Senin, Oktober 31, 2016

Sejarah Kota Medan (42): Kongres Bahasa Indonesia Kedua di Medan (1954); Orang Padang Sidempuan yang Memperkenalkan Bahasa Melayu dalam Pers Belanda (1874)



Orang Padang Sidempuan tidak hanya pionir menjadi guru di Medan (1888), tetapi juga orang Padang Sidempuan pionir dalam pers berbahasa Melayu di Medan (1902). Untuk sekadar diketahui, tatabahasa Melayu justru awal pertama kali disusun di Padang Sidempuan (1883). Untuk sekadar diketahui juga editor pribumi pertama pada surat kabar berbahasa Melayu adalah orang Padang Sidempuan (1897). Uniknya pengajaran bahasa Melayu pertama kali dilakukan di Leiden dan salah satu pengajarnya adalah orang Padang Sidempuan (1910). Uniknya lagi, orang-orang Padang Sidempuan yang mentransformasikan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia (1934). Dalam Kongres Bahasa di Medan tahun 1954 ahli bahasa Indonesia paling senior adalah ahli bahasa Indonesia yang berasal dari Padang Sidempuan.

***
Bahasa Melayu sudah lama dikenal. Bahasa Melayu adalah lingua franca. Bahasa Melayu umumnya ditulis dalam aksara Arab. Ketika orang Eropa memperkenalkan aksara Latin, penduduk di Mandailing en Angkola mengadopsinya dan lalu menulis bahasa Melayu dalam aksara Latin. Aksara Latin yang ditulis dari kiri ke kanan lebih sesuai dengan aksara Batak yang bisa ditulis dari kiri ke kanan dan juga dari atas ke bawah. Oleh karenanya di Mandailing dan Angkola menjadi lebih biasa dengan aksara Latin dan aksara Batak. Aksara Latin tidak hanya digunakan dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu dan juga mulai digunakan dalam bahasa Batak.

Ketika di Minangkabau masih umum aksara Arab dalam bahasa Melayu (juga bahasa Minangkabau), di Mandailing dan Angkola sudah umum menggunakan aksara Latin dalam berbahasa: Belanda, Melayu dan Batak. Adopsi aksara Latin ini lebih awal di Mandailing en Angkola karena semakin sering mereka berpegian ke Padang sebagai ibukota provinsi (kala itu Residentie Tapanuli masih bagian dari Province Sumatra’s Westkust yang beribukota di Padang). Di Padang sendiri bahasa yang umum digunakan adalah bahasa Minangkabau, bahasa Melayu dan bahasa Belanda.

Sementara itu di Padang belum ada surat kabar berbahasa Melayu, yang ada hanya surat kabar berbahasa Belanda. Orang-orang terpelejar Mandailing dan Angkola yang bisa menggunakan tiga bahasa: Melayu, Belanda dan Batak. Sejak terbit surat kabar berbahasa Belanda, Sumatra Courant di Padang orang-orang Mandailing en Angkola hanya berlaganan surat kabar Sumatra Courant, karena surat kabar berbahasa Melayu belum ada. Surat kabar ini oleh penduduk Mandailing dan Angkola tidak hanya dipandang sebgai ruang berita tetapi juga ruang promosi dan ruang menyampaikan pendapat sebagai surat pembaca. Anehhnya, orang Mandailing dan Angkola menulis surat pembaca dan memasang iklan tidak dalam bahasa Belanda tetapi dalam bahasa Melayu. Hal ini karena pembaca yang disasar adalah penduduk pribumi yang berlangganan Sumatra Courant. Ternyata redaksi mengabulkannnya. Inilah awal perkenalan bahasa Melayu di dalam pers Belanda.

Sumatra-courant, 08-04-1874
Para pedagang Tapanuli di Padang Sidempoean memasang iklan (awal 1870an) di surat kabar berbahasa Belanda Sumatra Courant yang terbit di Padang. Uniknya iklan-iklan yang di pasang para pedagang asal Tapanuli ini dibuat dalam bahasa Melayu. Tentu saja iklan itu ditujukan untuk para pedagang pribumi atau para pedagang Tionghoa. Pemasang iklan yang dimaksud tersebut berdomisili di Padang Sidempuan. Paket-paket yang diperdagangkan sangat beragam, seperti hasil peternakan (sapi, kerbau, kuda, dan kambing), hasil hutan (kulit manis, rotan), hasil budidaya pertanian seperti beras, kopi, gula aren serta hasil industry kerajinan (lihat Sumatra-courant, 08-04-1874).

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: