Minggu, Juni 05, 2016

Sejarah Kota Medan (17): Simpang Siur Sejarah Pendirian Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara (USU); Ini Faktanya



Gubernur Sumatera Utara, Abdul Hakim mengambil inisiatif untuk mendirikan sebuah universitas di Medan. Untuk mewujudkan itu, didirikan Jajasan Universitas Sumatera Utara yang mana Dewan Pimpinan terdiri dari: Gubernur Abdul Hakim, Presiden, Tengku Dr Mansur, Wakil Presiden, Dr Sumarsono, Sekretaris bendahara dan anggota Walikota Djaidin Poerba, Ir. RS. Danunagoro, Sahar, Oh Tjie Lien, Anwar Abubakar, Madong Lubis dan perwakilan dari Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia dan Dewan Ekonomi Indonesia.

Abdul Hakim Harahap, 1953
Java-bode:nieuws,handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-06-1952: ‘Gubernur Abdul Hakim telah mengambil inisiatif untuk mendirikan sebuah universitas di Medan, dana yang terkumpul sebesar Rp. 1,127,808.07 yang disimpan dalam dana perguruan tinggi Jajasan Universitet Sumatera Utara, yang didirikan dengan akta notaris. Hal ini dimaksudkan untuk membuka sekolah kedokteran pada tanggal 17 Agustus. Tujuan dari Jajasan Universitet Sumatera Utara adalah, selain memberikan pendidikan yang lebih tinggi, untuk mempromosikan kepentingan siswa dalam arti luas. Akan terkait dengan tujuan terakhir ini juga menyediakan perumahan bagi para siswa. Manajemen Jajasan Universitet Sumatera Utara, Dewan Pimpinan terdiri dari: Gubernur Abdul Hakim, Presiden, Tengku Dr Mansur, Wakil Presiden, Dr Sumarsono, Sekretaris bendahara dan anggota Pak Walikota Djaidin Poerba, Ir RS Danunagoro, Sahar, Oh Tjie Lien, Anwar Abubakar, Madong Lubis dan perwakilan dari Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia dan Dewan Ekonomi Indonesia’

Abdul Hakim mengambil inisiatif, yang berarti Abdul Hakim memiliki kemampuan untuk memulai atau meneruskan suatu perbuatan dengan penuh energi tanpa petunjuk dari yang lain; atau atas kehendak sendiri (the power or ability to begin or to follow through energetically without prompting or direction from others; on one’s own). Abdul Hakim yang menjabat gubernur Sumatera Utara yang ketiga (25-01-1951 sd 23-10-1953) bukanlah orang baru di Medan maupun di Sumatera Utara. Oleh karena itu Abdul Hakim sangat paham apa yang menjadi kebutuhan provinsi Sumatera Utara.

Abdul Hakim lahir di Sarolangoen, Djambi 15 Juli 1905. Setelah lulus ELS di Sibolga, melanjutkan studi ke MULO di Padang lalu kemudian dilanjutkan ke Batavia di Prins Hendrikschool (sekolah menengah atas, bidang ekonomi). Setelah lulus di Prins Hendrikschool, Abdul Hakim mengikuti kursus untuk layanan bea dan cukai. Abdul Hakim lalu ditempatkan di bea dan cukai di Medan 1927. Pada tahun 1930 Abdul Hakim terpilih sebagai anggota dewan kota (gementeeraad) Medan (De Sumatra post, 21-08-1930). Jabatan sebagai anggota dewan berlangsung selama tujuh tahun. Pada tahun 1937, Abdul Hakim pindah ke Batavia. Ia bekerja sebagai pejabat di Departemen Keuangan (divisi Akuntan dan Statistik Keuangan). Abdul Hakim beberapa kali pindah sebelum akhirnya pada tahun 1941 Abdul Hakim dipindahkan ke Makassar untuk jabatan Administrator Keuangan kelas-3 di kantor pusat (Centraalkantoör) untuk akun Macassar. Abdul Hakim sebelumnya adalah seorang pejabat di kantor Gubernur Jawa Barat yang saat ini diperbantukan ke kantor Pontianak untuk tugas-tugas yang sama. Selama pendudukan Jepang, Abdul Hakim di Makassar menjabat sebagai representatif kepala kantor pusat di wilayah Sulawesi. Pada tahun 1943 di dalam tugas-tugasnya yang super sibuk dan ketat di Makassar dibawah pengawasan militer Jepang, Abdul Hakim mendapat kabar duka, ayahnya Karim Harahap gelar Mangaradja Gading telah meninggal dunia di Padang Sidempuan.

Abdul Hakim dan keluarga pulang. Setelah segala sesuatunya ditunaikan secara adat di kampong halaman, Abdul Hakim tidak pernah berpikir kembali ke Makassar. Di Tapanuli sendiri, militer Jepang ingin menanamkan image baik di hadapan rakyat Indonesia, lantas Jepang membentuk dewan perwakilan rakyat di eks Kresidenan Tapanuli. Abdul Hakim yang diidentifikasi ‘berkelakuan baik’ oleh Jepang lalu dipanggil ke Tarutung (ibukota Tapanuli yang baru, menggantikan Sibolga) untuk menjabat sebagai sekretaris tetap dewan. Setelah Jepang takluk terhadap sekutu dan tidak berdaya, dewan Tapanuli vakum, Setelah proklamasi Republik Indonesia pada bulan Agustus 1945, Abdul Hakim ditunjuk menjadi Wakil Residen Tapanuli (Residen adalah Dr. F. Loemban Tobing) dan kemudian menjadi penasehat Residen Tapanuli. Singkat cerita, September-November 1948, Abdul Hakim telah memberikan banyak dukungan kepada Residen Tapanuli, Gubernur Sumatera dan komandan Sumatera hingga kedatangan Wakil Presiden M. Hatta di Sibolga.

Ketika Abdul Hakim ‘menangkis’ serangan militer Belanda di Tapanuli, di Medan diproklamirkan Negara Sumatera Timur. Berdasarkan Surat Keputusan Kerajaan Belanda melalui Kementerian Luar Negeri telah ditunjuk sejumlah individu untuk membentuk pemerintahan, antara lain Dr. Tengkoe Mansoer sebagai Wali Negara Soematera Timur (lihat Nederlandsche staatscourant, 30-08-1948). Di pihak Republik Indonesia terjadi perubahan: Ketika Sumatera Timur sudah dikuasai, Belanda merangsek dan tekanan semakin kuat di Tapanuli. Dalam situasi ini, lantas Abdul Hakim diangkat menjadi wakil komandan militer di wilayah Tapanuli sedangkan Gubernur Militer Noord Sumatra diangkat Dr. Gindo Siregar dengan pangkat Mayor Jenderal. Dr. Gindo Siregar dan Dr. Tengkoe Mansoer adalah sama-sama alumni STOVIA.

Tengkoe Mansoer berangkat dari Asahan ke Batavia dengan kapal ss. van Noort (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 09-10-1911). Pada tahun 1915 dibawah Tengkoe Mansoer: Aminoedin Pohan, S. Loemban Tobing, Djabangoen, F. Loemban Tobing Pirngadi, Amir, Abdoel Moenir Nasution dan Mohamad Djamil; di atas Tengkoe Mansoer: Maamoer L. Rasjid Nasution, Sjoeib Paroehoeman, dan Djoendjoengan Lubis, Abdoel Rasjid Siregar. Tengkoe Mansoer lulus 1919. Ditempatkan sebagai asisten guru di rumah sakit Surabaya (Bataviaasch nieuwsblad, 17-06-1920). Pada saat penempatan Mansoer ini terdapat beberapa mutasi:  dari STOVIA ke Lubuk Pakam, Maamoer L. Rasjid Nasution; Sjoeib Paroehoeman dari Penjaboengan ke Solok; Abdoel Rasjid dari Weltevreden ke Penjaboengan.

Tengkoe Mansoer terbilang yang pertama dari Sumatra;’s Oostkust memasuki sekolah kedokteran. Pada saat Tengkoe Mansoer  naik dari persiapan tahun satu ke tahun kedua (1912) Radjamin Nasution lulus. Kakak kelas Radjamin Nasution antara lain: Mohamad Daulaj, Abdul Karim Harahap, Abdul Hakim Harahap, Mohamad Hamzah Harahap, Haroen Al Rasjid Nasution.

Siswa-siswa yang diterima di Docter Djawa School (sebelum berganti nama menjadi STOVIA) dari afdeeling Padang Sidempuan (Mandheling en Ankola) sudah ada sejak 1854. Dua yang pertama adalah Si Asta dan Si Angan. Mereka ini adalah yang pertama dari luar Jawa. Kemudian tahun 1856 menyusul dua lagi, Si Dorie dan Si Napang. Demikian seterus hingga Docter Djawa School berganti nama menjadi STOVIA tahun 1902.

Dr. Gindo Siregar adalah lulusan STOVIA tahun 1930 (11 tahun setelah Dr. Tengkoe Mansoer.  Gindo Siregar sebelum studi ke Belanda pernah selama dua tahun enam bulan di rumah sakit Pangoeroeran dari tahun 1931. Gindo Siregar lulus studi kedokteran (bedan dan kebidanan) di Belanda lalu dan setelah mendapat lisensi di Batavia membuka praktek di Medan tahun 1936. Namun baru satu sahun di Medan, sudah langsung dicalonkan sebagai anggota dewan kota Medan. Langsung berhasil.

Gindo Siregar (1922-, Aminoedin Pohan (1919-), Diapari Siregar (1921-), Moerad Loebis (1920-), Amir Hoesin (1918-), Soleiman Siregar, Amijn Pane (1924-), serta lainnya. Gindo Siregar, Diapari Siregar (lulus di Leiden 1932), Aminoedin Pohan (lulus di Leiden 1931) dan  Sjoeib Paroehoeman melanjutkan pendidikannya ke Negeri Belanda untuk memperoleh akte dokter spesialis. Diapari Siregar membuka dokter praktek di Pematang Siantar.

Ketika dokter-dokter di Tapanuli berjuang habis-habisan untuk tegaknya kemerdekaan RI, dokter-dokter di Medan dan Sumatera Timur tampaknya bernapas lega. Dr. Tengkoe Mansoer telah menjadi Wali Nagara, Dr. Ahmad Sofian menjadi anggota Pro Juventute di Medan. Dr. Pirngadi pulang kampong ke Banten, Dr. Djabangoen Harahap melakukan konsolidasi terhadap anak-anak republik di Medan di dalam persiapan pembentukan Front Medan. Dr. Djabangoen adalah Ketua Front Medan.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 24-02-1949: ‘Baru-baru ini, kami telah membuat pembentukan kembali di Departemen Medan yang disebut Asosiasi Pro Juventute. Sekarang Dewan diketuai oleh Mr. Djaidin Purba, sekretaris Mr. G. Meijer dan bendahara Mr C. H. N. Vendrik. Dalam dewan terdiri dari anggota (antara lain) Mr Tan Tjeng Bic, Dr. Ahmad Sofian, Oei Tiong Han. Ranjit Singh, T. Amiroedin A. Wahab Abbas, R. Soeratno Wirjoatmodjo, Ramli dan lainnya. Sebagai akan ingat, Asosiasi Pro Juventute ini bertujuan untuk memerangi kejahatan (perlawanan) di kalangan anak muda (pemuda patriot) di Indonesia… Pro Juventute Medan didirikan pada Mei tahun 1924 oleh Mr ALA. Tanp. Hent dan ÚJ. Huber yang kemudian masing-masing presiden pertama dan sekretaris…Sebelum perang, Pro Juventute sudah dilakukan secara luas dan di sini pekerjaan yang berguna di bidang pemuda untuk anak-anak dari semua kelompok. Sebagai seorang perwira dari Pro Juventute adalah Mr Gorinchem dipekerjakan, yang meninggal dalam waktu interniran Jepang. Presiden terakhir sebelum perang adalah Mr. Haag yang meninggal di tahanan’.

Demikianlah gambaran situasi alumni-alumni STOVIA terpecah: sebagian pro republik dan sebagian yang lain kontra republik. Yang pro republik bertempur melawan Belanda, sedangkan yang kontra republik ‘duduk manis’ di pangkuan Belanda.

Dr. Pirngadi adalah teman dekat Dr. Djabangoen. Dr. Pirngadi kelahiran Banten adalah saudara dari Mr. Djajadiningrat. Sedangkan Dr. Djabangoen adalah saudara dari Mr. Soetan Casajangan. Pada bulan Oktober 1908, Soetan Casajangan mendirikan Perhimpunan Pelajar (Indisch Vereeniging=IV) di Leiden, Belanda dimana salah satu anggotanya adalah Hoesein Djajadiningrat. Pembentukan IV (trans nasional) ini untuk merespon pembentukan Boedi Oetomo (kedaerahan) oleh Soetomo dkk di STOVIA (Mei 1908). Soetan Casajangan lulus tahun 1913 dan kembali tahun 1914 ke tanah air. Namun sepulang Soetan Casajangan IV terkesan mengendor dalam menyuarakan kebangsaan. Pada tanggal 1 Januari 1917, Sorip Tagor mempelopori dibentuknya Sumatranen Bond (karena Boedi Oetomo semakin disokong oleh Belanda) sementara intensitas pembangunan di luar Jawa semakin melemah. Tujuan pendirian Sumatranen Bond adalah untuk membangun Sumatra yang sudah jauh tertinggal. Di Batavia, mahasiswa-mahasiswa STOVIA merespon positif pendirian Sumatranen Bond, Pada tanggal 17 Desember 1917 dibentuk Sumatranen Bond di Batavia dengan susunan pengurus sebagai berikut: Ketua, Tengkoe Mansoer, Wakil Ketua, Abdul Moenir Nasution, Sekretaris, Amir dan ; Bendahara, Marzoeki.  

Pada saat Dr. Tengkoe Mansoer diangkat sebagai Wali Negara Sumatera Timur, yang menjadi Gubernur Sumatera Utara adalah Mr. SM Amin Nasution. Gubernur pertama Sumatera Utara ini (sejak 18 Juni 1948) adalah adik dari Dr. Abdul Moenir Nasution. Masih dalam masa agresi militer Belanda di Tapanoeli, SM Amin digantikan oleh Dr. Ferdinand Lumban Tobing. Selanjutnya Abdul Hakim menjadi Residen Tapanoeli.

Pada masa gencatan senjata akan dilakukan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda. Pimpinan delegasi adalah Mohamad Hatta. Abdul Hakim dalam delegasi ke KMB bertindak sebagai penasehat. Keutamaan Abdul Hakim dalam delegasi ini selain menguasai tigas bahasa asing (Belanda, Inggris dan Prancis), Abdul Hakim sudah berpengalaman sebagai pejabat keuangan di era Belanda dan era pendudukan Jepang.

Pasca Pengakuan Kedaulatan RI, Abdul Hakim diangkat menjadi Gubernur Sumatra Utara.Portofolio paling tinggi diantara putra-putri terbaik Sumatra Utara pasca Pengakuaan Kedaulatan RI adalah Abdul Hakim Harahap, memiliki pengalaman pemerintahan di era Belanda, di era Jepang dan di era perang (agresi Militer Belanda), sebagai pejabat keuangan, sebagai Residen Tapanuli dan sebagai penasehat bagi delegasi RI ke KMB. Tentu saja banyak yang memiliki portofolio yang buruk, seperti Dr. Tengkoe Mansoer (mengingkari NKRI), Dr. Ahmad Sofian (anggota Pro Juventute, organisasi yang bertujuan untuk memerangi perlawanan dari kalangan pemuda patriot Indonesia di Medan dan sekitarnya) dan Dr. Amir yang lari ke Belanda.

Pasca Pengakuan Kedaulatan, Negara Sumatra Timur dibubarkan dan semua wilayah eks Sumatra Timur dimasukkan ke dalam NKRI. Abdul Hakim sebagai gubernur baru mulai kerja keras lagi untuk membangun Sumatra Utara yang porak-poranda selama perang. Tugas ini tentulah sangat berat, di Medan, ibukota Sumatra Utra yang berada di Sumatra Timur, Abdul Hakim harus menyusun personel yang baik, apalagi para pentolah Negara Sumatra Timur masih belum sepenuh hati menjadi bagian dari NKRI. Sementara itu, banyak putra-putri terbaik dari kalangan republik yang bagus, tetapi mereka banyak yang masih kelelahan dalam bertempur dengan Belanda dan bahkan ada yang cacat akibat perang. Sebagai contoh: Dr. Djabangoen yang menjadi Ketua Front Medan, Dr. Gindo Siregar (Gubernur Militer Sumatra Utra), Dr. Diapari Siregar (yang wara wiri membedah para pejuang yang terluka di medan perang).

Beberapa agenda pokok Abdul Hakim adalah pemulihan ekonomi, peningkatan mutu pendidikan dan persiapan menjadi tuan rumah PON III. Untuk merealisasikan inisiatif Abdul Hakim dalam mendirikan universitas diperlukan orang-orang yang cukup waktu. Program pertama dari inisiatif ini adalah mendirikan fakultas kedokteran. Mengapa demikian? Abdul Hakim mengetahui secara persis riwayat anak-anak Tapanuli yang begitu banyak berpendidikan kedokteran, bahkan sudah ada sejak tahun 1854. Jumlah dokter terbanyak saat itu di Indonesia, setelah dari etnik Jawa adalah etnik Batak dari Tapanoeli khususnya dari afdeeling Padang Sidempuan. Tradisi sekolah kedokteran itu harus dilembagakan dalam bentuk fakultas di Sumatra Utara (karena STOVIA tidak ada lagi dan sudah menjadi bagian dari Universitas Indonesia). Putra-putri Sumatra Utara tidak perlu jauh kuliah ke Jakarta. Inilah dasar pemikiran dari Abdul Hakim. Untuk merealisasikan ini tidak terlalu sulit sebab koneksitas alumni STOVIA pada saat itu masih kuat. Hubungan Medan dan Jakarta yang kondusif membuat proses pengurusannya akan lancar-lancar saja.

Di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, manterinya adalah Dr. Bahder Djohan. Untuk memfasilitasi ini dibutuhkan Dr. Diapari Siregar, sebab Bahder Djohan dan Diapari Siregar adalah berteman dekat, keduanya adalah tokoh Sumatranen Bond tahun 1928 (Bahder sebagai ketuam Diapari sebagai sekretaris). Untuk urusan ke Kementerian Kesehatan juga terdapat koneksi yang baik antara Dr. Djabangoen dengan Dr. Pirngadi yang menjadi Sekretaris Jenderal Kemeterian Kesehatan. Kedua dokter alumni STOVIA ini berteman cukup dekat. Selain saudara mereka berteman dekat (Soetan Casajangan dan Husein Djajadiningrat), Dr. Djabangoen pernah berdinas di Banten (kampong halaman Dr. Pirngadi). Selain itu, Dr. Pirngadi dan Dr. Djabangoen adalah dua dokter yang asli pribumi di Rumah Sakit Umum Medan tahun 1931. Ketika, Belanda kembali (berdirinya Negara Sumatra Timur) Direktur rumah sakit ini diduduki oleh Dr. Ahamd Sofian. Kelak nama rumah sakit ini bernama RS Pirngadi.

Abdul Hakim adalah pejuang dan negarawan. Untuk mensukseskan kerja Jajasan Universitas Sumatra Utara. Sejak April 1952, Abdul Hakim merangkul kawan maupun yang dulunya menjadi lawan. Oleh karenanya wakil yayasan dimintanya Dr. Tengkoe Mansoer. Selama masa perang, Tengkoe Mansoer (Wali Negara Sumatra Timur) adalah lawan politik dari Abdul Hakim (Residen Tapanoeli), namun di masa damai tampaknya Abdul Hakim harus menganggap memiliki hak yang sama. Tapi mungkin masih selektif. Untuk jabatan pemerintahan (yang bersifat politis) tidak diberikan kepada pentolan-pentolan Negara Sumatra Timur, seperti Tengkoe Mansoer, Ahmad Sofian dan lainnya. Ahmad Sofian diberi kesempatan karena setelah kembali Belanda, mendapat posisi bagus sebagai kepala rumah sakit umum dan juga memiliki waktu untuk menulis berbagai buku-buku kesehatan/kedokteran (meski secara akademik tidak memiliki kualifikasi akademik yang tinggi).

Yang memiliki kualifikasi akademik yang tinggi di Medan adalah Dr. Tengkoe Mansoer, Dr. Gindo Siregar, Dr. Diapari Siregar dan Dr. Pamenan Harahap yang telah mendapat pendidikan spesialis (master) di Universiteit Leiden. Beberapa orang Indonesia lainnya yang memiliki pendidikan master adalah Dr. Mohamad Djamil, Dr. Soetomo, Dr. Soeib Parahoeman. Orang Indonesia yang memiliki pendidikan sarjana dan master yang langsung di Belanda hanya beberapa orang diantaranya Dr. Parlindoengan Loebis dan Dr. Ildrem. Parlindongan dan Ildrem sama-sama satu angkatan di Belanda. Parlindoengan Loebis adalah Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) yang terakhir di Belanda periode 1938-1941). Satu-satu orang Indonesia yang bergelar doktor (PhD) di bidang kedokteran sebelum perang adalah Dr. Ida Loemongga Nasution, PhD yang meraih gelar doktor tahun 1931 (sarjana, master dan PhD diambil di Belanda). Ida Loemongga adalah saudara kandung dari Mr. Gele Harun, pejuang selama agresi militer yang menjadi Residen pertama Lampung (kini sedang diusulkan menjadi Pahlawan Nasional).  

Pada tangga 4 Juni Jajasan Universitas Sumatera Utara didirikan dihadapan Notaris Soetan Pane Paroehoem di Medan. Di dalam akte pendirian ini diberi nama Jajasan Universitas Sumatera Utara dan berkedudukan di Medan. Dewan Jajasan: Presiden, Abdul Hakim, Wakil. Dr. T. Masoer, Sekretaris Dr. Soemasono, anggota, antara lain: Anwar Abubakar, Madong Lubis, Dr. Maas. Dr. J. Pohon, Drg. Barlan dan Notaris Soetan Pane Paroehoem.

Soetan Pane Paroehoem adalah notaries pribumi pertama. Soetan Pane Paroehoem saudara sepupu dari Dr. Djabangoen lulus sekolah notariat di Batavia tahun 1927. Untuk orang pribumi baru pada tahun 1927 diberi kesempatan untuk menjadi notaries. Soetan Pane Paroehoem adalah notaries pribumi pertama di Sumatra Utara (satu dari tiga di Sumatra: Sumatra’s Estkust dan Lampoeng). Pada tahun 1920 di Pematang Siantar, Soetan Pane Paroehoem dengan kawan-kawannya (termasuk Dr. Mohamad Hamzah Harahap, sepupu Dr. Djabangoen) mendirikan bank pribumi pertama yanmg diberi nama Bataksch Bank.

Soemarsono pada tahun pada tahun 1922 sekelas dengan Daliloedin Loebis, Gindo Siregar, Pamenan Harahap. Di bawah mereka: Loemban Toeroean dan Nasoetion. Di atas mereka: Anwar Aboebakar, Di atasnya lagi: Tobing dan Kasmir Harahap, Siregar. Di atasnya lagi: Tobing, Pohan, Bahder Djohan, Manoppo; diatasnya lagi: Maa’moer Nasution, Djabangoen Harahap, diatasnya lagi Tobing dan Pirngadi, Maas, Soedarsono, di atasnya lagi Leimena dan Amir (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 06-05-1922).

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara secara resmi dibuka pada tanggal 20 Agustus 1952. Ketua curator fakultas ditunjuk Dr Ahmad Sofian, lulus dari Geneeskundige Hoogeschool di Batavia tahun 1937 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 25-05-1937). Sebagaimana diketahui, selama perang dan berdirinya Negara Sumatra Timur, Dr Ahmad Sofian diangkat sebagai kepala rumah sakit umum Medan.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-08-1952: ‘Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara akan resmi dibuka pada 20 Agustus di Auditorium fakultas di Jalan Seram, Medan. Oleh Dewan manajemen Jajasan Universitas Sumatera Utara yang dipimpin oleh Gubernur Abdul Hakim telah dibentuk sebuah Dewan yang terdiri dari curator: Ketua, Dr Ahmad Sofian, anggota yang ditunjuk: Walikota Djalaluddin, Dr; M. Wasidin, Istri Mr. A. Abas Manopo, Mr. Lic Ghien Ghiam, Tan Boen Djin, M. Ganie dan Arsul dan lainnya. Sekretaris yang juga Kepala administrasi pusat universitas, ditunjuk Mr Usman Fachroeddin. Dewan pengawas yang memiliki tugas kepentingan dari universitas akan dibventuk jika perlu untuk menjaga hubungan antara pemerintah dan lembaga-lembaganya, dan untuk memastikan bahwa semua peraturan telah dipenuhi pada organisasi universitas’.

Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara secara resmi melakukan dies natalis sebagai pertanda dimulainya perkuliahan. Jumlah mahasiswa pertama sebanyak 26 orang. Gubernur Abdul Hakim tampaknya sumringah karena inisiatifnya sudah terlaksana. Abdul Hakim mungkin teringat bahwa anak-anak dari kampungnya di Padang Sidempuan yang sejak 1854 hingga 1853 (satu abad) telah banyak bahkan ratusan yang menjadi dokter di Batavia dan tersebar di seluruh Indonesia, kini sudah waktunya pendidikan dokter dapat ditempuh di daerahnya sendiri.   

De vrije pers: ochtendbulletin, 24-08-1953: ‘Medan, 21 Agustus dilakukan dies natalis Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara  dimana jumlah mahasiswa yang hadir sekarang sebanyak 26 mahasiswa. Sejumlah pihak telah diundang untuk menghadiri upacara seperti Residen Mr. Daudsjah, dari kalangan kantor gubernuran, konsul dan pejabat lainnya. Upacara ini dilakukan di di aula yang dihadiri oleh para curator yang telah bekerja sejak Mei. Dr Ahmad Sofian tampil membaca laporan tahunan dan mendeskripsikan riwayat singkat pembentukan universitas. Setelah itu, Dr. Tengkoe Mansoor member kata sambutan mewakili dewan jajasan universitas..’

Abdul Hakim pencetus didirikannya Universitas Sumatra Utara sudah selesai menunaikan tugas dengan baik. Namun tak terduga Abdul Hakim mendapat kabar Dr. Tengkoe Mansoer meninggal dunia. Semua kehilangan. Abdul Hakim meski dulu adalah lawan politiknya tetapi kini kehilangan salah satu putra terbaik Sumatra Utara.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 07-10-1953: ‘Surat kabar Mestika mempublikasikan pernyataan dari Gubernur Abdul Hakim (yang tengah berdinas di Tapanoeli), atas meninggalnya Dr. Tengku Mansur menyebut kerugian yang sangat besar bagi ilmu kedokteran, dan khususnya untuk fakultas kedokteran, yang almarhum telah melakukan begitu banyak. Gubernur menunjukkan bahwa Dr. Mansur selalu siap pasiennya, tanpa membuat perbedaan apapun. Apakah secara kebetulan pernah menjadi lawan politik, tidak pernah memainkan peran menyusul pembentukan  negara kesatuan. Mansoer telah mendesak selalu untuk semua orang untuk mematuhi kepada Pemerintah Republik Indonesia. Selama masa transisi dalam pembentukan terpadu negara dijanjikan oleh Dr. Mansur, yang akan dipertahankan keamanan di Sumatera Timur secara keseluruhan. Dalam politik ia konsisten dalam mengejar kebebasan bagi umatnya. Sejak berdirinya provinsi Sumatera Utara telah pernah menemui kesulitan sedikit dari tangannya pengelolaan kawasan ini. Sebaliknya, Abdul Hakim bersukacita tulus dalam klaim yang dibuat, dan dirinya sering memuji kemauan itu, demikian kata Gubernur Abdul Hakim’.

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 10-10-1953: ‘Ribuan warga Medan telah hadir (tidak menyebutkan kapan) memberikan penghormatan terakhir di masjid besar kepada Dr. Tengku Mansur. Sejumlah tokoh terkemuka di antara pihak-pihak yang berkepentingan hadir. Gubernur diwakili (karena tengah bertuhas ke Tapanoeli) oleh Residen T M. Daudsjah dan Binanga Siregar, Kolonel Simbolon, Dr. A. Sofian atas nama fakultas kedokteran dari Universitas Sumatera Utara, dan Mr. SB. Monastery dalam perannya sebagai pemimpin Eropa di Deli. Sultan Asahan, sepupu dari almarhum mengucapkan terima kasih atas nama keluarga atas kehadiran handai tolan.

Itulah pengakuan yang tulus dari Abdul Hakim kepada Dr. Tengkoe Mansoer yang kini telah tiada yang dulu menjadi lawan politiknya. Pengakuan tulus ini mengindikasikan Abdul Hakim sebagai seorang negarawan. Abdul Hakim hanya menggarisbawahi sisi positif Dr.Tengkoe Mansoer (tanpa pernah menyinggung sisi negatifnya).

Untuk sekadar diketahui, sebelum adanya Universitas Sumatra Utara (Fakultas Kedokteran), di Padang sudah lebih dahulu didirikan universitas pertama di Sumatra, namanya Universitas Pantjasila (Fakultas Hukum). Pendirian universitas ini dipelopori oleh Mr. Egon Hakim Nasution. Fakultas Hukum Universitas Pantjasila ini dibuka secara resmi tanggal 21 Agustus 1951 dengan jumlah mahasiswa sebanyak 80 orang. Dosen-dosen yang menjadi pengajar antara lain: Mr. Prawoto, Mr. Egon Hakim, dan Mr. Mak Kin San (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 22-08-1951).

Egon Hakim Nasution kelahiran Sibolga. Alumni dari sekolah hokum di Universiteit Leiden di Belanda. Setelah pulang ke tanah air ditempatkan sebagai hakim di Kantor Pengadilan di Padang. Selama penduduk Jepang, Egon mendirikan sekolah swasta dan selama agresi militer menampung anak-anak republik untuk bersekolah. Setelah Pengakuan Kedaulatan RI menjadi kepala Kantor Pengadilan Padang. Mr. Egon Hakim adalah saudara sepupu dari Dr. Ida Loemongga Nasution, PhD (doktor pertama Indonesia bergelar PhD).

Untuk urusan pendidikan di Padang dan Sumatra Barat selalu dimulai oleh orang terpelajar yang berasal dari Padang Sidempuan. Abdul Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan pada tahun 1925 berinisiatif mendirikan sekolah pertanian swasta di Loeboeksikaping, Pasaman. Uniknya, sekolah pertanian ini kurikulumnya mengintegrasikan pendidikan pertanian, pendidikan agama dan praktek dengan sistem asrama. Karena itu orang Belanda menyebutnya sebagai Mohammedaansch Lyceum. Guru-guru pertanian direkrut dari Sekolah Pertanian Bogor sedangkan guru-guru agama dari  Universitas Al Azhar di Kairo (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 21-12-1925). Sekolah ini didirikannya karena sekolah pertanian pemerintah di Padang Pandjang macet (tutup) yang mana pada waktu itu Abdul Azis Nasution salah satu gurunya. Abdul Azis Nasution alumni pertama Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare Landbouwschool) di Bogor tahun 1914. Dua tahun sebelumnya (1912) SoripTagor lulus Sekolah Dokter Hewan (Veeartsen School) Bogor. Sorip Tagor lulusan pertama, kemudian menjadi asisten dosen dan pada tahun 1916 melanjutkan studi ke Belanda. Sorip Tagor (ompung dari Inez dan Risty Tagor) ini adalah pendiri Sumatranen Bond tahun 1917 di Belanda. Sukses Abdul Azis Nasution membangun sekolah pertanian pertama di luar Jawa membuat dirinya berhasil dalam pilkada dan terpilih menjadi Anggota Dewan Minangkabau Raad

Jauh sebelumnya, tahun 1895, Dja Endar Moeda, mantan guru di Tapanoeli mendirikan sekolah swasta di Padang. Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda alumni Kweekschool Padang Sidempuan (1884) berinisiatif mendirikan sekolah karena banyak penduduk yang tidak tertampung di sekolah negeri di Padang. Dja Endar Moeda adalah orang pribumi terkaya dan yang paling terpandang di Padang. Dja Endar Moeda adalah ompung dari Dr. Ida Loemongga, PhD (ibu Ida Loemongga adalah putri pertama dari Dja Endar Moeda yang menikah dengan Dr. Harun AL Rasjid Nasution, 1903).

Sebagaimana dokter, ahli hukum juga sudah banyak di Indonesia yang berpendidikan sekolah hukum. Selain Docter Djawa School atau STOVIA atau Geneeskundige Hoogeschool di Batavia sudah ada Recht School juga di Batavia. Ahli hukum pertama orang Batak, Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi adalah master hukum (Mr) yang pertama meraih gelar doktor (PhD) pada tahun 1925 di Universiteit Leiden, Belanda. Doktor hukum Indonesia terkenal adalah Mr. Masdoelhak, yang meraih PhD pada tahun 1942 dengan predikat cum laude di Leiden. Setelah lulus (sarjana/master/doctor di Belanda) Masdoelhak pulang ke tanah air dan pasca proklamasi diangkat menjadi Residen Sumatra Tengah dan pada saat ibukota RI pindah ke Jogjakarta, Masdoelhak dipindahkan ke Jogja untuk menjadi penasehat hukum internasional Soekarno dan Hatta. Pada saat serangan ke Jogja (agresi militer ke-2) yang pertama kali diculik adalah Masdoelhak yang kemudian ditembak di Pakem. Atas penembakan ini Dewan Keamanan PBB di New York marah besar karena membunuh secara keji intelektual muda Indonesia untuk segera Den Haag melakukan penyelidikan yang tuntas. Mr. Masdoelhak Nasution, PhD adalah yang merupakan saudara sepupu dari Dr. Ida Loemongga, PhD dan juga saudara sepupu Mr. Egon Hakim pada tahun 2006 menjadi Pahlawan Nasional.

Oleh karenanya, Abdul Hakim memiliki inisiatif untuk mendirikan universitas di Sumatra Utara dan mendahulukan mendirikan fakultas kedokteran bukanlah tanpa dasar. Pengertian inisiatif (dalam bahasa asing) yang dikutip di atas adalah inisiatif melakukan sesuatu tanpa ditunjukkan atau diperintahkan oleh seseorang. Inisiatif adalah kemauan sendiri dengan berbagai pertimbangan, latar belakang dan prospek. Bahwa ada pihak lain yang bermimpi atau ngoceh,mirip seperti inisiatif Abdul Hakim tersebut itu masalah lain, masalah yang tidak terkait dengan pendirian Universitas Sumatra Utara dan juga tidak ada dasarnya (hanya his story). Oleh karenanya inisiatif Abdul Hakim dalam pendirian Universitas Sumatra Utara (Fakultas Kedokteran) adalah dasar sejarah pendirian yang kuat, valid.



*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: