Rabu, Agustus 17, 2016

Forum Investasi dalam Percepatan Pembangunan di Tapanuli Bagian Selatan



Tujuh puluh delapan tahun yang lalu di Batavia telah berkumpul sejumlah perantau Tapanoeli untuk membicarakan pembangunan di kampong halaman. Ide ini bermula dari Sanusi Pane dan kemudian mengajak sejumlah tokoh penting asal Tapanoeli yang peduli tentang kampong halaman.

Bataviaasch nieuwsblad, 01-03-1938: ‘Dewan yang dibentuk terdiri dari (diantaranya) Sanusi Pane sebagai Presiden. Anggota terdiri dari Parada Harahap (editor Tjaja Timoer), Abdoel Hakim Harahap (mantan anggota dewan kota Medan, kelak menjadi Gubernur Sumatra Utara), AL Tobing, H. Pane, T. Dalimoente dan Panangian Harahap (penilik sekolah di Bandung). Selain itu, sebagai pembina adalah MangarajaSoangkoepon (anggota Volksraad dari dapil Sumatra Timur), Dr. Abdul Rasjid (anggota Volksraad dari dapil Tapanoeli), Mr. Soetan Goenoeng Moelia, PhD (anggota Volksraad dari utusan bidang pendidikan) dan Amir Sjarifoedin (Pimpinan Partai Politik)’.

Dewan Rencana Reformasi Tapanoeli mewakili seluruh wilayah Residentie Tapanoeli (afdeeling Padang Sidempuan, Sibolga dan Tarutung). Komposisi dewan juga mencakup anggota dewan (Volksraad), partai politik, wartawan, sastrawan, pengusaha, pejabat pemerintah dan pendidik.

Mengapa muncul ide ini? Pada saat itu (1938) terdapat kesenjangan yang besar kemajuan ekonomi antara Sumatra Timur dengan Tapanoeli. Sumatra Timur semakin melesat sementara Tapanuli semakin terpuruk. Putra-putri asal Tapanuli Bagian Selatan semakin was-was. Kejadian ini sudah dimulai pada tahun 1908 ketika Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan mendirikan Indisch Vereeniging di Belanda (karena pribumi di Hindia Belanda semakin tidak berdaya). Lalu dalam perkembangannya, pembangunan di Jawa semakin membaik sementara di Sumatra semakin memburuk. Pada tahun 1917 Sorip Tagor Harahap memproklamirkan Jong Sumatra di Belnada. Kemudian  Dr. Abdoel Rasjid Siregar pada melihat persoalan tidak hanya Jawa vs Sumatra tetapi juga antara Tapanuli vs Sumatra. Pada tahun 1919 Abdul Rasjid Siregar mendirikan Jong Batak di Batavia, Terakhir ‘gerakan’ muncul kembali tahun 1938 oleh Sanoesi Pane dan kawan-kawan. Semua itu muncul karena anak-anak Tapanuli Bagian Selatan semakin gelisah melihat situasi dan kondisi kampong halaman yang terus menerus merosot dari berbagai aspek pembangunan.

Setelah dibentuknya dewan yang terakhir di era Belanda (1938), kemudian muncul lagi pertemuan masyarakat Tapanuli setelah kemerdekaan RI pada tahun 1957. Namun rincian dan secara spesifik tidak terlaporkan apa yang menjadi agenda pertemuan pada tahun 1957 ini.

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-01-1957: ‘Pertemuan para pemimpin Tapanuli. Pada hari Minggu di Jakarta masyarakat Tapanuli membahas situasi terkini di Sumatra. Dengan suara bulat diputuskan membentuk dewan. Salah satu wacana untuk mewujudkan Tapanuli sebagai provinsi namun itu masih dipertimbangkan karena dapat terjadi perpecahan di Provinsi Sumatera Utara. Pertemuan pada hari Minggu itu antara lain dihadiri oleh Abdul Hakim, Prof. Mr. Dr. Todung Sutan Gunung Mulia, Sutan Guru Sinomba, Mr. Basjaruddin Nasution, Ir. Tarip Harahap, Aminuddin Lubis, Mr. AM Tambunan, M. Hutasoit, Mr. Rufinus Lumbantobing, Ir. Debataradja, Mr. Elkana Tobing, S. Pandjaitan, Mayor Jenderal TB Simatupang dan Binanga Siregar, anggota dari Konstituante Tapanuli’.

Mereka yang hadir ini sebagian merupakan tokoh-tokoh asal Tapanuli Bagian Selatan. Abdul Hakim Harahap adalah mantan Gubernur Sumatera Utara yang keempat (1951-1953); Prof. Mr. Dr. Todung Sutan Gunung Mulia (guru besar dan Rektor UKI; Ir. Basjaruddin Nasution (mantan Kepala Dinas Kehutanan Tapanuli di era Belanda); Ir. Tarip Harahap (mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sumatra Bagian Utara di era Belanda); Aminuddin Lubis (masih dilacak) dan Binanga Siregar (mantan Residen Sumatra Timur).
Last but not least: Parada Harahap yang ikut berpatisipasi pada tahun 1938 tidak ada lagi. Parada Harahap sudah lanjut usia, tetapi surat kabar Java-bode yang memberitakan pertemuan tersebut sudah menjadi milik. Parada Harahap mengakuisisi (membeli) surat kabar berbahasa Belanda dari investor Belanda tahun 1952 (ketika ada kebijakan pemerintah RI untuk menasionalisasi perusahan-perusahaan asing).
Hal serupa itulah yang terjadi pada hari ini (Selasa, 16 Agustus 2016, red) di Jakarta. Di suatu tempat di Jalan Gatot Subroto, telah berkumpul sejumlah individu dari pengurus partai politik, wartawan, pengusaha, pejabat pemerintah, petinggi perusaswasta dan pendidik. Dewan sudah dibentuk dan anggota dewan diperluas ke individu yang berprofesi di bidang lain termasuk anggota DPR. Dewan yang didirikan hanya terbatas pada perantau asal Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel).

Dewan yang telah dibentuk ini hanya memusatkan perhatian pada perencanaan investasi dalam rangka percepatan pembangunan di lima kabupaten/kota: Tapanuli Selatan, Mandailing dan Natal, Padang Lawas, Padang Lawas Utara dan Padang Sidempuan. Pilihan fokus ini karena selama ini aliran investasi ke Tapanuli Bagian Selatan ternyata sangat minim dan sangat jauh dari kebutuhan yang seharusnya. Dewan ini mencoba mensinergikan berbagai bakal program dan program di lima kabupaten/kota potensi sumber investasi yang berasal dari luar Tapanuli Bagian Selatan. Oleh karena itu komposisi dewan yang dibentuk telah memetakan semua individu perantau untuk memberi kontribusi (dana) dan mendorong berbagai sumber investasi khususnya di Jakarta agar lebih terarah menuju Tapanuli Bagian Selatan.

Pada saat yang bersamaan beberapa dewan lain telah dibentuk dan beberapa dewan lainnya tengah digagas. Dewan lain yang sudah bergerak sedikitnya ada dua:  dewan Pendirian Universitas Negeri di Padang Sidempuan dan dewan Pembiayaan Mikro (yang dikaitkan dengan pendirian Koperasi Syariah).

Khusus untuk dewan Investasi dan Percepatan Pembangunan Tapanuli Bagian Selatan sangat diharapkan adanya kerjasama berbagai pihak dan kerjasama pemerintah daerah dari lima kabupaten/kota. Inilah saat yang tepat (momen) untuk mampu mewujudkan harapan yang diinginkan oleh penduduk Tapanuli Bagian Selatan sebagaimana pemikiran ini sudah dimulaiu dari 100 tahun yang lalu (1917).


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap dari berbagai sumber tempoe doeloe dan sumber masa kini.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Berita menarik yang berisi harapan,
ibarat sebuah huta kecil angkola dan mandailing para penghuninya ada yang pergi dan ada yang pulang, putra-putri yang terbaik kebanyakan pergi tidak kembali, yang tertinggal di kampung tersebut hanya sisa-sisa kwalitas rece2 semua...,
akhirnya melarat itu kampung,
banyak pencuri, berusaha menjadi tidak nyaman.
Entah dari mana tabiat mencuri itu berawal..?
mungkin karena hukum negara lebih buruk dari hukum adat.
Jika pencuri bisa di atasi saya yakin kemajuan angkola dan mandailing bisa tercapai.
Mudah2an kedepan lebih baik...!