Rabu, Juli 06, 2016

Sejarah Kota Medan (32): Hari Jadi Kota Medan, Suatu Interpretasi yang Keliru; Untuk Pelurusan Sejarah, Ini Faktanya!


Baca juga:


Hari jadi Kota Medan bukan tanggal 1 Juli 1590. Mari kita buktikan! Selama ini setiap tanggal 1 Juli dianggap sebagai ‘ultah’ Kota Medan. Meski penetapan tanggal ini sudah dipatenkan sejak 1974 oleh SK resmi pemerintah bukan berarti tidak dapat direvisi. Sejumlah pihak menganggap penetapan 1 Juli hanya berdasarkan konsensus dari bukti-bukti sebuah kajian yang dianggap kurang akurat. Sejumlah pihak yang lain mengajukan usul dengan bukti dan interpretasi yang lebih kredibel. Namun nyatanya, persoalan yang mengemuka tidak pernah diselesaikan (direvisi), juga rekomendasi yang baru juga tak kunjung diperhatikan. Permasalahannya apa? Semua tidak bisa menunjukkan fakta-fakta yang lengkap dan akurat. Mari kita telusuri semua fakta yang tertulis.

Rumah Controleur di Onderafdeeling Medan, Deli (1875)
Hari jadi sebuah kota seharusnya tidak berbeda dengan hari kelahiran seorang manusia. Hari jadi atau hari kelahiran adalah penanda tanggal kapan dilakukan ulang tahun pada tahun berikutnya. Lahirnya sebuah kota, layaknya lahirnya seorang bayi. Dari tidak ada menjadi ada. Antara tidak ada menjadi ada seharusnya diletakkan dalam garis continuum. Dengan demikian, fase konsepsi harus dianggap belum ada. Konsep tentang lahirnya seseorang (bayi) adalah jika sang bayi telah dilahirkan: hidup dan berkelanjutan hidupnya (balita, anak-anak, remaja, dewasa, tua). Oleh karena bersifat continuum, maka titik-titik yang berada di fase konsepsi dan di fase lahir harus mengacu pada titik origin (agar tidak terjadi dislokasi).

Jebakan persepsi Guru Patimpus

Persoalan hari jadi Kota Medan bukanlah satu-satunya (unik) tetapi juga terjadi pada kota-kota lain. Permasalahannya menjadi besar, karena kini Medan adalah kota besar (metropolitan). Memang semakin besar sebuah kota seharus lebih tua. Akan tetapi azas itu tidak selalu sejalan. Persepsi bahwa semakin besar kota semakin tua akan muncul godaan untuk membuatnya lebih tua. Ini akan keliru jika tetap mengandalkan azas (pola umum). Akan tetapi (seperti banyak kota), Medan adalah sebuah kasus, sebuah kota yang unik (berbeda dengan kota lain), tidak hanya penampilan dan dinamika di dalamnya, tetapi juga tentang kelahirannya: perdebatan yang tak kunjung reda kapan kelahirannya (hari jadinya).

Perdebatan tentang penetapan hari jadi kota Medan yang dikaitkan dengan Guru Patimpus harus dianggap sebagai ruang terbuka untuk pembuktian. Upaya menuruti persepsi tentang Guru Patimpus tanpa bukti akurat adalah tidak elok (dapat dianulir). Untuk itu, kita harus tunjukkan bukti-bukti terkait Guru Patimpus. Dengan mengabaikan persepsi tentang Guru Patimpus tetapi mampu mengajukan bukti-bukti baru, otentik, lengkap dan akurat tentu dapat diterima. Persepsi tentang Guru Patimpus jangan sampai kita terjebak (terhalang) dalam proses pencarian kebenaran (yang bersifat metodologis).

Keberadaan Guru Patimpus boleh jadi benar. Namun duduk persoalannya harus diluruskan dulu. Dengan demikian, mencari hari jadi kota bukan berarti mencari Guru Patimpus. Yang mau dicari adalah dimana letak kota dan kapan adanya. Titik perkara paling dekat dengan tempat kejadian perkara (TKP) lahirnya kota Medan yang bersifat ontentik (dapat diverifikasi) adalah kehadiran orang Eropa/Belanda di Tanah Deli. Dari sini baru kita tarik garis apakah ada garis penghubung (continuum) dengan keberadaan Guru Patimpus untuk menentukan titik asal (origin) tentang apa yang kita persepsikan sebuah kota (dalam kasus ini kota Medan).

Invasi Belanda ke Tanah Deli: Suatu bukti permulaan

Deskripsi (keterangan) di Deli yang terbaru adalah laporan dari Netscher (Residen Riau, mantan Residen Tapanuli) pada saat melakukan ekspedisi (invasi) ke Deli. Netscher kala itu tengah melakukan psywar dengan mengundang dua pemimpin Batak di atas kapal perang yang buang jangkar di muara sungai Deli pada tahun 1863. Dalam deskripsi Netscher tidak dijelaskan area penduduk Batak, Netscher hanya menyebut dua pemimpin Batak dikawal oleh 500 pria bersenjata (hanya dua pemimpin yang masuk ke dalam kapal perang). Netscher menjelaskan sangat detail tentang Kampung Deli (tempat dimana Netscher dan pejabat-pejabatnya berkemah).

Rumah Sultan di Laboean (1870)
Kampung Deli (belum muncul/belum ada Labuhan Deli) disebutnya terdiri dari 200 rumah yang di dalamnya terdapat 20 orang Tionghoa, seratusan India campuran, sejumlah pria Atjeh yang dipersenjatai dan empat rumah dengan bangunan cottage arsitektur Batak (mewakili empat pemimpin Batak?). Rumah Sultan di ujung kampong. Daerah yang dihuni oleh Batak menurut Netscher terhitung mulai dari pantai dan terus memanjang hingga ke atas pegunungan tinggi. Dikatakan bahwa penduduk Batak ini ada kepala suku yang memerintah sekitar 40.000 jiwa. Diantara mereka terdapat Mohammedanism (beragama Islam) tampaknya klaim telah dibuat.

Berdasarkan laporan ekspedisi Anderson (1823) rumah Sultan berada di Kampong Alei dan saat kunjungan Anderson itu, Sultan tengah berperang dengan Radja (kerajaan) Poelo Barian (Pulo Barayan) karena sengketa arus perdagangan di sungai Deli. Kekuatan Kerajaan Barayan yang lebih lemah meminta bantuan tambahan pasukan dari Siantar. Anderson juga melakukan ekpedisi ke sungai Boeloe Tjina (kini Hamparan Perak) melalui sungai Belawan. Sepanjang sungai Boeloe Tjina adalah kampong-kampung Batak sebagian sudah beragama Islam sedangkan pemimpin Batak di Soenggal masih pagan. Setelah perang ini rumah Sultan pindah dari Kampung Alei ke Kampung Deli. Sejauh ini belum terdeteksi keberadaan Medan. Menurut Anderson, beberapa waktu sebelumnya Sultan Mangedar Alam yang didukung Kesultanan Siak pernah melancarkan perang dengan suku Batak yang berada diantara sungai Deli dan sungai Langkat (Boeloe Tjina/Hamparan Perak). Pasukan Batak memilih mundur ke belakang garis pantai (lebih ke pedalaman) ketika mengetahui kapten kapal Inggris membantu pasukan Melayu (Sultan Deli dan Sultan Siak) dengan meminjamkan senjata.

Bandar Laboehan Deli yang secara geopolitik dan ekonomi tengah kondusif buat Kesultanan Deli, pada tahun 1834, Kesultanan Deli dibawah pimpinan Sultan Osman Perkasa Alam coba memaksa Sultan Atjeh untuk menerima kedaulatannya sebagai Sultan Deli. Lalu Sultan Atjeh merealisasikannya Desember 1834 meski Sultan Atjeh menganggap siasat Kesultanan Deli ini sebagai ‘perampokan’ atas bagian Atjeh, ketika Sultan Atjeh menganggap tidak dalam perang atau bermusuhan dengan Siak (karena Kesultanan Atjeh sendiri telah lama membatasi pengaruhnya hanya sampai di Perlak saja). Namun dalam perkembangannya kedaulatan Kesultanan Deli digugat dan kedaulatan Kesultanan Deli tersebut tidak diterima oleh Kesultanan Atjeh. Cara yang dilakukan Kesultanan Deli dianggap Atjeh sangat merendahkan. Pandangan politik Atjeh mengganggap Sultan Deli telah menyalib di tikungan harus diluruskan: Kesultanan Deli harus dibawah supremasi Kesultanan Atjeh. Inilah yang menyebabkan di Kampung Deli, saat Netscher datang terdapat sejumlah pria Atjeh yang dipersenjatai.

Sultan Osman dan putranya dan penggantinya, Sultan Mahmoed Perkasa Alam setelah kembali di bawah supremasi Atjeh, merasa terus dalam kesulitan alias tidak berkembang. Lalu pada tahun 1863 ketika Kesultanan Deli sudah mengetahui Kesultan Siak sudah berada dibawah ‘kekuasaan’ Belanda, Sultan Mahmoud bergegas untuk meminta perlindungan kepada Belanda dan kemudian memaksa Atjeh kembali untuk melakukan keadilan atas supremasi Atjeh. Inilah yang mendasari mengapa Residen Riaou mengerahkan segera angkatan laut ke Deli untuk menekan Atjeh (saat itu pengaruh Belanda di pantai barat Sumatra sudah sampai di Singkel dan Taroemon).

Bagi penduduk Batak melalui empat pemimpinnya, tidak menjadi soal siapa yang menguasai bandar (Deli, Atjeh atau Siak). Hal ini karena penduduk Batak hanya melihat Bandar sebagai pusat transaksi ekonominya (ekspor/impor) siapapun yang menguasainya. Namun secara psikologis dan geografis para pemimpin Batak lebih menyukai Atjeh.

Menurut Netscher, Batak mengakui sampai batas tertentu kedaulatan penguasa Melayu dari pantai. Mereka yang mengakui sultan Deli seperti itu, membawanya tidak ada upeti, tetapi memiliki dia dalam perang melawan bantuan pembayaran. Kedua belah pihak melakukan kesepakatan dalam tanaman lada. Para sultan berharap tidak ada saling mengganggu antar kedua belah pihak. Ada delapan pimpinan suku Batak, empat di dataran rendah dan empat di di dataran tinggi wilayah pegunungan. Keempat pimpinan suku Batak ini memiliki nama kolektif yang disebut Tanah Djawa, Siantar, Panei dan Silau. Sedangkan suku-suku yang berada di bovenlanden disebut Karauw yang meliputi Baroesdjahai, Soeka Sembelang, Sabaja Lingga dan Raja Senembah.

Yang jelas pada akhirnya Deli yang telah berkolaborasi dengan Belanda dapat menghalangi Atjeh dan juga Deli dapat menyingkirkan Siak (dan pada gilirannnya Batak).

Pembentukan pemerintahan sipil di Deli

Setelah dua pemimpin Batak berhasil dibungkam oleh Netscher, seorang controleur Belanda, Baron de Raet van Cat (plus satu pasukan) langsung ditempatkan di hilir Kampung Deli (nama Labuhan Deli muncul dan makin popular). Inilah awal pemerintahan sipil di Deli. Tugas pertama controleur Deli adalah melakukan konsolidasi dengan Sultan.

Rumah controleur di Laboehan (1870)
Berdasarkan laporan dari sumber lain (Bataviasch Genooschap, 1870): Diantara para pemimpin Melayu juga terjadi saling iri (tidak kompak, bahkan sangat mendalam) namun tidak pernah menimbulkan perang antar sesama. Ketika Controleur pertama di Laboehan Deli mengundang para sultan-sultan setahun setelah Residen mengundang pemimpin suku Batak ke dalam kapal. Sultan Serdang tidak menggubris dan tidak pernah datang dan selalu memberi alasan.  Sultan Serdang memiliki caranya sendiri, dan tidak setuju Sultan Deli mengatasnamakan semua sultan-sultan. Reaksi Sultan Serdang cukup keras ketika Sultan Deli menganggap para sultan dan pangeran di lanskap Boeloe Tjina dan Langkat adalah dibawah supremasinya.

Tugas kedua controleur melakukan ekspedisi ke Bataklanden yang dilakukan tahun 1866 (tiga tahun setelah kehadiran controleur). Tugas ini menjadi penting bagi controleur karena sudah mulai ada reaksi dari penduduk Batak di hulu. Hubungan ke hulu secara ekonomi lebih penting daripada di sepanjang pantai. Controleur mengabaikan tugas menyatukan Melayu (Deli, Langkat dan Serdang). Tentu ini sangat penting, karena kemajuan transaksi dagang di pelabuhan Laboehan Deli sangat tergantung aliran komoditi dari penduduk Batak baik yang berada di belakang pantai (dataran rendah) maupun yang berada di pegunungan (dataran tinggi). Sebab tujuan utama kolonisasi adalah perdagangan dan keuntungan. Inilah yang dilakukan Controleur untuk memahami kunci keberhasilan Deli itu melakukan ekspedisi ke Tanah Batak pada bulan Desember 1866 hingga Januari 1867.

Untuk melancarkan tugas Controleur ini ke pedalaman yang pertama dilakukan Controleur adalah membuat perdamaian antara orang-orang Batak dengan Sultan. Tokoh kunci dalam hal ini adalah dua orang, yakni seorang tokoh independen yang telah lama tinggal di sekitar sungai Deli dan sungai Babura yang berasal dari Boekoem dan satu lagi tokoh kepala adat di Senembah (Patumbak). Controleur berhasil mempertemukan tokoh-tokoh Batak ini dengan Sultan dimana Si Boekoem datang sendiri dan kepala adat dari Patumbak datang dengan pengikut limapuluh orang Batak.

Menurut laporan Controleur, wilayah kekuasaan Sultan Deli hanyalah Laboehan Deli dan sekitarnya ditambah lanskap kecil Pertjoet. Wilayah-wilayah lainnya di sekitar pengaliran sungai Deli ke hulu terdiri dari daerah yang dikepalai oleh empat kepala suku. Kempat kepala suku itu Orang Kaya Agoe, juga disebut Orang Kaya Indra.di Radja dari suku Sukkah Piring, Orang Kaya Stiha Radja dari suku XII Kota, Orang Kaja Sri di Radja dari suku X Kota, dan kedjoeroehan dari Senembah dari suku Roemah Reh [catatan: suku XII Kota yang berada di sekitar pertemuan sungai Deli dan sungai Babura berbeda dengan suku XII Kota yang berada di muara sungai Belawan (Hamparan Perak).

Laporan ekspedisi ke Bataklanden ini ditulis dengan baik oleh Baron de Raet van Cat. Rombongan ekspedisi ini berangkat tanggal 9 Desember 1866. Pada pagi hari pukul sembilan berangkat dari Labuan, ibukota Deli, kami akan menuju Kampong Baru (kini Medan Baru) yang diperkirakan akan tiba pukul lima sore. Beberapa kampong yang kami lewati adalah Kampong Alai, Kampung Gengah (mungkin maksudnya Tengah), Kampong Besar, Rantoe-Blimbing, Mertoeboeng, Rengas Sambilan, Kota Bangon, Mabar, Rengas Sekoepang, Poeloe Braian, Gloegoer, Medan Poetri, Kesawan dan Tebing Tinggi. Rombongan yang banyaknya dua ratus orang ini tiba di Kampong Baroe pukul lima sore dan rombongan akan menginap. Kampung Batak ini dipimpin oleh Hooft panghoeloe. Esok harinya pukul delapan rombongan meninggalkan Kampoeng Baro dan diperkirakan tiba pukul lima di Deli Toea.

Dijelaskan controleur, termpat ini doeloenya merupakan tempat yang diperkuat ketika Deli Toea melawan musuh yang datang mengganggu dari arah laut. Deli Toea ini doeloenya merupakan jalur yang terhubung dengan laut dimana sungai di dekat kampong ini mampu jangkar. Rombongan sempat keliling selama sejam lalu mendaki ke daerah perbukitan dimana rombongan tiba di Deli Toea. Nasib Deli Toea kini menurut Controleur hanya kenangan bahkan saat rombongan melihat bahkan untuk perahu yang sangat kecilpun tidak ada yang bisa lagi melayarinya.

Dalam laporan ini jelas terdeteksi sejumlah kampong dalam garis lurus (perjalanan) dari Laboehan ke Deli Toewa. Ini untuk kali pertama nama Medan Poetri muncul ke permukaan. Pada laporan Anderson (1823) nama Medan Poetri belum disebut tetapi nama Kota Bangoen dan Poelo Barian sudah disebut. Tetangga Medan Poetri adalah Kesawan.

Menurut laporan Controleur, meskipun tempat-tempat tinggal tersebut menggunakan nama kampung, penghuninya tidak dapat benar-benar dianggap seperti sebuah kampung. Pada dasarnya rumah penduduk tersebar satu dengan yang lainnya,  Controleur itu memastikan tidak menyebut sebagai kampung, tetapi lebih menganggap bahwa nama-nama ini sebagai daerah (area). Setiap populasi area ini memiliki seorang kepala atau seorang pengetua yang disebut Datoe yang hanya berfungsi untuk membuat putusan dalam kasus-kasus kecil dimana denda diterapkan. Untuk hukuman berat seperti pembunuhan atau pencurian dikirim ke Sultan Deli di Laboehan Deli (mungkin karena sudah hadir otoritas Belanda).

Kampong Medan Poetri seperti yang disimpulkan Controleur Baron de Raet van Cat, bukan menggambarkan sebuah kampong seperti Laboehan (sudah berbentuk kampong) melainkan suatu area (kawasan) yang dipimpin seorang Datoe (kepala wilayah).Dengan kata lain, tipikal ciri rural (menyebar) untuk Medan Poetri dan Kesawan daripada ciri urban (memusat) seperti Laboehan.

Dalam laporan Netscher dan van Cat rumah Sultan atau pusat kesultanan Deli pindah dari Alei ke Laboehan pada tahun 1854. Laboehan sendiri pada saat ekspedisi Anderson sudah ada. Dengan demikian, Laboehan Deli sebagai pusat kesultanan terjadi pada tahun 1854 tetapi sebagai kampong sudah sejak lama ada.

Nienhuys dan ekspansi perkebunan tembakau

Labuhan Deli adalah ibukota Onderafdeeling Deli, Afdeeling Siak, Residentie Riau. Nienhuys dkk datang tahun 1865 untuk memulai perkebunan tembakau.

Hasilnya memuaskan. Nienhuys mendatangkan kuli Cina dari Penang yang awalnya bejumlah 190 orang (lalu pada nantinya tahun 1869 telah berjumlah 900 orang). Keberhasilan Nienhuys telah menarik minat investor lain dan melakukan bisnis perkebunan yang sama di Deli dan sekitarnya.

Controleur dan Sultan membuka pintu bagi investor baru dari Eropa (tentu saja termasuk Belanda). Hasilnya langsung terasa: investor di satu sisi membawa uang dan bersirkulasi dan keberhasilan perusahaan-perusahaan yang invest telah mendongkrak ekonomi penduduk. Sultan mendorong penduduknya menanam kelapa, buah-buahan dan sayur-sayuran. Selama bertahun-tahun penduduk sangat tergantung pasokan dari luar untuk pakaian, barang rumahtangga, makanan, beras dengan harga sangat mahal, kini harganya menjadi lebih murah. Perputaran uang telah memicu berdatangannya pedagang-pedagang Tionghoa dari pantai dan orang-orang Batak dari dataran tinggi (bovenlanden) untuk menjual produk-produk surplus mereka.

Aktivitas ekonomi Deli terus bergerak dan pergerakannya semakin kencang. Pemerintah Belanda mencoba membesarkan perusahaan sendiri dengan dikeluarkannya Keputusan Kerajaan Belanda No. 13 bertanggal 16 Desember 1869 bahwa Deli Maatschappij (Deli Mij) yang didirikan dengan domisili di Amterdam yang akan bergerak di bidang pertambangan dan pertanian serta reklamasi lahan yang terletak di Deli yang juga diberikan hak pembangunan prasarana sebagaimana di tempat lain yang dengan keleluasaan itu diwajibkan untuk melakukan penglahan produk, penjualan produk dan pembangunan kereta api untuk mendukung usaha sendiri maupun kemajuan. Berdasarkan keputusan tersebut oleh Keputusan Kerajaan Belanda No. 16 bertanggal14 Januari 1870 statuta asosiasi mendapat layanan kanal di Hoogeveen Belanda dan diakui sebagai badan hokum.

Praktis pada tahun 1875 di sekitar Medan sudah terdapat antara 6000-7000 kuli Cina. Untuk mengantisipasi itu berbagai tindakan kriminal yang muncul, pemerintah memindahkan pasukan dari Labuhan ke Medan dan meningkatkannya menjadi garnisun militer. Pada tahun 1876 status pimpinan afdeeling Deli berubah dari controleur menjadi asisten residen namun ibukota tetap berada di Labuhan Deli.

Pembentukan Onderafdeeling Medan

Pada saat peningkatan status controleur menjadi asisten residen di Labuhan Deli, seorang controleur lalu ditempatkan di Medan agar dapat mengatasi permasalahan lebih efektif di lapangan (onderafdeeling Medan dibentuk). Ini berarti pemerintahan sipil dimulai di Medan sejak 1876.

Deli Mij, Medan of Medan Poetri (1876)
Dalam pembentukan onderafdeeling baru ini di Medan, batas teritori kedua penduduk di DAS sungai Deli yang menjadi batas administratif tidak begitu jelas, dimana batas tersebut berada diantara kota Laboehan Deli dengan kota Medan. Di era kolonial Belanda antara area yang tidak jelas itu dengan pantai menjadi ondersfadeeling Laboehan Deli, antara area yang tidak jelas itu dengan pegunungan menjadi onderafdeeling Medan. Laboehan Deli berada di onderfadeeling Laboehan Deli dan Medan berada di onderafdeeling Medan. Jika mengacu pada perang antara Sultan Deli (kampong Alei) dengan Kerajaan Batak (kampong Pulo Barian) maka batas geografi social adalah berada di antara Kampung Alei dengan Pulau Barian. Namun batas-batas itu tidak jelas. Faktanya, sejak perang itu, rumah Sultan pindah dari Alei ke Labuhan dan kampong Pulau Brian tidak muncul di peta lagi (mungkin penduduknya semakin sedikit).

Peta lahan konsesi (1875)
Pada saat pembentukan onderafdeeling Medan dan pada saat controleur ditempatkan di  Medan (1876), semua wilayah sudah merupakan konsesi dari perusahaan perkebunan terutama Deli Mij. Sisi sebelah timur sungai Deli plus Pertjoet adalah konsesi Deli Mij (dan sebagian ada yang berada di sisi barat sungai Deli).

Bangunan-bangunan yang sudah ada di sekitar Medan (Medan of Medan Poetri) yang menjadi properti Deli Mij sebagai  infrastruktur dasar Deli Mij, seperti bangunan untuk kantor administrator, bangunan untuk pengolahan dan bedeng-bedeng untuk kuli. Untuk bangunan pemerintah yang menyusul kemudian baru terdiri dari dua buah: garnisun militer dan disusul pembangunan rumah controleur.

Pusat fasiltas Deli Mij (1870)
Kampung Medan Poetri berada di sisi barat pertemuan sungai Babura dengan Sungai Deli. Sementara infrastruktur Deli Mij dibangun di sisi timur sungai Deli. Area infrastruktur Deli Mij ini kemudian dikenal sebagai Medan of Medan Poetri (suatu area yang merupakan bagian dari area Medan Poetri. Dengan demikian, Medan Poetri terdiri dari Kampung Medan Poetri (perkampungan penduduk) dan Medan (pusat fasilitas Deli Mij).

Rumah administratur Deli Mij di Soekamoelia  (1876)
Bangunan lain yang menyusul adalah Kantor Administratur (yang baru) yang lokasinya berada di Sukamulia. Selain itu, kemudian menyusul bangunan untuk rumah sakit, bangunan logistik dan kios kebutuhan sehari-hari. Di sekitar area ini juga terdapat bangunan semacam pesanggrahan tamu-tamu Deli Mij. Namun lambat laun, pesanggrahan ini menjadi semacam tempat persinggahan (bermalam) untuk para planter (perusahaan lain) yang lokasi kebunnya lebih jauh.

Pada tahun 1875 ini area Medan Poetri terdiri dari tiga stakeholder: penduduk, pemerintah dan Deli Mij. Kombinasi ciri urban pada lingkungan Deli Mij yang berdampingan dengan ciri rural dari Kampong Medan Poetri plus ditempatkannnya bangunan-bangunan pemerintah di sekitar Deli Mij (rumah/kantor controleur dan garnisun) menjadi semacam prakondisi sebuah kota (town). Apalagi pemilihan lokasi ibukota onderafdeeling yang berpusat di rumah controleur menyebabkan Medan of Medan Poetri menjadi cikal bakal kota.

Komplek garnisun militer Medan (1876)
Pembentukan kota Medan (1875) mirip dengan pembentukan kota Padang Sidempuan (1844). Pemerintahan sipil di Afdeeling Mandheling en Ankola yang dibentuk tahun 1841 ditempatkan seorang controleur di onderafdeeling Angkola. Awalnya ibukota (rumah/kantor controleur) direncanakan di Pijorkoling tetapi dalam perkembangannya dipindahkan ke dekat Kampong Sidempuan. Perubahan ini karena di dekat Kampung Sidempuan sudah didirikan garnisun militer. Ini juga yang terjadi di Medan, Rumah/kantor controleur dibangun di dekat garnisun militer. Garnisun ini berada diantara Kampong Medan Poetri dengan pusat fasilitas Deli Mij. Rumah/kantor controleur secara administratif menjadi ibukota (hoofdplaats) onderafdeeling. Dari titik ibukota ini lingkungan kota dikembangkan atau berkembang dengan sendirinya.

Peta 1925
Pada tahun 1875 pada dasarnya di Deli sudah ada dua kota: Laboehan Deli dan Medan. Laboehan Deli menjadi ibukota afdeeling Deli (tempat dimana asisten residen berkantor), sedangkan Medan menjadi ibukota onderafdeeling Medan (tempat dimana controleur berkantor).Dalam hal ini Lanschap Deli terdiri dari enam daerah: (1) Sultansgebied (wilayah kesultanan Deli), (2) Oeroeng Hamparan Perak (XII Kota), (3) Oeroeng Serbanjaman (Soenggal), (4) Oeroeng Soekapiring (Kampong Baroe), (5) Kedjoeorean Senembah (Deli), dan (6) Kedjoeroean Pertjoet. Kota Labuhan Deli berada di Sultansgebied (wilayah kesultanan Deli) sedangkan Medan berada di Oeroeng Soekapiring.

Perubahan status Medan menjadi ibukota afdeeling Deli

Dalam perkembangannya, Labuhan Deli sesungguhnya lebih cepat berkembang dibanding Medan sendiri. Oleh karena banyak permasalahan situasi dan kondisi di dalam dua kota (Labuhan Deli dan Medan) maka muncul isu pemindahan ibukota afdeeling. Isu ini terbagi menjadi faktor pendorong dan faktor penarik. Sebagai factor pendorong adalah Labuhan Deli kerap mengalami banjir.

Sebelum ditetapkan perpindahan ibukota ini, didahului oleh suatu ‘negosiasi’ antara Sultan Deli dengan Gubernur Jenderal. Dalam hal ini, Sultan diundang ke Batavia. Untuk menyatakan niat baik, Sultan berangkat ke Batavia dengan membawa hadiah empat kuda asal Tanah Batak (kuda terbaik di Nederlansch Indie). Sepulang dari Batavia, Sultan cukup puas karena selama kunjungan juga diberi kesempatan melihat beberapa tempat penting di Java. Rumah dan mesjid sudah dihias dengan semarak dan di pelabuhan, dari kapal naik sekoci ke pantai dan disambut dengan sangat meriah sebelas tembakan dari kapal dan disambut oleh Asisten Resieden dan komandan militer berpangkat mayor serta kerumunan rakyat yang terdiri dari Maleiers, Bataks, Clingen, Chineezen en Atjeneezen.

Sebagai faktor penarik, para planter menginginkan pusat pelayanan pemerintah terlalu jauh ke Labuhan Deli sementara konsentrasi (tempat utama) orang Eropa sudah berubah dari Labuhan Deli menjadi Medan. Kota Medan sangat strategis karena merupakan persimpangan ke arah empat penjuru angin perluasan perkebunan. Faktor penarik lainnya, garnisun militer sudah lama berada di Medan.

Kasus serupa ini pernah terjadi dua kali di kota Padang Sidempuan. Pertama ketika pada tahun 1870 ibukota afdeeling Mandheling en Ankola dipindahkan dari Panjaboengan ke Padang Sidempuan. Kedua, pada tahun 1875 ketika ibukota Residentie Tapanoeli dipindahkan dari Sibolga ke Padang Sidempuan. Namun dalam perkembangannya ibukota dipindahkan kembali ke Sibolga.

Yang mempercepat proses perpindahan ibukota afdeeling Deli ke Medan adalah Deli Mij. Perusahaan Belanda ini (yang telah sejak awal disokong oleh Kerajaan di Belanda) melakukan manuver dengan menjanjikan fasilitas bagi kebutuhan pemerintah jika ibukota dipindahkan ke Medan. Fasilitas pertama, Deli Mij bersedia mengalihkan dan memberikan kantor administrator Deli Mij yang berada di Sukamulia sebagai kantor Asisten Residen.

Akhirnya pada tahun 1879 ibukota afdeeling Deli dipindahkan dari Labuhan Deli ke Medan. Ini dengan sendirinya terjadi perubahan dimana status controleur Medan ditingkatkan menjadi Asisten Residen, sementara status asisten residen Labuhan Deli diturunkan menjadi controleur. Sebagaimana diketahui sebelumnya tahun 1873, secara administratif Residentie Sumatra’s Ooskust dibentuk yang beribukota di Bengkalis (dipisahkan dari Residentie Riau). Residen berkedudukan di Bengkalis.

Alun-alunkota (Esplanade) Medan (1881)
Pekerjaan sipil (kegiatan planologi) pertama yang dilakukan oleh Asisten Residen adalah membuka jalan baru dan merancang ‘aloon-aloon; yang titik originnya di sudut pertemuan jalan di depan Societeit dengan jalan di depan garnisun dan menarik garis yang membentuk empat segi yang kemudian disebut Esplanade (kini Lapangan Merdeka).Esplanade dalam bahasa Belanda adalah lapangan terbuka. Esplanade adalah suatu ciri kota yang di Djawa disebut sebagai 'aloon-aloon'.

Buka jalan baru di Medan, terabas hutan
Sejak Esplanade ditetapkan dan selesai dibuat, maka selanjutnya pemerintah melalui Kantor BOW (Burgerlijke Openbare Werken = Pekerjaan Umum) mulai melakukan pembangunan jalan dan jembatan. Sebelumnya, untuk urusan kereta api ditangani oleh Deli Mij. Dalam urusan moda transportasi darat ini pemerintah pertama berusaha untuk meningkatkan kualitas jalan yang ada, membangun dan meningkatkan kualitas jembatan dan selanjutnya membuka jalan baru dan membangun jembatan baru. Dalam pembukaan jalan baru ini, banyak yang dilakukan dengan cara menerabas hutan-hutan. Tugas pemerintah melalui biro pekerjaan umum juga melakukan pembangunan pelabuhan yang sebelumnya masih di Laboehan dan kemudian dipindahkan ke Belawan. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan lokasi baru yang lebih luas dan lebih dalam agar memungkinkan kapal bertonase besar dapat merapat ke pelabuhan.

Ibukota Residentie Sumatra’s Oostkust pindah ke Medan

Sejak perubahan ibukota afdeeling Deli tahun 1879 dari Labuhan Deli ke Medan, situasi dan kondisi terus berubah. Afdeeling Deli terus tumbuh dan berkembang yang mana di Medan sudah menjadi pusat orang-orang Eropa. Akses Labuhan Deli ke Medan semakin lancar, lebih-lebih dengan tersedianya moda kereta api. Pengembangan jalur kereta api juga telah sampai ke Deli Toea dan ke Timbang (Bindjai). Hotel-hotel juga telah bermunculan, kios-kios kebutuhan berbagai pihak semakin tersedia. Layanan pos dan telegraf semakin baik. Organisasi (klub) kemasyarakatan juga sudah tersedia.

Aktivitas perkebunan sendiri semakin massif. Investor baru terus bertambah, perluasan lahan semakin ekstensif ke Asahan dan Simaloengoen. Perkembangan di Deli dan sekitarnya sudah jauh melampaui perkembangan yang terjadi di Bengkalis. Muncul kembali isu baru sebagaimana isu yang muncul pada saat perpindahan ibukota afdeeling Deli dari Labuhan Deli ke Medan.

Wacana pemindahan ibukota Sumatra van Oostkust sesungguhnya sudah lama ada. Tidak hanya karena alasan aspirasi di Deli oleh para planter, tetapi juga karena rentang kendali manajemen pemerintahan yang terlalu jauh ke Deli, sementara pusat pertumbuhan ekonomi baru sudah lama bergeser dari Bengkalis ke Deli. Perpindahan ibukota ini ternyata lebih cepat dari yang diperkirakan. Apalagi karena lanskap-lanskap yang dekat dengan Atjeh dilaporkan telah mengalami tekanan yang kuat dari kekuatan yang ada di Atjeh.

De locomotief : Samarangsch han.en adv.-blad, 05-02-1887
Berdasarkan berita-berita yang beredar di Batavia, ibukota Sumatra van Oostkust akan dipindahkan pada tanggal 1 Maret 1887 ke Deli. Ini berarti dengan sendirinya, status asisten residen di Medan akan ditingkatkan menjadi Residen. Dengan demikian, ibukota Residentie Sumatra van Oostkust dipinpindahkan dari Tebingtinggi di Bengkalis ke Medan di Deli.

Sehubungan dengan perubahan ibukota ini dan oleh karena afdeeling-afdeeling lain juga berkembang, maka yang terjadi adalah sebagai berikut: Afdeeling Bengkalis dipisahkan dari Sumatra van Oostkust dan dimasukkan ke Residentie Riaouw. Sedangkan Afd. Laboehan Batoe, Afd. Asahan, Afd. Batoebara dan Afd. Deli disatukan dan tetap menjadi Residentie Sumatra van Oostkust dengan ibukota Medan. Untuk memperkuat pemerintahan di Sumatra van Oostkust lalu status controleur di afd. Asahan yang berkedudukan di Tanjdjoengbalei ditingkatkan menjadi Asisten Residen. Untuk memperkuat pemerintahan di kantor ibukota Medan akan ditambahkan dua controleur.

Sementara itu, dengan perubahan struktur pemerintahan di Sumatra van Oostkust ini, ‘arsitektur’ pemerintahan juga berubah. Ketika Resident berkedudukan di Bengkalis, partnertship Residen adalah Sultan Siak/Sultan Bengkalis, akan tetapi ketika Residen dipindahkan ke Medan, maka partnership Residen dalam pemerintahan di Sumatra van Oostkust juga berubah dan berpartner dengan Sultan Deli. Pengangkatan Sultan Deli sebagai partnership pemerintah di Sumatra van Oostkust tidak saja mengabaikan Sultan dan para pangeran di Bengkalis, tetapi juga secara otomatis merendahkan derajat para Sultan di Asahan, Batoebara dan Laboehan Batoe (sebelumnya antara Sultan Deli dengan Sultan di Langkat, Serdang dan Bedagai). Pemerintah mendudukkan Sultan Deli di atas sultan-sultan lainnya. Dengan kata lain Sultan Deli adalah Radja dari para radja (Maharadja).

Stasion Medan (1889)
Pemindahan istana Sultan Deli dari Laboehan Deli ke Medan menandai pemindahan Residen di Bengkali ke Medan. Pemerintah di Batavia dan pemerintah di Sumatra van Oostkust menempatkan istana itu tidak di tengah kota, melainkan ke hulu Sungai Deli ke tempat sepi bahkan sangat dekat dengan tempat pekuburan orang-orang Eropa/Belanda. Istana ini yang kini disebut Istana Maimun. Istana ini proses pembangunannya dimulai tahun 1888 setahun setelah Residen mulai bertugas di Medan (dan selesai dibangun pada tahun 1891). Pada tanggal 18 Mei 1891 Sultan Deli pindah dari Labuhan Deli ke Medan.

Peta tata kota Medan pertama (1895)
Untuk meningkatkan akselerasi pembangunan kota, di Medan dibentuk Gemeetefond (Dana Kota) yang diketuai oleh Asisten Residen. Gemeetefond ini semacam komisi pembangunan kota yang mengindikasikan prakondisi Gemeenteraad. Untuk wilayah Residentie dibentuk Cultuuralraad. Dengan demikian di Residentie Sumatra van Ooskust terdapat dua ‘dewam’: Dewan Budaya (Residentie) dan Gemeenteraad (Medan). Kedua dewan ini diketuai oleh Asisten Residen. Penetapan anggota dewan ditunjuk dari Batavia dengan SK khusus. Yang duduk dalam dewan budaya (Plaatselijken Raad van het cultuurgebied der Oostkust van Sumatra) dari kalangan pribumi adalah Sultan Deli, Sultan Asahan, Sultan Langkat, Sultan Serdang plus Tsiong Yong Hian (mayor komunitas Tionghoa).

Setelah beberapa tahun kota Medan dianggap telah mampu melakukan pengelolaan sendiri (gemeeteraad) maka pada tahun 1909 status Kota Medan diubah menjadi otonom. Berdasarkan Staatsblad no. 180 tahun 1909, pada tanggal 1 April 1909 di Medan dibentuk Gemeenteraad. Ini berarti Kota Medan mulai babak baru dalam suatu pengelolaan kota, dimana dalam hal ini pemerintah akan diawasi oleh suatu dewan (Gemeenteraad). Pemerintah kota pada masa itu adalah Asisten Residen, E.G.Th. Maier. Anggota Gemeenteraad terdiri dari berbagai fungsi. Dibentuknya Gemeenteraad dimaksudkan untuk melakukan tugas-tugas pemerintahan agar lebih efektif di Medan dengan semakin kompleksnya permasalahan kota.

Yang duduk di dewan kota Medan adalah salah satu dari dua pribumi yakni pangeran Deli plus Tjong A Fie (Kapten komunitas Tionghoa). Selebihnya adalah orang-orang Belanda dari kalangan pejabat dan Deli Mij, Deli Spoor serta lainnya. Kedua dewan ini secara resmi diangkat sejak 1 April 1909.

Dalam perkembangannya, di Residentie Sumatra’s Oostkust pertumbuhan dan perkembangan perekonomian terus berlanjut. Perkembunan tidak hanya di afdeeling-afdeeling Melayu (Deli, Batoebara, Asahan dan Laboehan Batoe) tetapi juga semakin meluas ke afdeeling-afdeeling Batak (Simaloengoen en Karolanden). Untuk mengefektifkan pemerintahan (atas dasar perekonomian) di Simaloengoen en Karolanden ditingkatkan statusnya menjadi Asisten Residen dengan ibukota di Pematang Siantar. Dua afdeeling Batak ini dimasukkan dalam Residentie Sumatra’s Oostkust daripada Residentie Tapanoeli (lebih pada pertimbangan perekonomian).

Pada tahun 1915 Residentie Sumatra’s Oostkust mengalami reorganisasi dimana afdeeling-afdeeling Atjeh dimasukkan ke Residentie Atjeh seperti afd. Tamiang, sementara afdeeling-afdeeling Batak dikukuhkan masuk menjadi Residentie Sumatra’s Oostkust atas dasar kesatuan ekonomi perkebunan. Pada tahun dimana reorganisasi ini status Residentie Sumatra’s Oostkust ditingkatkan menjadi province (yang dikepalai oleh seorang Gubernur.

Kapan seharusnya hari jadi kota Medan?

Kota Medan 1911-1913
Saat ini hari jadi Kota Medan adalah tanggal 1 Juli 1590. Hari jadi ini berlaku sejak tahun 1975. Sebelumnya hari jadi Kota Medan adalah 1 April 1909. Kedua tanggal ini lalu diperdebatkan hingga ini hari. Kedua tanggal ini tampaknya memiliki dasar (acuan) yang lemah. Lantas, kapan seharusnya hari jadi kota Medan? Sebagai bahan pertimbangan sudah dideskripsikan di atas. Masalahnya adalah apa yang dimaksud dengan ‘Kota Medan’ tidak begitu jelas. Apakah yang dimaksud Kota Medan secara defacto atau secara dejure. Selanjutnya pada level mana suatu area dapat dikatakan sebagai kota.

Kota Medan yang sekarang adalah suatu garis continuum pada suatu area (daerah) yang didalamnya munculnya sebuah kampong (Medan Poetri). Kampong ini kemudian bermetamorfosis menjadi kota kecil (town) lalu tumbuh dan berkembang menjadi kota besar (city) dan kemudian menjadi kota sangat besar (metropolitan). Kampong Medan Poetri adalah adalah sebuah kampong yang terbentuk sejak lama dan tetap bersifat rural (pedesaan). Di area Medan Poetri muncul dan terbentuk urban (perkotaan) yang disebut kota (town) Medan (Medan of Medan Poetri). Oleh karena itu, tanggal 1 Juli 1590 tidak tepat disebut sebagai hari jadi Kota Medan. Karena kenyataannya pada tanggal dan tahun itu tidak ada bukti yang kuat yang menunjukkan Medan Poetri sebagai sebuah kota.


Sketsa Padang Sidempuan sebagai kota (town), 1844
Terbentuknya kota Medan sesungguhnya mengikuti pola-pola terbentuknya kota pada awal kehadiran pemerintah kolnial di suatu daerah. Pemerintah colonial tidak pernah mengokupasi kampong/kota yang ada (dan membiarkannya hidup dan tumbuh). Pemerintah memilih dan menentukan lokasi dimana kota akan dibentuk adalah lahan-lahan kosong yang kurang subur tetapi tidak jauh dari perkampungan/kota yang ada. Inilah yang terjadi ketika terbentuknya kota Padang Sidempuan. Pemerintah awalnya menetapkan garnisun di lahan kosong yang kemudian di dekatnya dididirikan kantor controleur. Di pusat ibukota (hoofdplaats) ini fasilitas lambat laun bertambah yang akhirnya terbentuk kota. Kampung Sidempuan sendiri tidak jauh berada di utara dari garnisun/kantor controleur ini. Setali tiga uang, pola ini juga yang terjadi ketika terbentuknya kota Medan. Kampung Medan tidak jauh di sebelah barat dari garnisun/kantor controleur didirikan. Lalu dari titik origin (garnisun/kantor controleur), kedua kota ini (Padang Sidempuan dan Medan) ternemtuk dan kemudian tumbuh dan berkembang ke segala arah. Pada fase awal pertumbuhan kedua kota ini sama, tetapi pada fase perkembangan kota (pertumbuhan selanjutnya), Medan berkembang jauh lebih kencang jika dibandingkan Padang Sidempuan. Untuk soal nama: kedua kota ini mengambil nama dari nama kampong yang sudah ada (kampong asli): Kampong Sidempuan dan Kampong Medan Poetri. Akan tetapi seiring dengan waktu nama kota mengalami penyesuaian: Kampong Sidempuan menjadi Kota Padang Sidempuan (ditambahkah Padang); Kampong Medan Poetri menjadi Kota Medan (dikurangi Poetri).   
 
Di Medan (Medan of Medan Poetri) ciri urban sudah ada sebelum tahun 1875 (secara defacto). Kota kecil (town) ini lalu pada tahun 1875 dijadikan sebagai ibukota onderafdeeling Medan (secara dejure) karena secara defacto tahun ini controleur ditempatkan (bertugas) di Medan. Sejak itu (1875) kota Medan secara fisik tumbuh dan berkembang. Dalam fase pertumbuhan dan perkembangannya kota Medan berubah secara formal mulai dari ibukota onderafdeeling (1875) menjadi ibukota afdeeling (1879) lalu ibukota residentie (1887) dan ibukota province (1915). Pada tahun 1909 kota Medan secara administrative menjadi otonom (gemeete).

Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota
Jika tanggal 1 April 1909 sebagai acuan untuk menetapkan hari jadi Kota Medan juga tidaklah tepat. Hal ini muncul pertanyaan, mengapa bukan 1 Maret 1887 atau tahun 1879. Jika tanggal 1 April 1909 yang dijadikan sebagai hari jadi kota Medan (karena menjadi gemeente/kotamadya) maka Kota Medan akan menjadi sangat tua jika dibandingkan dengan Kota Padang Sidempuan (yang menjadi kotamadya tanggal 21 Juni 2001). Padahal secara defacto kota Medan lebih muda dibandingkan dengan Padang Sidempuan dan bahkan lebih muda daripada Labuhan Deli. Dalam hal ini hari jadi kota Padang Sidempuan yang disebut tanggal 21 Juni 2001 tentu tidak tepat. Jika yang dimaksudkan sebagai hari jadi kotamadya mungkin benar. Kota Padang Sidempuan sendiri dibentuk dengan menempatkan seorang controleur di Padang Sidempuan adalah tahun 1844.

Jadi permasalahannya adalah soal acuan untuk menetapkan hari jadi kota. Tidak ada acuan yang seragam. Karena itu setiap kota menetapkan secara sendiri-sendiri (bersifat consensus). Namun demikian, meski secara consensus tetapi perlu juga ditetapkan secara nalar tidak terlalu tua dan juga tidak terlalu muda, apalagi tidak ada buktinya. Penalaran yang tepat tentang hari jadi kota Medan adalah tahun 1875. Tinggal menelusuri kapan hari dan bulannya. Jika tidak ditemukan, secara consensus dapat dipinjam tanggal 1 Juli saja. Dengan demikian hari jadi kota Medan yang masuk akal yakni tanggal 1 Juli 1875.

Dimana titik origin Kota Medan?

Sebagaimana diuraikan secara singkat sebelum ini, bahwa di area (kawasan) Medan Poetri di DAS Deli (di hulu Kesawan dan di hilir Gloegoer) terdapat Kampong Medan Poetri (letak kampong ini di sisi barat pertemuan sungai Babura dan sungai Deli). Kampung ini dihuni oleh keturunan dari Datoe Soekapiring. Di sisi timur sungai (seberang kampong) ini adalah lahan kosong dan hutan yang kemudian menjadi pusat fasilitas Deli Mij (kini jalan Tembakau/dulu Deli Str). Fasilitas itu antara lain bangunan pengolahan, gudang dan kantor. Selanjutnya dibangun rumah sakit, kios, pesanggrahan dan lainnya. Lokasi ini digambarkan oleh seorang wisatawan (yang kembali bernostalgia ke Medan).

De Sumatra post, 08-08-1912 (seorang wisatawan menulis setelah 30 tahun meninggalkan Medan): ‘Penulis menemukan Medan benar-benar berbeda dari kota-kota lain di Hindia Belanda…ada hubungan khas antara kesultanan dan perusahaan/bisnis besar. Segala sesuatu disini baru sama sekali, baik aktivitas maupun lalu lintas…pengembang memiliki keleluasaan dan bebas menentukan ruang untuk setiap sisi…tiga puluh tahun yang lalu (saat wistawan masih berkerja di Deli Mij) tidak ada sesuatu disini, hutan dan padang gurun, dimana sungai mengalir…di suatu tempat dikejauhan, terdapat sebuah kampong asli, miskin dan kurang terwat, bertani untuk hidup. Perusahaan baru, di tempat padang gurun telah membuat wilayah menjadi lahan sebagi sebuah tempat yang ada sekarang (kota)..’.

Hotel Deli, hotel pertama di Medan (dekat kantor controleur)
Wisatawan ini secara eksplisit membedakan kampong (lama) dengan kota (baru). Di kota baru itu dibangun garnisun militer di selatan Deli Mij. Di dekat garnisun ini dibangun rumah/kantor controleur. Selanjutnya dibangun rumah Administratur di Sukamulia (Soekamoelia strt), di sebelah hulu kantor controleur (kini Jalan Palang Merah). Kantor administrator Deli Mij ini kemudian menjadi kantor Asisten Residen. Ini berarti cikal bakal kota Medan saat itu berada diantara pusat fasilitas Deli Mij (Deli strt/Jl Tembakau) dan rumah Administratur/kantor Asisten Residen (Soekamolia strt/Jl Palang Merah). Di depan garnisun selanjutnya dibangun alun-alun (Esplanade). Di dalam lahan garnisun ini kelak dibangun Javasch Bank dan kantor Germeetehuis (Balaikota).

Kota baru itu adalah lahan konsesi yang dimiliki oleh Deli Mij. Di dalam lahan konsesi ini, Deli Mij menyediakan peruntukkan lahan untuk bangunan pemerintah (garnisun dan rumah controloeur). Kolaborasi pemerintah dan Deli Mij di area kota baru ini menjadi cikal bakal pengembangan kota berikutnya: stasion kereta api, alun-alun, pos, klub social dan perumahan pimpinan militer dengan membuat jembatan penghubung (lahan diantara sungai Babura dan sungai Deli atau disebut Benteng). Sejauh itu kampong asli tetap terpisah di seberang sungai.

Origin Medan: Masjid Gang Bengkok, Kesawan (1915)
De Sumatra post, 03-01-1933 (surat pembaca): ‘Masjid yang menjadi isu sekarang.. tentang masjid ini tidak pernah diangkat, yaitu status hukum tanah masjid dan tanah sekitarnya. Sejarah singkat yang mendahului di tempat dimana sekarang masjid, itu beberapa tahun yang lampau terdapat rumah ibadah (mushola) dari kayu yang telah using. Rumah ibadah ini disumbangkan oleh Datoek Rustam sebagai wakaf, sekarang sudah meninggal. Juga lahan sekitar masjid serta lahan yang masih digunakan sebagai kuburan diwakafkan. Tanah ini terdaftar dan tersimpat dalam catatan publik di Biro Pengelolaan Tanah yang oleh penduduk tua Datoek Haji Harun dan Orang Kaya Dahroel yang berada di Kota Ma'soem dan Tengkoe Katan telah memberikan keterangan yang relevan. Atas inisiatif dan untuk kepentingan Pak Tjong A Fie, sebuah masjid baru dibangun, setelah selesai itu seperti wakaf juga telah diserahkan kepada penduduk setempat yang beragama Islam…Untuk biaya pemeliharaan dibangun di halaman sebanyak lima lantai rumah kayu untuk disewakan yang mana Sultan menunjuk Sjech Mohamad Jacoeb seorang Mandailing yang kemudian diteruskan anaknya Imam Hadji Oesman. Masjid ini yang berada di Mosque Street akan ditutup untuk jumatan oleh Sultan agar jamaah dialihkan ke Masjid besar, namun ada kelompok masyarakat yang tidak setuju yang mana kelompok ini berpendapat bahwa dimana upaya pemerintahan Sultan tidak meluas ke kota Medan dan Sultan tidak memiliki kontrol atas masjid karena terletak di dalam kotamadya.

Bataviaasch nieuwsblad, 06-02-1925: ‘..Datuk Rustam adalah salah satu dari tiga anak Datoe van Soekapiring, Datoe Dirwata yang mendapat warisan saat ini berbatasan dengan sungai Deli dan Jalan Masjid dan Kantor hoolddjaksa. Ketika Datu Dirwata meninggal, tiga putra membagi wilayah itu untuk mereka sendiri. Ketiga anak datoe tersebut adalah Datoe Zainal Abidin, Datoe Abdul Azzis dan Datoe Roestam. Sekitar enam puluh tahun yang lalu dari sekarang (sekitar 1865) kampong ini didirikan oleh tiga bersaudara untuk menetap di wilayah tersebut. Datoe Zainal sendiri terletak di dua sudut yaitu belakang Masjid…’.

Sketsa Medan sebagai kota (town), 1875
Dari keterangan ini terungkap bahwa kampong (lama) Medan Poetri sudah sejak lama ada (sudah ada sejak Datoe Soekapiring). Yang dimaksud kampong dalam hal ini adalah perkampungan penduduk yang berada di seberang sungai, sedangkan area Medan Poetri sendiri termasuk area yang menjadi konsesi Deli Mij. Di sebelah hulu Deli Mij sudah ada perkampungan baru (keturunan dari Datoe Soekapiring yakni Datoe Dirwata. Area kampong (baru) Medan Poetri dan sekitarnya dalam perkembangannya jatuh ke tangan H. Mohamad Ali (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 06-02-1925). Kampong (baru) Medan Poetri ini kini lebih dikenal sebagai kampong Keling atau Petisah dimana terdapat masjid kramat di Gang Bengkok (Gang Masjid).Jalan penghubung antara Gang Bengkok/Masjid dengan Jl Kesawan dulu disebut Datoek Straat. .


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.



Dr. Sorip Tagor Harahap: Alumni Pertama Sekolah Kedokteran Hewan di Bogor (1912); Pendiri Sumatranen Bond di Belanda (1917)

 

Tidak ada komentar: