Kamis, Mei 26, 2016

Sejarah Kota Medan (15): Benih Mardeka Bukan Didirikan Tengkoe Radja Sabaroedin, Kontroversi dan Perlu Pelurusan Sejarah Pers

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini


Akhir-akhir ini nama Benih Mardeka, surat kabar yang memiliki motto: ‘orgaan oentoek menoentoet kemerdekaan’ dibicarakan kembali. Oleh para ahli sejarah (pada saat ini) surat kabar Benih Merdeka yang (dibaca) menjadi Benih Merdeka diklaim diterbitkan Tengku Radja Sabaruddin pada 17 Januari 1916 dan ditegaskan sebagai satu-satunya surat kabar yang menyuarakan kemerdekaan jauh sebelum Kongres Pemuda pada 1928. Klaim itu tampaknya keliru. Surat kabat Benih Mardeka yang terbit di Medan sejak 1916 didirikan oleh Abdullah Lubis, Mohamad Joenoes dan Mohamad Samin (lihat De Sumatra post, 31-10-1916). Surat kabar yang menyuarakan semangat kemerdekaan juga diusung oleh surat kabar Sinar Merdeka yang terbit di Padang Sidempuan yang didirikan oleh Parada Harahap tahun 1919 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 02-09-1919). Parada Harahap kelak adalah penggagas diadakannya Kongres Pemuda 1928 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 26-09-1927).


De Sumatra post, 31-10-1916
Untuk sekedar pelurusan, nama surat kabar yang diberitakan sekarang bukan ‘Benih Merdeka’ tetapi ‘Benih Mardeka’. Fakta sejarahnya adalah Benih Mardaka, sedangkan tafsir sejarahnya Benih Merdeka. Surat kabar berbahasa Melayu ini di bawah bendera NV Setia Bangsa sebagai penanggungjawab Mohamad Samin dan editor Mohamad Joenoes dan seorang mantan guru, Abdullah (Lubis). Surat kabar ini dicetak oleh Heinemann & Co di Tapanoeli (Sibolga). Mohamad Samin adalah pimpinan Sarikat Islam (SI) di Medan sedangkan M. Joenoes wakil ketua SI di Asahan.

Surat Kabar Benih Mardeka di Medan dan Parada Harahap

Surat kabar Benih Mardeka muncul tidak lama setelah berlangsungnya Rapat Umum di Medan yang terdiri dari Sarikat Islam Medan, Sarikat Islam Tapanoeli, Boedi Oetomo, Roh Kita, Djamiatoel Moehabbah, Medan Setia, Sarikat Goeroe Goeroe, dll yang berkumpul di bioskop Oranje yang diperkirakan dihadiri oleh 1.000 orang. Isu yang dibahas dalam rapat umum tersebut tentang ketidakadilan oleh orang asing terhadap rakyat dimana pemerintah tidak hadir dan hanya menonton kepentingan Barat’ (De Sumatra post, 11-09-1916). Benih Mardeka kemudian kerap menyuarakan persoalan pribumi di Medan dan sekitarnya, seperti penolakan ide perkebunan untuk menyediakan tanah bagi para kuli tetap hak konsesinya tetap pada perusahaan, perihal yang terkait dengan perdagangan opium, mendorong untuk penyediaan pendidikan, perumahan bagi penduduk termasuk bagi kuli. Benih Mardika menganggap jika perusahaan hilang, kita tidak bermanfaat. 


Kehebatan surat kabar Benih Mardeka hanya satu: mengungkap kasus poenalie sanctie. Pembongkaran kasus ini dimotori oleh Parada Harahap. Selebihnya biasa-biasa saja. Namanya ‘Benih Mardeka: ‘Orgaan oentoek menoentoet keadilan dan kemerdekaan’ pada dasar mantap tetapi dalam gerakannya tidak sepenuhnya demikian.

De Sumatra post, 03-06-1918: ‘Berita tentang koeli di Medan oleh Benih Merdeka mendapat sorotan setelah koran Soeara Djawa melansirnya. Soera Djawa telah menulis ulang isi artikel dalam Benih Mardeka edisi 17 Februari tahun ini, sebagaimana tercantum dalam Benih Mardeka edisi 19, 27 dan 28 Febr. Serta edisi 2, 13 dan 14 Maret tahun ini. Artikel Soeara Djawa ini yang diberi judul ‘Bagimana halnja koeli contract sudah diroendingkan?’ yang dimuat pada edisi 1 Juni’

Atas tulisan-tulisan yang menyoroti sepak terjang para planter Eropa/Belanda di perkebunan, Parada Harahap dipecat sebagai krani (posisi pribumi yang bergengsi di perkebunan). Parada Harahap sudah tahu betul risikonya. Parada Harahap siap lahir batin menerima risiko itu. Perjuangan Parada Harahap belum tamat, malah Parada Harahap merantau ke Medan dan bergabung dengan Benih Mardeka pada akhir 1918 (lihat De nieuwsgier, 15-10-1953).

De Sumatra post, 03-03-1919: ‘Untuk mencapai penciptaan serikat buruh Sumatraanschen kemarin pagi mengadakan pertemuan di bioscop Oranje. Perserta yang hadir sangat tinggi: sekitar 400 orang. Pembicara dalam pertemuan itu adalah Mangoenatmodjo, Parada Harahap, presiden dari estate-kierkenbond, M. Soendoro, editor De Crani, Hie Foek Tjoy, mantan editor Andalas’.

De Sumatra post, 04-04-1919 (Een jounalistén bond): ‘Asosiasi wartawan Inlandsch Chinesche didirikan. Pengurus dewan sebagai berikut: Presiden, Mohamad Joenoes; Sekretaris, Parada Harahap. Komisaris, satu diantaranya Mohamad Joenoes di Siantar. Sarikat telah memiliki tidak kurang dari 40 anggota. Asosiasi ini bukan untuk wartawan Belanda, untuk tujuan bersama, melainkan tujuan sendiri dan bisa meluas ke rekan-rekan mereka sesama oriental’

***
Boetet Satidjah: Perempuan Bergerak (1`919)
Tidak lama di Benih Mardeka, Parada Harahap menjadi editor di Pewarta Deli. Sementara itu Parada Harahap ikut membidani kelahiran suratkabar bulanan Perempuan Bergerak. De Sumatra post, 17-05-1919 memberitakan mereka telah menerima edisi pertama. Surat kabar perempuan ini mottonya ‘De beste stuurlui staan aan wal’ yang mana sebagai editor, Boetet Satidjah dan direktur, TA Sabariah.  De Preanger-bode, 19-06-1919 melaporkan bahwa editor Boetet dibantu oleh tiga orang wanita yang datang dari tiga tempat berbeda: Medan, Pangkalan Brandan dan Gloempang Doewa. Untuk mengarahkan editor dan tiga yang lain dilakukan oleh Parada Harahap, editor Pewarta Deli. Tujuan dari majalah ini memajukan tindakan wanita, sesuai untuk mendukung keinginannya saat ini, dan juga membantu aksi pria. Selanjutnya, surat kabar ini akan mencakup semua hal terkait minat wanita seperti masalah anak, pendidikan, kehidupan wanita itu sendiri dan urusan rumah tangga. Majalah ini diberi pengantar oleh Parada Harahap.
Boetet Satidjah kelak dikenal sebagai istri dari Parada Harahap. Sedangkan TA Sabariah kemudian lebih dikenal sebagai istri dari Tengkoe Radja Sabaroedin.
Surat Kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean dan Radja Sabaroeddin
 
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 02-09-1919
Parada Harahap yang pernah menjadi editor Benih Mardeka meluruskan pers kemerdekaan. Parada Harahap tidak hanya meluruskan judul yang samar dari ‘Mardeka’ menjadi lebih terang-benderang ‘merdeka’, tetapi Parada Harahap juga meluruskan watak para pengasuh pers merdeka dari non patriot menjadi patriot bangsa. Surat kabar Sinar Merdeka yang diterbitkan Parada Harahap di Padang Sidempuan tahun 1919 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 02-09-1919), tidak hanya nama korannya yang terang-terangan mengusung kata merdeka tetapi isi tulisan-tulisannya dan pengasuhnya berjuang sepenuh hati.

Gaya jurnalistik yang keras dari Parada Harahap di Sinar Merdeka Padang Sidempuan kerap tersandung dan dikenakan pasal delik pers. Akibatnya Parada Harahap harus berulang kali dimejahijaukan dan beberapa kali masuk bui. Surat kabar Sinar Merdeka tampaknya lebih banyak vacuum karena editornya lebih lama ditahan dan dipenjara daripada media itu terbit untuk mengunjungi pembacanya.

Oleh karenanya, Parada Harahap tidak punya hutang terhadap pemerintah kolonial Belanda, juga tidak memiliki dosa terhadap penduduk pribumi. Parada Harahap clean en lubricate. Ini berbeda dengan M. Samin dan R. Sabarudin yang tercemar karena ulah sendiri.

Radja Sabarudin terindikasi melakukan persekongkolan pembunuhan (sebelum dipecat sebagai wedana Weltevreden, Batavia). R. Sabarudin juga menjadi anggota dewan kota (gementeeraad) Batavia. Usai pengadilan atas tuduhan persekongkolan tahun 1918 R. Sabarudin, yang telah dipecat pulang kampong ke Medan. Pada saat di Medan inilah R. Sabarudin mulai menggeluti investasi pers yang dalam hal ini investasi baru di Benih Mardeka.

Radja Sabarudin adalah kerabat kesultanan yang terlibat mendukung militer Belanda. R. Sabarudin adalah pahlawan Belanda yang sukses memerangi penduduk Atjeh. Atas kontribusinya di Atjeh dan kesetiaannya terhadap pemerintah colonial Belanda, R. Sabarudin dianugerahi bintang Zilveren Ster voor Trouw en Verdienste, Militaire Willemsorde 4de kl.

Sehabis berdinas di perang Atjeh, Radja Sabarudin terdeteksi bertempat tinggal di Tandjong Poera (De Sumatra post, 10-05-1902).  Radja Saburudin menjadi posthouder di Kepulauan Seribu, Batavia. Pada tahun 1907 dipindahkan menjadi Komandan Pasar Senen (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 25-02-1907). Radja Sabaroedin diangkat menjadi wedana di Weltevreden (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 22-08-1910). Kemudian Radja Sabaroedin ditunjuk menjadi anggota dewan kota (gementeeraad) Batavia (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 29-04-1913). Namun karir Radja Sabaroedin mendapat masalah. De Preanger-bode, 09-06-1915 melaporkan dalam kasus pembunuhan Fientje Phoenix, Radja Sabaroedin sebagai wedana diduga terlibat menerima suap dalam pembebasan pelakunya. Atas kasus itu Radja Sabaroedin dipecat (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-06-1915). Radja Sabaroedin yang telah memiliki masa bakti selama 35 tahun dalam pelayanan negara tamat dan hilang sekejap. Radja Sabaroedin kemudian pulang kampong ke Medan.

Dalam perkembangannya Radja Sabaroedin pulang kampong. Radja Sabaroedin mengakuisisi saham Mohamad Samin dan Abdullah Lubis di surat kabar Benih Mardeka. Radja Sabaroedin menjadi direktur NV. Setia Bangsa. Karakter Benih Mardeka yang revolusioner mulai kendor setelah Radja Sabaroedin mulai intens di Benih Mardeka dan posisi kepala editor dipegang oleh M. Joenoes.
Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota
Ada dua peristiwa penting yang terjadi. Pada tahun1917 Sorip Tagor mempelopori didirikannya Sumatranen Bond di Leiden sebagai respon terhadap semakin menguatnya Boedi Oetomo (organisasi yang besifat kedaerahan yang disokong pemerintah) dan semakin melemahnya Medan Perdamaian (organisasi yang bersifat trans nasional yang terus digembosi pemerintah). Sumatranen Bond tetap menjadi bagian dari Perhimpunan Indonesia (Indisch Vereeniging) yang didirikan oleh Soetan Casajangan di Leiden 1908. Organisasi Medan Perdamaian sendiri didirikan di Padang tahun 1900 oleh Dja Endar Moeda, pemilik Pertja Barat di Padang dan pendiri Pewarta Deli (di Medan, 1910). Motto surat kabar Pertja Barat sama dengan motto Pewarta Deli (Orgaan Oentoek Semoea Bangsa).  Sementara itu di Medan, tahun 1918 untuk kali pertama anggota dewan kota (gementeeraad) dipilih secara langsung (pilkada) dan salah satu calon Kajamoedin gelar Radja Goenoeng (De Sumatra post, 16-07-1918). Nama-nama yang terpilih (non Eropa) adalah tiga orang yakni Radja Goenoeng, Mohamad Sjaaf dan Tan Boen An. Radja Goenoeng adalah mantan guru di Tapanoeli dan saat pilkada menjabat sebagai peniliksekolah di Medan dan Sumatra’s Ooskust. Jumlah pribumi kemudian bertambah menjadi lima orang. Salah satu anggota dewan yang menggantikan pada pertengahan 1919 adalah Mr. Alinoedin gelar Radja Enda Boemi, hakim di pengadilan Medan. Pada awal tahun 1920an Alinoedin dari Medan melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda untuk mengambil PhD dan lulus tahun 1925 dari Universiteit Leiden dengan desertasi berjudul: ‘Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland’. Mr. Alinoedin adalah pribumi pertama yang bergelar doktor (dan orang Indonesia ketiga bergelar PhD). Mereka semua berasal dari kampong yang berbeda di Padang Sidempuan: Saleh Harahap gelar (Mangara)Dja Endar Moeda lahir di huta Saboengan, Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan di huta Batoenadoea, Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng di huta Hoetarimbaroe; Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi di huta Batangtoroe, dan Sorip Tagor Harahap gelar (?) di huta Batoenadoea. Mereka inilah (sebagian dari anak-anak Padang Sidempuan) yang menjadi pelopor kebangkitan bangsa Indonesia dan gagasan kemerdekaan Republik Indonesia.
Meski Mohamad Samin dan Parada Harahap tidak berada di Benih Mardeka lagi, tetapi kedua tokoh revolusioner ini masih kerap mengirim tulisannya ke Benih Mardeka. M. Samin semakin fokus di SI sedang Parada Harahap fokus di Sinar Merdeka Padang Sidempuan dan organisasi pergerakan pemuda Sumatranen Bond. Benih Mardeka, surat kabar yang pertama mengusung kata merdeka lambat laun mulai redup dan menghilang. Benih Mardeka yang di awal pendiriannya menarik garis lebar dengan para planter dan pemerintah kolonial kemudian (di penghujung usianya) Benih Mardeka terkesan berkolaborasi dengan pihak-pihak yang yang dulu menjadi seteru dari Benih Mardeka.  

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-09-1923: ‘Ulang tahun edisi surat kabar pribumi berbahasa Melayu yang muncul di Medan, Benih Mardeha yang diterbitkan oleh NV. Setia Bangsa (yang kini) di bawah direksi Tengkoe Badja Sabaroedin pada tanggal 31 Agustus tahun ini dirilis sejumlah kegiatan yang dihiasi oleh berbagai potret termasuk anggota keluarga kerajaan dan otoritas administratif tertinggi dan pemerintah SOK (Sumatra’s Oostkust), pelopor perkebunan Deli Cramer dan Nienhuys’.

Tengkoe Radja Sabaroedin dikabarkan meninggal dunia tahun 1924 dalam usia 63 tahun di Batavia (De Sumatra post, 21-07-1924). Deze was in den Atjeh-oorlog bekend en verkreeg de Militaire Willemsorde 4de kl. (De Preanger-bode, 23-07-1924).

Sementara itu sosok M. Samin terus ‘dikejar’ oleh pemerintah colonial selain melalui pasal delik pers juga mengaitkan dengan hal lain. M. Samin tampaknya lolos dari kasus delik pers tetapi M. Samin tersandung dan terindikasi melakukan korupsi pembangunan sekolah (sebelumnya Benih Mardeka sempat dibreidel), Ketika masa vakum dari Benih Mardeka ini kemudian diterbitkan lagi dengan investor baru, Radja Sabaroedin.

Mohamad Samin, seorang mantan kepala krani het kantoor van Mr. JJ de Heer dan menjadi pimpinan awal untuk Sarikat Islam (SI) di Medan (Algemeen Handelsblad, 01-11-1913). SI telah berkembang di Jawa oleh Tjokroaminoto dkk. Lalu, Mohamad Samin membentuk kepengurusan baru (De Sumatra post, 11-02-1914). Mohamad Samin kemudian menjadi (salah satu) komisioner SI pusat (De Sumatra post, 15-04-1916). De Sumatra post, 11-09-1916 melaporkan adanya rapat umum di Medan: ‘Sarikat Islam Medan, Sarikat Islam Tapanoeli, Budi Oetomo, Roh Kita, Djamiatoel Moehabbah, Medan Setia, Sarikat Goeroe Goeroe, dll berkumpul di Bioskop Oranje yang diperkirakan dihadiri oleh 1.000 orang. Isu yang dibahas tentang ketidakadilan terhadap rakyat dimana pemerintah tidak hadir dan hanya menonton kepentingan Barat’. Setelah rapat umum (wakil pribumi dan Tionghoa) di Medan, Mohamad Samin dkk mempelopori didirikannya koran dengan nama yang berbeda, yakni: Benih Mardeka (1916). Mohamad Samin dkk dengan nama bendera baru ‘Benih Merdeka’ secara psikologis telah mendapat legitimasi yang luas dari berbagai kalangan di Medan (setidaknya setelah rapat umum di Bioskop Oranje) dan perkembangan ekspansif Sarikat Islam.

Mohamad Samin sendiri dalam hal ini memiliki latar belakang yang lengkap, dua sisi yang menyatukan idenya menyuarakan merdeka lewat Benih Mardika. Di satu sisi, Mohamad Samin pernah lama bekerja di perkebunan, sebagai krani yang dengan kasat mata melihat bagaimana kekejaman dari tuan kebun terhadap para pekerja (koeli). Para planter berlaku kejam karena ada aturan perundangan (legitimasi) tentang poenale sanctie. Di sisi lain, Mohamad Samin kini telah menjadi petinggi Sarikat Islam (awalnya bernama Sarikat Dagang Islam). Dengan sendirinya, persoalan koeli kontrak yang menjadi salah satu isu penting di Deli dan ide pembentukan surat kabar Benih Mardeka menjadi pertarungan legitimasi Planter bangsa Eropa/Belanda (formal) vs legitimasi penduduk local/rakyat pribumi (non formal).

Bataviaasch nieuwsblad, 16-04-1917: ‘Medan, 15 April (Part) yang diketuai oleh pemimpin departemen Sarikat Islam, Mohamad Samin, bertemu orang oriental, sebagian besar bukan non SI untuk membahas rencana pendirian sekolah Islam (Mohammedaanscbe), dimana sekolah ini yang pertama, studi Al-Quran yang diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah normal’.

Pada tahun 1919 koran pemred Benih Merdeka mulai diperkarakan karena memuat isu sensitif bagi pejabat Belanda. Isu-isu poenale sanctie, prostitusi dan sebagainya. Sekarang peluru diarahkan kepada Mohamad Samin, karena dia adalah penanggungjawab koran Benih Mardeka. De Sumatra post, 19-11-1921 melaporkan bahwa Mohamad Samin didakwa lagi. Anehnya, dakwaan terhadap Mohamad Samin dalam kasus Benih Mardeka dalam soal poenale sanctie tidak dapat dibuktikan bersalah. Kini, dakwaan terhadap Mohamad Samin bukan soal politik tetapi pasal-pasal yang menyangkut perdata (bisnis) tentang pencatutan nama dan pidana tentang penggelapan dana pembangunan sekolah.

Pada tahun 1919 Parada Harahap keluar dari Pewarta Deli. Parada Harahap pulang kampong untuk menerbitkan surat kabar Sinar Merdeka.

Sinar Merdeka di Padang Sidempuan
Parada Harahap memulai karir sebagai krani di perkebunan. Oleh karena tidak tahan melihat penderitaan para kuli (asal Tiongkok dan Jawa) melakukan investigasi jurnalistik secara amatir kemudian laporannya dikirim ke Benih Mardeka. Para editor Benih Mardeka mengolahnya lalu ditulis. Pemberitaan di Benih Mardeka ini lalu kemudian disarikan kembali oleh surat kabar Soeara Djawa yang kemudian menjadi heboh di Jawa. Parada Harahap pada saat Benih Mardeka dibreidel pulang kampong dan mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempuan yang terbit pertama 1 Januari 1919. Pada tahun 1923 Parada Harahap hijrah ke Batavia dan kemudian membangun kerajaan media yang nama Parada Harahap terkenal kemudian sebagai The King of Java Press.  

Nama Benih Mardeka seakan surat kabar berbahasa Batak. Dalam dialek Batak merdeka diucapkan dan ditulis sebagai ‘mardeka’. Dalam bahasa Melayu kata merdeka diucapkan dan ditulis sebagai ‘merdeka’. Kita yang sekarang ini tidak tahu maksudnya mengapa demikian. Elemen Batak dalam surat kabar Benih Mardeka hanyalah Abdullah Lubis atau Parada Harahap dimana kedua tokoh ini akan muncul sebagai tokoh pers nasional yang utama. Abdullah Lubis di Medan dengan Pewarta Deli dan Parada Harahap di Batavia dengan Bintang Timoer.

Parada Harahap vs Boerhanoeddin di Batavia

Parada Harahap semakin berkibar di Batavia. Investasinya semakin meningkat tajam, jiwa revolusionernya semakin menyala. Parada Harahap di Batavia berada pada puncak setelah surat kabarnya yang baru Bintang Timoer (sukses Bintang Hindia, didirikan 1923) yang didirikan tahun 1925 menjadi surat kabar pribumi dengan tiras tertinggi. Sebagai sekretaris Sumatranen Bond, Parada Harahap lalu mempelopori didirikannya supra organisasi tahun 1927 yang diberi nama Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (PPPKI).

Organisasi PPPKI adalah induk organisasi-organisasi kedaerahan yang bersifat nasional. Supra organisasi ini berhasil menyatukan semua organisasi-organisasi kedaerahan yang mana organisasi kedaerahan ini diharapkan melebur menjadi satu organisasi nasional. Organisasi PPPKI ini dalam struktur organisasi yang pertama Parada Harahap sebagai sekretaris dan ketua adalah MH Thamrin. PPPKI berkantor di Gang Kenari. PPPKI adalah pembina diadakannya Kongres Pemuda tahun 1928 dimana komite kongres duduk sebagai bendahara Amir Sjarifoeddin (Parada Harahap selain sekretaris PPPKI juga adalah ketua pengusaha pribumi semacam Kadin di Batavia).

Sementara itu, Tengkoe Radja Sabaroedin sudah lama tiada, meninggal dunia tahun 1924 dalam usia 63 tahun di Batavia (De Sumatra post, 21-07-1924). Anaknya bernama Boerhanoeddin di Batavia mulai menanjak karirnya sebagai pengusaha. Namun sebelumnya Boerhanoeddin sempat tersandung karena kasus penggelapan dengan firma Lindeteves-Stokvis yang berakhir dengan tuntutan pengadilan dengan ganjaran kurungan penjara selama satu tahun. Lalu dalam perkembangannya Boerhanoeddin muncul dan dikenal sebagai pengusaha di Kudus. Disebutkan Boerhanoeddin adalah voorzitter van den strootjes-fabrikantenbond di Koedoes.

Pada waktu pembentukan Komisi Cukai yang anggotanya terdiri dari para residen, bupati dan anggota Volksraad. Dalam pembentukan komisi ini, strootjes-fabrikantenbond ingin memiliki perwakilan di komisi yang mana sebagai kandidat adalah Boerhanoeddin.

Pada bulan Desember 1932 dan Januari 1933 surat kabar Bintang Timoer yang dipimpin Parada Harahap menyoroti Boerhanoeddin. Surat kabar Bintang Timoer menulis bahwa Boerhanoeddin tidak memenuhi syarat untuk anggota komisi. Berbagai ulasan muncul dalam Bintang Timoer yang mengaitkan Boerhanoeddin adalah mantan narapidana dan bahkan riwayat orang tuanya Radja Sabaroedin pada masa lalu.

Pemberitaan tentang Boerhanoeddin yang dianggap menyudutkan Boerhanoeddin dalam pencalonan mendapat reaksi dari Boerhanoeddin sendiri yang dianggap menghina dan menuntut pasal penghinaan ke pengadilan. Parada Harahap lalu didakwa dengan pasal penghinaan. Di pengadilan, Parada Harahap berdalih, perihal latar belakang Boerhanoeddin (yang diketahui Parada Harahap) ditulis untuk kepentingan umum. Parada Harahap berganggapan bahwa tulisan itu tidak bermaksud untuk menyerang nama baik atau kehormatan Boerhanoedin tetapi hanya semata-mata untuk diketahui umum.

Pengadilan akhirnya memutuskan para terdakwa dianggap telah menghina dan diancam kurungan. Para terdakwa (Parada Harahap dan para wartawannya) mengajukan permohonan bahwa mereka tidak bersalah dan dilakukan pembebasan atau cukup dengan hukuman ringan. Pengadilan mengetok palu Parada Harahap dan kawan-kawan dihukum denda f50 atau kurungan 25 hari (tentu saja Parada Harahap dkk akan memilih bayar denda).
Parada Harahap sudah beratus kali menghadapi sidang mejahijau dan semuanya dengan dalih delik pers (sejak dari Padang Sidempoean hingga Batavia). Sebagaimana diketahui, Parada Harahap tidak pernah berutang kepada Belanda dan justru Belanda (polisi dan intel) selalu mengincar Parada Harahap bagaimana untuk menjeratnya. Kasus-kasus pengaduan yang dialamatkan kepada Parada Harahap dengan dalih delik pers menjadi durian runtuh bagi Belanda. Bahkan soal iklan utang piutang di Bintang Timoer tahun sebelumnya tidak luput dari delik aduan. Simak berikut ini: De Sumatra post, 06-01-1931: ‘Mr Parada Harahap berdiri untuk keseratus kalinya di meja hijau. Kali ini Parada Harahap dipanggil ke pengadilan karena korannya memuat iklan tagihan hutang. Si penagih hutang digugat karena dianggap mencemarkan nama dan juga editor Bintang Timoer, Parada Harahap juga diseret. Ketika dituduhkan Parada Harahap ikut bertanggungjawab karena iklan itu menjadi pendapatannya. Parada menjawab: Bagaimana saya bertanggungjawab?. Polisi mencecar: ‘Anda kan direktur editor?’ Ya, tapi saya hanya bertanggung jawab untuk bagian jurnalistik, jawab Parada Harahap (enteng). Bagian administrasi bertanggungjawab untuk iklan. ‘Ah, kata Sheriff, ‘tanya sekarang, setuju bahwa di koran Anda muncul iklan cabul, apakah Anda akan mengatakan tidak bertanggung jawab?. Oh, kalau soal itu tanggungjawab saya’.

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: