanda. Parlindungan pernah menjabat Ketua PPI (pasca M. Hatta). Seorang aktivis garis keras dan anti fasis. Setelah lulus buka praktek dokter di Belanda, lalu saat Jerman invasi ke Belanda, Parlindoenga ditangkap tentara militer Jerman lalu dimasukkan kamp konsentrasi. Dr. Parlindungan adalah satu-satunya orang Indonesia di kamp konsentrasi NAZI. Di jaman Jepang kembali ke tanah air. Selama pemerintahan pindah ke Yogya, Dr. Parlindungan diangkat sebagai Kepala Kesehatan republik.

Abdul Hakim Harahap (1905-1961), pernah menjadi anggota dewan kota Medan, Kepala Kantor Keuangan Indonesia Timur di Makassar, di era Jepang/Kemerdekaan pernah menjadi wakil dan residen Tapanoeli, panasehat ekonomi ke KMB yang ahli tiga bahasa asing (Belanda, Inggris dan Prancis), Gubernur Sumatra Utara yang ketiga.

Soetan Pane Paroehoem seorang lulusan sekolah notariat di Batavia. Notaris pertama orang Batak. Notaris pribumi kedua di Sumatra dan satu diantara sepuluh notaris pribumi di Hindia Belanda. Abdul Hakim Harahap adalah pendiri Universitas Sumatra sedang Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoem yang membuat akta notaris pendirian Universitas Sumatra Utara dan Universitas Islam Sumatra Utara.

GB Josua Batubara, 1901-1970 alumni sekolah guru di Poerworedjo dan melajutkan studi ke Belanda, pendiri sekolah swasta republik di Medan, ketua PON-III dan Kepala Dinas Pendidikan pertama Sumatra Utara.

Mochtar Lubis (1922-2004), seorang jurnalis dan sastrawan terkenal Indonesia. Korannya bernama Indonesia Raya, koran bertiras besar di Jakarta yang dibreidel karena Mochtar Lubis mengkrtik pemerintah dan militer. Mochtar lubis menuduh kabinet Ali Sastroamidjojo tidak becus karena mempertahankan Ruslan Abdulgani karena dugaan melakukan korupsi.

Kolonel Abdul Haris Nasution seorang militer, KASAD, Menteri Pertahanan di era Soekarno, satu dari tiga jenderal besar (Sudirman, Nasoetion dan Soeharto), dan seorang militer yang tidak hanya jago menembak tetapi juga jago menulis.

Madong Lubis setelah pensiun guru menjadi anggota dewan kota Pematang Siantar dan pejuang Kota Medan dalam masa agresi militer.

Dr. Gindo Siregar alumni STOVIA dan selama masa agresi militer ditunjuk sebagai Gubernur Militer di Sumatra Bagian Utara dengan pangkat Mayor Jenderal.

Abdul Moenir Nasoetion adalah mahasiswa STOVIA pendiri Sumatra Bond di Batavia (Desember 1917). Sumatra Bond pertamakali didirikan di Belanda 1 Januari 1917 oleh Sorip Tagor Harahap.

Yahya Malik Nasution, seorang pengusaha di Batavia, salah satu pendiri PNI, orang yang menawarkan Soekarno masuk PNI dan yang mendaulat Soekarno sebagai Ketua PNI. Yahya Malik adalah mertua dari Bob Tutupoli.

Adam Malik, pendiri kantor berita Antara, menerti luar negeri, satu-satu orang Indonesia yang menjadi ketua PBB dan terakhir menjadi Wakil Presiden.

Sakti Alamsjah Siregar seorang penyiar yang menyiarkan pertama kali isi Proklamasi di radio Bandung dan pendiri koran Pikiran Rakyat Bandung.

Ali Mochtar Hoeta Soehoet eks tentara pelajar di mandheling en Ankola di era agresi militer. Setelah pengakuan kedaulatan hijrah ke Jakarta dan menjadi wartawan sambil kuliah. Ali Mochtar adalah wartawan Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis. Ali Mochtar  adalah pendiri akademi wartawan yang menjadi cikal bakal IISIP Jakarta di Lenteng Agung.

Kolonel Zulkifli Lubis anak seorang guru yang berkarir di Aceh, sekolah di AMS Yogya dan menjadi Kepala Intelijen RI yang pertama.

Kolonel MO Parlindoengan Siregar, anak guru Soetan Martoewa Radja, alumni teknik kimia Jerman/Swiss, ahli bom dalam perang melawan sekutu dan selama agresi militer di Surabaya dan sekitarnya, setelah pengakuan kedaulatan RI MO Parlindungan menjadi Kepala Pindad yang pertama (waktu itu namanya Perusahaan Senjata dan Mesiu).

Kapten Marah Halim Harahap selama agresi Belanda memimpin pasukan di Indragiri, kelak menjadi Gubernur Sumatra Utara dengan pangkat terakhir Letjen.

Mr. SM Amin Nasution anak seorang guru yang berkarir di Aceh, sekolah hukum di Batavia (dua abangnya alumni STOVIA, Amir dan Abdul Munir Nasution) dan SM Amin adalah Gubernur Sumatra Utara yang pertama.

Mr. Loeat Siregar, alumni rechtschool Batavia, pasca proklamasi menjadi Ketua KNI (Komite Nasional Indonesia) dan Residen pertama Sumatra Timur di Medan.

Radja Djundjungan Lubis, alumni STOVIA, berkarir di Tapanoeli, pasca kemerdekaan menjadi Gubernur Sumatra Utara yang sebelumnya menjabat sebagai bupati di Sibolga.

Dan sebagainya.

Baca juga:



 


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber koran berbahasa Belanda tempo doeloe.

Tidak ada komentar: