Minggu, Juni 12, 2016

Sejarah Kota Medan (21): Abdul Hamid Lubis, Mentor Adam Malik; Pemuda Paling Revolusioner yang Mendahului Soekarno



Di Medan, jangan membicarakan yang lain dulu sebelum menyebut nama Abdul Hamid Lubis. Setelah itu baru membicarakan Adam Malik. Abdul Hamid Lubis adalah mentor dari Adam Malik. Hanya dua pemuda belia ini di Medan yang benar-benar dapat disebut pemuda paling revolusioner di Medan. Kedua pemuda ini memulai aktivitas politik pada usia 15 tahun.

Abdul Hamid Lubis dan Parada Harahap tidak pernah bertemu di Medan. Parada Harahap sudah hengkang dari Medan tahun 1919. Parada Harahap pulang kampong di Padang Sidempuan mendirikan surat kabar Sinar Merdeka. Sepeninggal Parada Harahap, Medan hanya biasa-biasa saja. Tiba-tiba pada tahun 1928 kota Medan heboh. Abdul Hamid Lubis ditangkap!

Abdul Hamid Lubis memulai karir sebagai wartawan di Medan. Uniknya, Abdul Hamid Lubis tidak hanya seorang jurnalis tetapi juga penulis opini berbakat. Topik yang dipilih selalu perihal yang terlarang, yakni: perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Ini yang terjadi pada pertengahan tahun 1928. Namanya kemudian  menjadi terkenal, tidak hanya di Medan tetapi juga di Batavia. Parada Harahap yang sudah sejak tahun 1923 berada di Batavia mendengar dan membaca berita tentang Abdul Hamid Lubis tersebut.

De Sumatra post, 28-03-1928
De Sumatra post, 28-03-1928: ‘Hari ini, Abdul Hamid Lubis, editor Pewarta Deli ditahan karena menulis sebuah artikel di surat kabar berbahasa Melayu, Pertja Timoer. Untuk tindakan pencegahan, diperoleh kabar dari pemerintah di Batavia agar secepat mungkin Abdul Hamid Lubis ditangkap untuk segera diadili. Sejumlah pihak protes, seperti Inlandsche Journalistenbond di Batavia (pimpinan Parada Harahap), Sembilan anggota Volksraad: Middendorp, Soangkoepon, Soetadi, Soeroso, dan Thamrin, memprotes skema preventif tersebut’.

Berita itu tentu saja mengagetkan seluruh insan pers dan pentolan pergerakan politik di Nederlandsch Indie (baca: Indonesia). Partai politik pertama baru didirikan baru beberapa bulan sebelumnya (4 Juli 1927), yakni partai yang didirikan di Bandung oleh para tokoh nasional seperti Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Sartono. Ke dalam partai baru ini, kemudian para pelajar yang tergabung dalam Algemeene Studie Club yang diketuai oleh Ir. Soekarno ikut bergabung. Dengan kata lain: Abdul Hamid Lubis berteriak lebih dahulu dibandingkan dengan kandidat Soekarno. Pada tahun dimana Abdul Hamid Lubis ditangkap (1928), partai Indonesia pertama ini diubah namanya menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Organisasi politik PNI dan orang-orangnya baru dianggap pemerintah Belanda berbahaya pada tahun 1929.

De Sumatra post, 11-10-1928: ‘Beberapa bulan yang lalu, Landraad di Medan, wartawan pribumi berumur 16 tahun, Abdul Hamid Lubis, yang diadili untuk sebuah artikel melawan otoritas Belanda di Pertja Timoer, dihukum 10 bulan penjara. Pemimpin redaksi dalam hal ini yang juga bertanggungjawab Djoendjoengan Loebis dipidana empat bulan. Permintaan pengampunan (grasi) keduanya ditolak. Tidak hanya sampai disitu, sebuah kasus baru akan diperlakukan terhadap Abdul Hamid Lubis, karena fakta yang ada, yaitu publikasi artikel yang serupa diarahkan terhadap otoritas pemerintah di dalam surat kabar Pewarta Deli, dimana dalam hal ini editor yang bertanggungjawab, Mangaradja Ihoetan. Keringan dalam hal ini (kasus kedua) tampaknya juga ditolak’.

Protes dari Parada Harahap (editor Bintang Timoer di Batavia dan peimpinan organisasi wartawan Indonesia), Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon (anggota Volksraad dari dapil Sumatra’s Oostkust) dan Mohamad Husni Thamrin (anggota Volksraad dari dapil Batavia) tidak mempan. Ini menunjukkan kasus Abdul Hamid Lubis adalah di mata pemerintah kolonial di Batavia tergolong serius. Seperti ditulis De Sumatra post, kasus Abdul Hamid Lubis terbilang sangat membahayakan bagi otoritas pemerintah. Kasus Abdul Hamid Lubis ini bersifat nasional dan harus ditangani langsung oleh pemerintah pusat di Batavia.

Selama ini pelanggaran jurnalistik disebut delik pers hanya dianggap biasa-biasa saja. Abdul Hamid Lubis tidak dalam posisi melaporkan, tetapi membuat opini dalam bentuk artikel. Oleh karenanya, kasus Abdul Hamid Lubis bukan sekadar delik pers tetapi juga menyangkut otoritas pemerintahan colonial. Kasus delik pers pernah dialami oleh Dja Endar Moeda editor Pertja Barat (1905) dengan dihukum cambuk dan diusir dari Padang, Mangaradja Salamboewe, editor Pertja Timoer (1906), Soetan Panoesoenan editor Pewarta Deli (1911) kurungan 15 hari, Soetan Parlindoengan editor Pewarta Deli (1915) dihukum dua bulan penjara, Tirto Adhi Soerjo, editor Medan Prijaji di Batavia (1916), Parada Harahap editor Sinar Merdeka di Padang Sidempuan (1919-1922) beberapa kali masuk bui, Abdul Karim gelar Baginda Djoendjoengan editor Oetoesan Rakjat di Langsa, Abdul Karim. Kini, editor Mangaradja Ihoetan dalam kasus artikel opini Abdul Hamid Lubis.

Tunggu deskripsi lebih lanjut



*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: