Sabtu, Agustus 13, 2016

Sejarah Kota Natal (1): Traktak London, 17 Maret 1824; Penduduk Mandailing dan Angkola Melawan Pasukan Padri



Sejarah Kota Natal pada awalnya adalah bagian dari sejarah pelabuhan-pelabuhan pantai barat Sumatra. Pada tahun 1825 pelabuhan Natal menjadi wilayah penguasaan Belanda (berdasarkan Traktak London, 17 Maret 1824).

Peta kuno, 1619 (peta Portugis)
Sejak kedatangan pelaut-pelaut Eropa di Nusantara (menggantikan pelaut/pedagang dari India, Persia dan Arab), nama Natal belumlah popular. Pelaut Portugis dan Spanyol yang pertamakali datang. Kemudian disusul Perancis, Inggris dan Belanda. Pelaut-pelaut Portugis telah memetakan wilayah Nusantara. Ketika pelaut Belanda datang (1895) diantara nama-nama tempat terdapat tiga nama yang terpetakan yakni: Baros, Aroe dan Batahan. Natal tidak teridentifikasi.

Kehadiran Portugis menghilang di sekitar Sumatra oleh Belanda (Malaka direbut). Hanya tersisa Inggris dan Belanda, setelah Inggris menggusur kehadiran Perancis. Perseteruan Inggris-Belanda di Eropa berimbas pada pengusaan wilayah di Nusantara (termasuk di Sumatra). Inggris menggantikan Belanda. Lalu kemudian berdasarkan Traktat London terjadi ‘tukar guling’ Bengkulu dan Malaka.

Leydse courant, 26-06-1761
Leydse courant, 26-06-1761: ‘..4 Februari 1760, kapal Perancis berlabuh di Air Bangis..7 Februari 1860 Inggris mengambil pelabuhan Natal dari Perancis. Pelabuhan Natal ini diduduki oleh 40 Eropa dan 60

Pada tanggal 12 Mei 1829 Belanda mengambil alih Kota Padang dari Inggris. Residentie Sumatra’s Westkust dibentuk dari Pariaman hingga Indrapoera (menjadi Padaugsche bovenlanden). Kemudian wilayah Belanda di perluas di pantai dari Singkil hingga Ujung Masang dan di pedalaman Mandheling en Rao. Pada tahun 1830 di Natal dan Tapanoeli ditempatkan seorang posthouder. Di Natal posthouder bernama A.H Intveld.

Kekuasaan Baros hingga ke Natal. Baros pada tahun 1668 terdapat post VOC. Pada tahun 1755-1760 diambil alih oleh Inggris.

Penduduk di Kota Natal sendiri adalah penduduk melting pot. Mereka adalah pendatang yang umumnya berdagang. Menurut Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 2, 1839, di Natal terdapat enam suku:

1.      Soekoe Menangkabauw. Menangkabausche stam.
2.      Soekoe Barat, Westelijke stam.
3.      Soekoe Padang, stam van Padang.
4.      Soekoe Bandar Sepoeloe, stam uit de plaatsen gelegen tusschen Padang en Benkoelen.
5.      Soekoe Atje, stam van Atjin.
6.      Soekoe Rauw, stam van Rauw.

Setiap suku dikepalai oleh seorang Datu dan para Datu dipimpin oleh seorang Radja yang disebut Toeankoe Besar. Lanskap Natal juga meliputi hulu Kota Natal terdapat Linggabayu, di sebelah utara, di sebelah selatan Batahan dan Air Bangis (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 2, 1839). Di Linggabayu terdapat Radja (dan panglima) yang mana penduduknya Mandailing 3.000 jiwa. Di Batahan  terdapat penduduk Mandailing sebanyak 2.500 jiwa yang dikepalai oleh seorang Radja. Wilayah Batahan termasuk pulau Tamang. Di selatan Batahan terdapat Air Bangis yang dikepalai oleh seorang Radja (dan Panghoeloe).

Di pedalaman (Batak) penduduk Mandailing dan Angkola tengah berperang melawan pasukan Padri dari Bonjol. Kaum Padri adalah salah satu sekte yang mengusung pemurnian agama (dengan kekerasan). Di Minangkabau, Padri memerangi kaum adat (kerajaaan). Di Tanah Batak, Padri melakukan eksploitasi dengan dalih pemurnian agama. Para pemimpin Batak (Mandailing/Angkola) meminta bantuan pihak Belanda (untuk mengamankan Tanah Batak).

Pada tahun 1832 di Natal dimulai pemerintahan semi-militer dengan jabatan Civiel-Militaire Kommandant berpangkat letnan satu (dibantu dua pejabat sipil). Ini dimaksudkan untuk menjalankan pemerintahan sipil di Natal yang sudah kondusif dan ikut mendukung penyerangan militer di pusat Padri di Bonjol. Hal yang sama juga di Air Bangis, yang sebelumnya bersatus Civiel Kommandat diubah menjadi Civiel-Militaire Kommandant (pangkat sipil, bukan militer). Pada tahun 1833 Natal, Tapanoeli dan Air Bangis disatukan menjadi satu afdeeling yang diberi nama Noordelijke Afdeeling dengan ibukota Natal.

Pada tahun 1933 terjadi pergerakan militer dari Natal (juga dari Air Bangis) untuk mendukung perang total Belanda terhadap kaum Padri yang berpusat di Bonjol. Tahun 1934 di Panjaboengan dibangun benteng (yang kemudian disebut Benteng Elout). Para hulubalang Mandailing dan Angkola ikut berpartisipasi.

Pada tahun 1836 arsitektur pemerintah Noordelijke Afdeeling mengalami perubahan. Statusnya ditingkatkan menjadi Asisten Residen (JA Moser). Status semi militer di Natal dikembalikan menjadi status sipil, sementara jabatan asisten ditempatkan di Mandailing (F. Bonet, pensiunan militer yang sebelumnya menjadi posthouder di Tapanoeli) dan di Rao (W. Ivats). Dengan demikian Noordelijke Afdeeling meliputi Natal, Tapanoeli, Air Bangis, dan Rao. Di Air Bangis, Komandan digantikan oleh militer aktif berpangkat letnan dua.

Pada tahun 1837 perlawanan Padri berhasil dilumpuhkan, tetapi di Mandailing dan Ankola kaum Padri dibawah Toekoe Tambusai masih melakukan tekanan terhadap penduduk. Pada tahun 1838 dibangun benteng Pijorkoling sebagai salah satu basis untuk melunpuhkan pengikut Tambusai di Pertibie (kemudian berubah nama menjadi Padang Lawas). Perlawanan Tambusai berakhir tahun 1838.

Atas dasar ini wilayah yang berada di sebelah utara Sumatra’s Westkust dibentuk satu afdeeling (Noordelijke afdeeling). Pada tahun 1838 terjadi perubahan drastic. Noordelijke afdeeling dipimpin oleh seorang Resident (yang berkedudukan di Air Bangis) dimana di Natal tetap berstatus asisten residen.

Pada tahun 1839 para pemimpin Batak (Mandailing/Angkola) menyepakati sejumlah keputusan dengan pejabat-pejabat Belanda. Salah satu kesepakatan adalah menerapkan koffiecultuur (1840).
Mandailing terdiri dari 38 kampong yang dikepalai oleh para Radja dan Panghoeloe yang secara keseluruhan punduduknya berjumlah 40.000 jiwa. Loeboe 10.000 jiwa. Angkola 10.000 jiwa. Pertibie 8.000 jiwa.

Pada tahun 1840 di satu sisi Natal diturunkan statusnya dari Asisten Residen menjadi Controleur. Sementara di sisi lain dibentuk afdeeling Mandailing en Angkola yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen berkedudukan di Panjaboengan. Selama masa perang, F. Bonet yang bertugas selama tiga tahun (1836-1839) berkedudukan di Kotanopan. Ini berarti dimulai pemerintahan sipil di Mandailing (dan Angkola). Struktur pemerintah menjadi Residentie Air Bangis dimana residen berkedudukan di Air Bangis. Dengan penambahan cakupan wilayah ke Baros, maka Residentie Air Bangis terdiri dari: afdeeling Air Bangis, afd. Natal, afd. Mandailing en Angkola, afd, Tapanoeli dan afd. Baros. Hal lain di afd. Tapanoeli tetap hanya diisi oleh seorang posthouder, sementara di afd. Baros langsung diisi oleh pejabat sipil. Afdeeling Rao yang sebelumnya masuk Residentie Airbangis dipisahkan dan dimasukkan ke Residentie Padangsch Bovenlanden (ibukota Fort de Kock).

Pada tahun 1842 afd, Tapanoeli dan afd. Baros dipisahkan dari Residentie Air Bangis dan besama-sama dengan afdeeling baru (Pertibie, Singkel dan Nias) dibentuk residentie yang baru yakni Residentie Bataklanden (yang terdiri dari dua afdeeling: Tapanoeli dan Pertibie). Meski disebut Residentie pejabat tertinggi belum setingkat resident. Pejabat Residentie Bataklanden dan asisten residen afd. Tapanoeli sama-sama berkedudukan di Sibolga. Di afd. Pertibie pejabat tertinggi belum setingkat asisten residen. Pejabat asisten residen berkedudukan di Biela. Di Baros, Singkel dan Biela ditempatkan masing-masing seorang Controleur.

Residentie Air Bangis menjadi hanya terdiri dari afd. Airbangis, afd, Natal, afd, Mandailing en Angkola plus afd. Rao (yang kembali masuk Residentie Air Bangis). Di Natal tetap dijabat seorang Controleur. Sementara di Rao ditempatkan seorang Asisten Residen yang dibantu satu controleur. Di Afdeeling Mandailing en Ankola ditempatkan dua controleur yakni di afd. Angkola dan afd. Oeloe en Pakantan.

Bersabung:
Sejarah Kota Natal (2): Controleur Edward Douwes Dekker; Pemberontakan di Mandailing dan Angkola


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: