Senin, Oktober 17, 2016

Simpang Siur Sumpah Pemuda, Ini Faktanya (3): Parada Harahap Turun Tangan Lagi; Putusan Kongres (1928) Diperbarui dan Diperingati Sebagai Hari Sumpah Pemuda (1953)

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Sumpah Pemuda dalam blog ini Klik Disin

Parada Harahap bukanlah politisi, juga bukan birokrat (petugas pemerintah Belanda maupun pemerintahan militer Jepang). Parada Harahap murni seorang jurnalis. Meski begitu, untuk soal kebangkitan bangsa dan perjuangan mewujudkan kemerdekaan, tingkat revolusionernya tidak ada yang menandingi (bahkan sekaliber Sukarno pun tidak). Parada Harahap bekerja dengan penanya. Pena yang sangat tajam.

Mochtar Lubis pimpin demosntrasi kebebasan pers (1953)
Parada Harahap memulai karir jurnalistik sebagai editor surat kabar Benih Merdeka tahun 1918 di Medan, kemudian dilanjutkan dengan mendirikan surat kabar Sinar Merdeka 1919 di Padang Sidempuan (kampong halamannya). Top performance Parada Harahap sebagai pemilik portofolio tertinggi dari tokoh nasional terlihat sejak mendirikan surat kabar Bintang Timoer di Batavia (1926). Jelang berakhirnya kolonialisme Belanda di Indonesia, Parada Harahap mendirikan surat kabar Tjaja Timoer (1938). Pada masa pendudukan Jepang, Parada Harahap mendirikan surat kabar Sinar Baroe di Semarang. Sejak kembali Belanda (agresi militer Belanda) Parada Harahap memimpin pers republik di Jakarta dan kemudian mengasuh surat kabar Detik di Bukittinggi (ibukota RI di pengungsian). Pada tahun 1951, Parada Harahap mengakuisisi surat kabar legendaris berbahasa Belanda (sejak 1850an), Java Bode. Di surat kabar ini pada tahun 1925, Parada Harahap mengirim tulisan-tulisannya tentang kebangsaan (tanah air warisan nenek moyang) ketika berpolemik dengan pers asing/Belanda. Sambil mengasuh Java Bode, Parada Harahap tahun 1952 mendirikan perguruan tinggi Akademi Wartawan Indonesia di Jakarta. Parada Harahap yang kini (sejak 1951) menjadi sekretaris Kadin Nasional (pada tahun 1927 mendirikan Kadin pribumi di Batavia), sejak tahun 1953, Parada Harahap adalah Ketua Kopertis (Perhimpuan Perguruan Tinggi Swasta).

Pasca pengakuan kedaulatan RI, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden M. Hatta tidak melupakan Parada Harahap, senior mereka. Sukarno dan Hatta meminta Parada Harahap untuk memimpin misi ekonomi Indonesia untuk studi banding ke 14 negara di Eropa (1954). Laporannya yang dibukukan dan didistribusikan ke publik dijadikan sebagai buku dengan judul Rencana Lima Tahun Pembangunan Ekonomi Indonesia (buku repelita pertama!). Misi ekonomi yang dipimpin Parada Harahap ini (di era republik) seakan menjadi misi ekonomi Indonesia kedua. Pada tahun 1933, Parada Harahap memimpin misi ekonomi Indonesia ke Jepang di era kolonial Belanda (termasuk di dalamnya, M. Hatta sebagai anggota rombongan yang baru lulus sarjana ekonomi di Belanda).

Kebijakan ekonomi Presiden Sukarno untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing (khususnya Belanda) tahun 1951 telah direspon positif oleh Parada Harahap. Pada tahun 1951 Parada Harahap telah mengakuisisi surat kabar berbahasa Belanda yang sangat legendaris (sejak 1850an) dan bertiras paling tinggi, Java Bode. Surat kabar yang dulu terbit di Semarang, ketika era pemilikan tengah berada di tangan pengusaha Tionghoa (1920an), Parada Harahap mengirim tulisan-tulisannya untuk berpolemik dengan pers asing/Belanda karena soal kebangsaan (1925).

Presiden Sukarno, secara fisik pada dasarnya seorang penakut, namun pikirannya yang cemerlang terbilang berani. Karena itu, Sukarno selalu membutuhkan orang-orang yang berani di sekitanya. Yang ditakutkan Sukarno adalah orang yang tidak mau bekerjasama dengannya dan memiliki pemikiran yang sangat cemerlang juga. Sejak awal, Sukarno tidak takut kepada Hatta, karena Sukarno lebih unggul secara fisik dan secara pemikiran dari Hatta (Hatta tetap selamanya subordinat dari Sukarno). Yang ditakutkan Sukarno adalah Amir Sjarifoeddin, namun untungnya Amir Sjarifoeddin masih bersedia diajak Sukarno bekerjasama (dan memang mereka sangat akrab sejak awal di Partai Indonesia). Sedangkan Amir dan Hatta (anda dapat lacak sendiri).

Hal-hal yang ditakutkan Presiden Sukarno adalah disintegrasi (pemberontakan di daerah, seperti di Jawa Barat, Atjeh dan Sulawesi Selatan), berseberangan dengan militer dan adanya tekanan pers. Dua yang terakhir sangat ditakuti oleh Sukarno (di era Jepang, Sukarno adalah tentara, di era Belanda, Sukarno adalah penulis yang handal di surat kabar. Catatan: tekanan mahasiswa saat itu belum begitu menonjol dan karenanya belum menjadi pertimbangan. 

Pada awal pengakuan kedaulatan RI, Presiden Sukarno sangat tenang dan nyaman. Sukarno dikawal dua pemikir yang berani: di bidang ‘militer’ terdapat Zainul Arifin Pohan dan di bidang pers terdapat Parada Harahap. Yang paling ditakuti oleh Sukarno saat itu adalah jika kehilangan semua kawan yang berasal dari Tapanuli.

Sukarno Mulai Bermimpi Besar

Sukarno mulai bermimpi besar dapat diartikan dalam dua segi: Indonesia Hebat dan Sukarno adalah Radja. Saat itu semua hal berjalan normal, tidak ada sesuatu yang mengganggu jalan pikiran Sukarno. Bahkan kampanye Parada Harahap tentang kebebasan pers sangat didukung oleh Sukarno (karena sejak era Belanda Parada Harahap dan Sukarno berjuang dalam kebebasan pers).

Parada Harahap menerbitkan buku berjudul ‘Kemerdekaan Pers’'. Isi buku ini mengedepankan kebebasan bersuara di bidang pers tetapi dengan cara bertanggungjawab. Parada Harahap menginisiasi untuk diadakan Kongres Pers. Selain itu, Parada Harahap juga aktif mencerdaskan bangsa melalu buku. Parada Harahap mulai mengumpulkan buku bacaan bagi anak bangsa (pasca pengakuan kedaulatan RI). Parada Harahap membawa buku sangat banyak dari Singapura (untuk mengisi perpustakaan di Jakarta).

Sukarno membutuhkan Parada Harahap. Parada Harahap lalu diangkat menjadi Hoofd Documentatie Kementerian Penerangan RI. Di luar itu, Parada Harahap berinisiatif mendirikan Akademi Wartawan (selama ini wartawan Indonesia dimunculkan para senior dan berkembang secara otodidak). Parada Harahap menggagas didirikannya Kopertis (Perguruan Tinggi Swasta). Satu hal yang tidak kalah penting, tahun 1952, Parada Harahap mempelopori Tiga Windu Sumpah Pemuda (24 tahun sumpah pemuda, 1928—1952).

Parada Harahap dan Sukarno; AH Nasution dan Mochtar Lubis

Ketika Sukarno ingin Indonesia menjadi hebat dan dirinya seakan radja, Sukarno terus ingin menggapai langit dan mulai lupa menginjakkan kaki di bumi. Diantara keberanian dan ketakutan Sukarno berlari menuju ‘Indonesia Hebat’ dan ‘Sukarno Numero Uno’ terdapat lubang menganga: kemiskinan, kekurangan pangan, pengangguran, inflasi dan ketiadaan uang (anggaran pemerintah). Semua itu menjadi luput dari perhatian Sukarno ketika ingin menggapai langit. Sejumlah pihak mulai mengingatkan Sukarno namun tetap tidak dipedulikan hingga seorang jurnalis, Mochtar Lubis berteriak dan ‘menimpuk’ Sukarno melalui tulisan di surat kabar.

Hubungan Parada Harahap dengan Mochtar Lubis sangatlah dekat. Parada Harahap (lahir 1899) adalah mentor dari Adam Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah (di bidang jurnalistik). Parada Harahap dengan Sukarno sangat akrab. Zainul Arifin Pohan sangat dekat dengan Kolonel AH Nasution. Mochtar Lubis sangat dekat dengan Kolonel Zulkifli Lubis. AH Nasution tidak selalu sepaham dengan Zulkifli Lubis. Kedekatan AH Nasution dan Zulkifli Lubis dengan Sukarno karena kehadiran Zainul Arifin Pohan. Parada Harahap dan Zainul Arifin Pohan sangat dekat karena kehadiran Sukarno. Itulah konfigurasi para pemimpin di sekitar pucuk kekuasaan Sukarno sebagai Presiden RI di awal penataan pemerintahan Indonesia (pasca pengakuan kedaulatan RI).

Umumnya segala tindakan Sukarno masih didukung, tetapi diantaranya ada juga yang kontra. Kontra pertama mulai datang dari Mochtar Lubis. Tidak jelas motifnya apa. Yang jelas, Mochtar Lubis di era Jepang pernah bekerja di radio militer Jepang di Batavia dan ikut memimpin kembali kantor berita Antara di masa agresi militer Belanda.

‘Berita Indonesia melaporkan bahwa kantor berita republik, Antara akan segera dibuka kembali yang berkantor di Batavia. Mochtar Lubis akan termasuk dalam pimpinan, dan oleh karena itu, kantor berita akan melayani koran-koran republik (Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 04-03-1948).

De vrije pers: ochtendbulletin, 02-05-1949: ‘..surat terbuka…pers bebas.. Ini adalah tentang kehormatan kami sebagai tentara, martabat kita sebagai Najie, pada hati nurani dicemarkan… pengalaman saya selama 30 bulan, hanya sedikit dan dangkal… Itu percaya pada kebebasan sebagai Menselyk-hukum, yang percaya pada akal dan keadilan sebagai tugas manusia. Saya menunggu jawaban Anda. Di Amsterdam, di mana saya berasal, saya memiliki beberapa rekan-rekan Anda bertemu selama dan setelah perang. Saya bertemu termasuk Mochtar Lubis, salah satu tokoh terkemuka di pers republik di pihak keberadaan Anda. Saya memiliki banyak kenangan indah dari mereka...’. Te Velde, April 26, 1949 Sgt. Maj. H.J. Reijn.

Ketika jalan Sukarno mulai kencang dan tidak menoleh kiri kanan dimana terdapat rakyat mulai mengiba (miskin), Mochtar Lubis mulai menyentil Sukarno dengan tulisan di surat kabarnya, Indonesia Raya. Akibat tulisan itu, Mochtar Lubis mulai berurusan dengan aparatur pemerintah.

De nieuwsgier, 02-03-1951: ‘Karena ada keluhan oleh Presiden, diperintahkan oleh Jaksa Agung, ex officio, Mochtar Lubis redaktur Indonesia Raya, Senin dipanggil oleh kepala jaksa A. Karim sehubungan dengan tulisan dimana presiden adalah yang bertanggung jawab atas kematian banyak orang Indonesia selama pendudukan (Jepang)’.

Mochtar Lubis menulis apa adanya, menulis tentang apa yang diketahuinya. Mochtar Lubis mengangkat isu yang sensitif bagi Sukarno ini karena Mochtar Lubis melihat sekitar yang situasi dan kondisinya tidak menentu: kemiskinan dimana-mana, tingkat kesehatan masyarakat sangat akut, kesulitan pengadaan pangan. Intinya: tingkat morbiditas dan tingkat mortalitas yang semakin meningkat.

Tentang apa yang ditulis Mochtar Lubis diketahui kelak, bahwa Jepang memberinya segala macam fitur bagus dan antara lain, membuatnya ketua Tjuo di Sangi, dewan penasehat Indonesia. Segera Sukarno Sumatera dipindahkan ke Jakarta setelah awal pendudukan. Di sana ia menjadi pemimpin nasionalis yang siap untuk bekerja sama dengan Jepang. Lainnya, seperti Sjahrir dan Subandrio, memilih oposisi… ia dipaksa untuk memberikan dukungan aset Jepang. Pada tahun 1943 mengambil Sukarno dan Hatta, yang telah menjadi suami kedua Sukarno, bahkan perjalanan ke Jepang untuk kaisar untuk mengekspresikan rasa terima kasih mereka… Selama pendudukan Jepang korps pembantu Indonesia diciptakan untuk Jepang, Peta, di mana Sukarno aktif bekerja sama. Karena ia akan jelaskan nanti untuk meletakkan dasar bagi tentara Indonesia. Juga Sukarno aktif merekrut pekerja romoesja Indonesia di bawah kondisi yang buruk seperti di luar negeri yang bekerja yang tidak puluhan ribu dari mereka (lihat Leeuwarder courant: hoofdblad van Friesland, 22-06-1970).

Mochtar Lubis sendiri adalah pejuang (utamanya di bidang pers). Mochtar Lubis mendirikan surat kabar baru dengan judul besar Indonesia Raya (suatu terminology besar yang dikaitkan dengan lagu Indonesia Raya dan Kongres Indonesia Raya).

Di dalam manajemen maupun di bidang redaksional Indonesia Raya terdapat para pejuang. Salah satu pejuang itu adalah Ali Mochtar Hoetasoehoet, masih muda belia, mantan pimpinan tentara pelajar.

Mochtar Lubis adalah wartawan Indonesia paling serius (meneruskan estafet dari wartawan revolusioner Parada Harahap). Untuk memperkuat kesatuan insan pers, Mochtar Lubis  bersama wartawan yang lainnya mendirikan organisasi wartawan Indonesia yang disebut Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ketua PWI yang pertama adalah Adinegoro, wartawan senior.

Dalam kepengurusan organisasi wartawan yang baru ini (setelah kemerdekaan) Mochtar Lubis duduk sebagai komisaris (bersama Rosihan Anwar). Sebagai ketua, diangkat wartawan senior, Adinegoro (lihat di atas: Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 03-08-1949). Di dalam surat kabar ini juga diberitakan: ‘Mochtar Lubis dan Adam Malik meresmikan kembali pembukaan kantor berita Antara’. Het nieuwsblad voor Sumatra, 19-08-1949: ‘Untuk menandai pembukaan kembali kantor berita republic, Antara di Batavia, hari Rabu, Adam Malik, direktur dan Mochtar Lubis, pemimpin redaksi mengundang kolega dan melakukan receptive di pavillioen Hotel des Indes’.

Pendirian oragnisasi wartawan Indonesia (era republic) adalah kelanjutan dari sarikat wartawan sejak era Belanda. Seperti diutarakan sebelumnya, sarikat wartawan pribumi pertama di didirikan tahun 1918 di Medan oleh Parada Harahap dan kawan-kawan. Kemudian pada tahun 193? Sarikat wartawan didirikan di Jawa dimana penggagasnya adalah Parada Harahap. Juga Parada Harahap menggagas didirikan sarikat surat kabar (kini SPS). Sarikat wartawan (nasional) ini kemudian anamanya menjadi Persatoean Djoernalistik Indonesia (Perdi). Ketika Parada Harahap dan rombongan (termasuk Hatta) melakukan misis ekonomi ke Jepang (1933) beberapa anggota Perdi sempat mengusulkan Parada Harahap dipecat sebagai anggota Perdi. Kemudian jelang berakhirnya kolonialisme Belanda (1938) malah Parada Harahap menjadi Wakil Ketua Perdi. Kevakuman Perdi selama pendudukan Jepang dan agresi militer Belanda, muncul kembali membangkitkan Perdi dengan nama baru PWI.  

Adinegoro adalah anak buah Parada Harahap di surat kabar Bintang Timoer pada tahun 1930. Sejak Kongres PPPKI dan Kongres Pemuda 1928, Parada Harhap sangat sibuk dalam urusan kebangsaan. Pada awal tahun 1930 Adinegoro baru pulang studi pers di Eropa, lalu Adinegoro direkrut Parada Harahap untuk posisi editor (menggantikan Parada Harahap). Namun di akhir tahun 1930 Abdullah Lubis (pimpinan Pewarta Deli) datang ke Jakarta untuk mencari editor baru, karena baru kehilangan dua editor (salah satu kapala editor Mangaradja Ihoetan). Parada Harahap meminta Adinegoro ke Medan untuk membantu Pewarta Deli (Parada Harahap kembali mengisi pos kepala editor Bintang Timoer).

Kepengurusan pertama PWI (jelang pengakuan kedaulatan RI), seperti Adinegoro, Mochtar Lubis, Adam Malik dan Sakti Alamsjah adalah terbilang wartawan-wartawan ‘binaan’ dan sangat dekat dengan Parada Harahap. Kantor berita Antara (1937) yang didirikan oleh Adam Malik dan kawan-kawan adalah kelanjutan dari kantor berita pribumi pertama, Alpena yang didirikan Parada Harahap tahun 1925 (yang mana editornya adalah WR Supratman). Kantor berita Antara tetap diasuh Adam Malik dengan menggandeng Mochtar Lubis. Dalam perkembangannya, Mochtar Lubis kemudian mandiri dengan mendirikan surat kabar Indonesia Raya (nama lagu kebangsaan dan nama kongres tahun 1938). Sakti Alamsjah Siregar mendirikan surat kabar Pikiran Rakyat Bandung. Kedekatan Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah adalah motto kedua surat kabar mereka itu sama: ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat’.

Adam Malik, Mochtar Lubis, Adinegoro (dan Rosihan Anwar) adalah wartawan-wartawan pribumi jempolan. Mereka juga berdedikasi dalam pers Internasional. Oleh karenanya pers Indonesia juga semakin mendunia (internasionalisasi).

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-01-1950: ‘Adam Malik dan Mochtar Lubis, masing-masing direktur dan kepala departemen internasional Antara segera meninggalkan (tanah air) ke beberapa negara di Asia Tenggara seperti Thailand dan Burma untuk mempelajari situasi di sana dan untuk bertukar berita dengan beberapa kantor berita di negara-negara tersebut’.

Mochtar Lubis kini tidak hanya di kantor berita Antara tetapi juga telah menjadi editor di koran Indonesia Raya yang terbit di Jakarta. Ada perbedaan antara editor sebuah kantor berita dengan editor sebuah koran. Mochtar Lubis menjadi Editor koran Indonesia Raya yang berdiri pada tanggal 29 Desember 1949.

Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 22-11-1950: ‘Editor "Indonesia Raya" (Jakarta), Mr. Mochtar Lubis, yang berada di Korea, dalam editorialnya  memberikan kesan sehubungan dengan situasi di Korea’

Kini (1951) giliran anak Padang Sidempoean kembali mendapat apresiasi dari sesama sebangsa. Adalah Mohctar Lubis yang pertama mendapat apresiasi di era kemerdekaan. Oleh karena pers asing nyaris tidak ada lagi, maka yang memberikan sekarang adalah pers nasional. Di masa era Belanda wartawan terbaik adalah Parada Harahap (versi pers asing/Belanda, 1925). Setelah 25 tahun wartawan terbaik muncul kembali, yakni Mochtar Lubis (versi pers nasional Indonesia).

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-02-1951: ‘Pada jamuan makan malam Persatuan Wartawan Indonesia lingkaran Jakarta, sebesar Rp. 1000,  kepada kepala redaksi Indonesia Raya, Mochtar Lubis, diberikan sebagai pengakuan atas artikel berjudul "Kemiskinan di Korea". Penilaian ini atas dasar pendapat para juri, yang terdiri dari Mr. Maria Ulfah Santoso, Sjamsuddin Sutan Makmur dan Mr. Andi Zainal Abidin. Persatuan wartawan menyelenggarakan  PWI-Prijs 1950 untuk tulisan yang terbaik dalam pencapaian jurnalistik pada tahun 1950’.

Mochtar Lubis Menjadi Numero Uno; Parada Harahap Beralih ke Pendidikan Pers

Pasca pengakuan kedaulatan RI, Parada Harahap mulai bergeser dari jurnalistik ke pendidikan pers. Parada Harahap sudah mulai menua dan mulai membatasi diri tentang perjuangan pers. Parada Harahap tidak lagi mau terlibat dalam pers politik. Parada Harahap telah melihat pengganti sosok dirinya (Mochtar Lubis). Parada Harahap kini coba mendidik wartawan sebanyak mungkin melalui pendirian Akademi Wartawan. Meski demikian, Parada Harahap masih terlibat dalam media, kepemilikan Java Bode dan perusahaan percetakan.

De nieuwsgier, 17-01-1953: ‘di Djakarta, penerbitan dan percetakan perusahaan baru yang didirikan dengan nama. Bintang Timur. Modal saham ditetapkan sebesar Rp. 1.000.000.- yang disetor Rp. 500.000.-. Sebagai CEO adalah Mr Parada Harahap, yang saat ini difungsikan di Departemen Pendidikan. Yang menjadi komisaris adalah Mr. MT Hutagalung (Komisaris Utama), serta Mr. JK Panggabean (CEO NV Piola Handelsmaatschappij), Tuan Andjar Asmara dan MT Djody Gondokusumo sebagai anggota komisaris. Perusahaan baru ini akan menerbitkan koran dan majalah non-politik yang obyektif. Sebagai langkah pertama, pada awal Januari isu percobaan majalah Lukisan Dunia yang dikeluarkan yang dimulai, pada Februari akan muncul secara teratur, sekarang sedang mempersiapkan edisi baru koran dengan nama Bintang Timur, yang akan muncul pada Maret atau April. Selanjutnya, NV juga akan menerbitkan The Times of lndonesia. Staf editorial adalah Pak Mochtar Lubis dan Hafner Jr. Semua terbitan akan dicetak di percetakan The Union. Kantor akan berlokasi di gedung Uni’.

Mochtar Lubis telah menggantikan posisi Parada Harahap di bidang pers poltik. Parada Harahap tidak pernah tergantikan sejak 1923. Inilah suksesi insan pers dari Padang Sidempuan. Garis continuum pers pribumi (Indonesia) tidak pernah putus. Pejuang pers pertama adalah Dja Endar Moeda (1897-1918) yang kemudian dilanjutkan oleh Parada Harahap sejak 1918. Sejak Parada Harahap hijrah ke Batavia 1923, pejuang pers berada di pundak Parada Harahap.

Parada Harahap pada usianya yang tidak muda lagi (52 tahun) lalu mendirikan Akademi Wartawan, tanggal 2 Maret 1951, Ali Mochtar Hoetasoehoet mendaftar sebagai mahasiswa untuk meningkatkan kemampuan jurnalistiknya. Ali Mochtar Hoeta Soehoet (AM Hoeta Soehoet) adalah seorang mantan tentara pelajar di Afdeeling Padang Sidempuan (Mandheling en Ankola) pada masa agresi militer Belanda. Ketika Parada Harahap memimpin majalah Detik di Bukittinggi (September 1947) berkesempatan pulang kampong halaman di Padang Sidempuan, merekrut  Ali Mochtar Hoeta Soehoet untuk membantu Detik. Pada masa agresi militer kedua, Padang Sidempuan yang telah diduduki pasukan militer Belanda, Ali Mochtar Hoeta Soehoet pulang kampong untuk turut bergerilya melawan pasukan militer Belanda. Setelah pengakuan kedaulatan RI, Ali Mochtar Hoeta Soehoet hijrah ke Jakarta dan bekerja sebagai wartawan. Ali Mochtar Hoeta Soehoet kemudian menjadi tangan kanan Mochtar Lubis.

Setelah Mochtar Lubis dikenakan sanksi kemudian terjadi peristiwa penting pada tanggal 17 Oktober 1952. Di depan istana terjadi demonstrasi mahasiswa (setelah sebelumnya demonstrasi di halaman parlemen). Anehnya dalam demonstrasi tersebut juga terdapat militer yang mana pada saat itu yang menjadi KASAD adalah AH Nasution. Para petinggi militer menuntut parlemen (sementara) dibubarkan.

Para militer gerah karena campur tangan pemerintah yang sangat jauh dalam urusan teknis militer. Pada saat itu Menteri Pertahanan juga dijabat oleh Perdana Menteri. Menteri Pertahanan juga mengurusi urusan teknis militer (tupoksinya belum dipisahkan). Pemerintahan (kabinet) sendiri juga tergantung kekuatan di parlemen. Partai yang berkuasa adalah pemimpin pemerintahan. Uniknya, yang meredakan ketegangan tersebut, yang turun dari istana adalah Kolonel Zulkifli Lubis [catatan: Beberapa versi yang turun dari istana menyebut Sukarno. Namun itu jauh dari kemungkinan, Sukarno tidak terlalu kuat menghadapi serangan, apalagi serangan mahasiswa dan serangan militer; Zulkifli Lubis memiliki kapabilitas untuk itu, sebagai pimpinan militer dan menguasai intelijen].  

Atas peristiwa itu AH Nasution sebagai KASAD dipecat dari jabatannya dan digantikan oleh Bambang Sugeng. Untuk posisi Wakil KASAD diangkat Kolonel Zulkifli Lubis. Sebagai solidaritas sesama militer yang sama-sama satu visi, Jenderal TB Simatupang mengundurkan diri sebagai Kepala Staf Angkatan Perang  (Panglima) RI. Bambang Sugeng lambat laun tidak nyaman [kelak pertengahan 1955 mengundurkan diri dan digantikan oleh Zulkifli Lubis. Tapi pengangkatan Zulkifli Lubis ditentang ‘lawan-lawan’ politiknya di militer].

Untuk merespon situasi dan kondisi yang mulai tidak kondusdif dalam bernegara, Mochtar Lubis menginisiasi suatu peringatan (memory recall) untuk melihat ke belakang tentang perjuangan Multatuli.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 19-02-1953: ‘Baru-baru ini, atas inisiatif dari Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional (dewan konsultatif untuk budaya nasional) sebuah komisi (herdenkingscomité) didirikan di Jakarta dalam rangka memperingati fakta bahwa 66 tahun yang lalu Multatuli sudah meninggal. Komite yang diketuai oleh Bapak Mochtar Lubis, duduk sebagai komisi, yakni: Mr Joebaar Ajoeb, Armijn Pane, dr. Ir. S.Udin, Pramoedya Ananta Toer, HB Jasin, Achdiat K.Mihardja, Buyung Saleh dan RF Sumarto. Menurut program, kemarin pukul 20.00 dilakukan sebuah upacara peringatan yang akan diadakan di gedung proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56, dengan beberapa kutipan dari novel Multatuli akan dibacakan. Hari ini pukul 21:30-22:00, RRI Jakarta akan menyiarkan hasil reportase dari peringatan tersebut’.

Perayaan ini bersifat simbolis dan mengandung makna yang sangat terkait dengan kedudukan Sukarno saat ini. Multatuli adalah tokoh rekaan tentang diri Edward Douwes Dekker dalam membela penduduk Mandailing dan Angkola (1843). Edward Douwes Dekker kerap diceritakan secara turun temurun di afd. Mandailing dan Ankola (kemudian menjadi afd. Padang Sidempuan). Kakek Mochtar Lubis termasuk yang menjadi korban kekejaman pemerintah colonial Belanda. Setelah kejadian 110 tahun yang lalu, Mochtar Lubis mengangkat tema ini untuk menyentil Sukarno (yang sudah mulai tidak terkontrol).

Sukarno non coöperatief. Dia menolak untuk memasuki pelayanan pemerintah Belanda. Sukarno pernah menjadi seorang guru sejarah dan matematika di sebuah sekolah swasta yang dikelola oleh dr. Setia Buddhi Danoedirdjo (nama dr Indonesia. EFE Douwes Dekker, sepupu Multatuli, diadopsi), sebuah lembaga yang pemerintahan Belanda tidak sangat menyenangkan . Sejak itu, Dia adalah seorang anggota awal Jong Java dan didirikan di Bandung Kelompok Studi Umum pada tahun 1925, di mana ia menjadi presiden. Pada tanggal 4 Juli 1927, Soekarno mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia, yang berganti nama setahun kemudian menjadi Partai Nasional Indonesia. Pada 29 Desember 1929 Soekarno ditangkap. Pada 18 Juni 1930 mulai sidang oleh pengadilan negara di Bandung. Ada sembilan belas sesi dan permohonan Sukarno "Indonesia menuduh" sepotong terkenal, diterbitkan dalam bahasa Indonesia dan Belanda di cetak. Vonis empat tahun penjara (lihat Leeuwarder courant : hoofdblad van Friesland, 22-06-1970).

Namun itu tidak semua cukup buat Mochtar Lubis untuk menyadarkan Sukarno yang sudah mulai keluar dari rel.

Mochtar Lubis Memimpin Demonstrasi untuk Kebebasan Pers

Guru kebebasan pers adalah Parada Harahap. Sebagai guru, Parada Harahap telah menulis buku berjudul Kebebasan Pers. Atas tulisan Mochtar Lubis tahun 1951, Sukarno tampaknya gerah, ketika keinginannya ingin semuanya berjalan mulus. Sukarno adalah orang pers, tidak pernah mengekang pers. Parada Harahap dan Sukarno sejalan tentang kebebasan pers yakni pers bertanggungjawab. Sentilan Mochtar Lubis terhadap Sukarno dengan mengangkat perannya di era pendudukan Jepang boleh jadi Sukarno menganggap itu berlebihan, apalagi Sukarno tengah membangun citra (di dalam maupun di luar negeri). Para pembantu Sukarno (dari pihak kementerian dan militer) menganggap reaksi Sukarno sebagai upaya pengendalian pers. Karena itu, pers melakukan aksi balik.

Pada tanggal 05-08-1953 terjadi demonstrasi kebebasan pers di Jakarta dari kalangan wartawan dan para mahasiswa. Pimpinan demonstrasi dari kalangan mahasiswa adalah Ali Mochtar Hoetasoehoet. Ketua panitia aksi demonstrasi ini adalah Mochtar Lubis.

Kedekatan Ali Mochtar Hoeta Soehoet yang sebelumnya ‘di tangan’ Parada Harahap telah berpindah ‘ke tangan’ Mochtar Lubis. Parada Harahap yang merekrut Ali Moctar Hoetasoehoet dan Mochtar Lubis yang membesarkan Ali Mochtar Hoetasoehoet. Setelah lulus, kemampuan Ali Mochtar Hoetasoehoet semakin meningkat dan mulai bekerja sebagai reporter di harian Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis. Inilah awal karir Ali Mochtar Hoeta Soehoet di bidang jurnalistik hingga menjadi Rektor IISIP Jakarta (yang juga sebagai pendiri IISIP).

Di era Belanda, sesungguhnya pers sangat bebas. Akan tetapi pers yang melanggar akan dituntut dengan dalih delik pers, Sang penguasa memanipulasi undang-undang yang ada untuk membungkam seorang wartawan maupun medianya. Wartawan yang paling banyak terkena jaring delik pers ini adalah Parada Harahap, lebih dari seratus kali dipanggil ke meja hijau dan belasan kali dijebloskan ke penjara. Rupanya di era kemerdekaan ini, kebebasa pers juga mulai diganggu oleh pemerintah. Dalih pemerintah adalah melindungi hak-hak azasi manusia. Lantas para jurnalistik bereaksi dan melakukan demonstrasi.

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 06-08-1953: ‘Para wartawan memprotes, soal kebebasan pers dan perlindungan hak asasi manusia. Pada demonstrasi, seperti yang sudah dilaporkan kemarin, wartawan Indonesia yang diadakan dalam aksi mereka untuk perlindungan sumber berita. Dalam demo ini yang berpartisipasi dalam PWI adalah reporter, klub, SPS dan organisasi mahasiswa akademi untuk jurnalisme. Ketua panitia aksi demonstrasi adalah  Mochtar Lubis. Dalam dialog dengan pemerintah saat demo ini, Mochtar Lubis kemudian mengucapkan terima kasih kepada Jaksa Agung yang telah mendengar aspirasi mereka’. Foto: Mochtar Lubis memimpin demo untuk Kebebasan Pers.

Parada Harahap: Diantara Sukarno dan Mochtar Lubis

Pada waktu itu, organisasi kepemudaan mulai kendor dan tidak begitu penting lagi. Yang menonjol adalah organisasi mahasiswa. Artinya karakter kepemudaan telah bergeser dari perjuangan melawan penjajah ke perjuangan hak-hak azasi manusia. Salah satu organisasi mahasiswa yang cukup kuat adalah HMI (sedangkan PMUI sudah lama tidak terdengar).

HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) didirikan oleh Lafran Pane (adik Sanusi Pane) di Jogjakarta pada bulan Januari 1947. Pada bulan November 1947 Ida Nasution dan G. Harahap mendirikan PMUI (Perstuan Mahasiswa Universiteit Indonesia). HMI berada di luar kampus dan PMUI berada di dalam kampus yang meliputi mahasiswa-mahasiswa di bawah Universiteit Indonesia di Jakarta (menjadi UI), Bogor (menjadi IPB), Bandung (menjadi ITB), Surabaya (menjadi Unair) dan Makassar (menjadi Unhas). Namun pada bulan Maret 1948 Ida Nasution menghilang selamanya diduga keras dibunuh intelijen/militer Belanda. Sejak itu, organisasi mahasiswa di dalam kampus menghilang, tetapi HMI tetap eksis.

Dengan situasi dan kondisi yang ada Parada Harahap mulai ambil bagian. Parada Harahap melihat Sukarno mulai diusik dari kiri dan kanan, tidak hanya politisi, militer tetapi juga mahasiswa. Lantas Parada Harahap mulai mengkonsolidasi mahasiswa untuk bersatu kembali, berjuang kembali agar NKRI tidak bubar dan tetap menjaga agar kehidupan mahasiswa kondusif untuk belajar dan kebebasan pers yang bertanggungjawab terwujud.

Parada Harahap dulu berada di belakang Kongres Pemuda tahun 1928. Kini Parada Harahap berada di belakang rencana Kongres Pemuda tahun 1953. Saat ini Parada Harahap adalah Direktur Akademi Wartawan Indonesia. Parada Harahap juga adalah Ketua Kopertis (Koordinator Perguruan Tinggi Swasta). Parada Harahap juga adalah pemilik surat kabar Bintang Timoer (yang terbit kembali) dan juga pemilik surat kabar berbahasa Belanda Java Bode. Parada Harahap, mentor politik Sukarno dan Hatta di masa muda, sejauh ini hubungannya masih baik-baik saja.

Hari Sumpah Pemuda, Para Pemuda Indonesia Memperbarui Kesetiaan

Komite Eksekutif dari Front Pemuda Indonesia akan melakukan kongres di Jakarta pada malam tanggal 27 Oktober 1953 dan dalam kongres ini akan mengambil keputusan. Dalam kongres ini para pemuda akan melakukan sumpah kesetiaan dan memutuskan untuk melakukan peringatan Hari Sumpah Pemuda pada esok harinya tanggal 28 Oktober 1953.

De nieuwsgier, 21-10-1953
De nieuwsgier, 21-10-1953 Pemuda Indonesia memperbaharui kesetiaan. Thé pertemuan komite eksekutif Front, Pemuda Indonefia membuat keputusan untuk memesan Mai. bertemu untuk menjaga orang-orang muda di Jakarta pada malam tanggal 27 Oktober sebagai Kata pertemuan akan perwakilan dari semua organisasi pemuda menghadiri di ibukota dan bertujuan ulang tahun 25 th lagu kebangsaan Indonesia, Indonesia Raya dan yang hari sumpah pemuda, untuk memperingati hari pemuda Indonesia bersumpah kesetiaan kepada bangsa dan tanah air. Dalam pertemuan tersebut, sumpah setia, keputusan diambil pada kongres pemuda di Jakarta pada 27 Oktober 1928, diperpanjang sumpah pemuda ini mengakui: satu tanah air: negara Indonesia, satu orang, bangsa Indonesia dan satu bahasa: bahasa indonesia. [Dalam berita ini juga; Dalam RRlstudio Jakarta akan mengatur program khusus sebagai bagian dari peringatan Hari Sumpah Femuda]’.

Isi Sumpah Pemuda diambil dari Putusan Kongres Pemuda 1928. Peringatan Hari Sumpah Pemuda dilakukan di stadion IKADA, Dua agenda adalah Upacara Perayaan Memuliakan Lagu Indonesia Raya Berusia 25 Tahun dan 25 Tahun Sumpah Pemuda (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-10-1953). Sejak tanggal 28 Oktober 1953 peringatan Hari Sumpah Pemuda dilakukan (tiap tahun).

Pada masa ini yang muncul sebagai perdebatan adalah seakan bahwa kata Sumpah Pemuda sudah muncul pada tahun 1928 (dianggap manipulasi) udul teks Putusan Kongres menjadi judul teks Sumpah Pemuda. Memang kenyataannya, judul teks 1953 dibuat menjadi Sumpah Pemuda. Artinya, Putusan Kongres (1928) diperbarui menjadi Sumpah Pemuda (1953). Dengan kata lain, Kongres Pemuda tahun 1928 dan Kongres Pemuda 1953 adalah dua hal yang berbeda. Kongres Pemuda 1928 memberi judul Putusan Kongres, sedangkan Kongres Pemuda 1953 mengubah judul menjadi Sumpah Pemuda. Hal tersebut berarti semangat isi Putusan Kongres 1928 diperbarui dengan mengganti judul dengan Sumpah Pemuda. Sedangkan isinya tidak berubah, yakni: Pertama: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. Kedoea: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA. Ketiga: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA.

Hal lain yang muncul pada masa ini seakan Presiden Sukarno turut campur dalam Kongres Pemuda. Padahal, kenyataannya, baik pada Kongres Pemuda 1928 maupun Kongres Pemuda 1953 Sukarno tidak terkait dan bahkan tidak ikut hadir. Pada Kongres Pemuda 1928, seharusnya yang hadir Hatta (karena kesibukan kuliah di Belanda) tetapi harus mengutus Ali Sastroamidjojo ke Kongres Pemuda 1928. Sukarno justru hadir dalam Kongres PPPKI (dan ikut berpidato). Sebagaimana diketahui kegiatan kongres yang dilakukan pada waktu yang bersamaan terdapat tiga kongres: Kongres PPPKI, Kongres Pemuda dan Kongres Perempuan. Pada Kongres Pemuda 1953 juga tidak terdeteksi Presiden Sukarno turut campur. Lantas siapa tokoh yang berperan di balik Kongres Pemuda 1953. Tokoh yang berperan itu adalah Parada Harahap.

Sejak Kongres Pemuda 1953, dan sejak dilakukan Peringatan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1953 pemerintah mensosialisasikannya baik presiden sendiri (Presiden Sukarno), Wakil Presiden (M. Hatta) maupun para menteri-menterinya. Sosialisasi yang mengadopsi keputusan Kongres Pemuda 1953 (memperbarui kesetiaan dengan sumpah pemuda) ini bahkan berubah seakan menjadi kampanye Sumpah Pemuda dalam meredakan berbagai kisruh yang muncul. Hal ini karena penataan negeri (pasca poengakuan kedaulatan RI) yang baru seumur jagung sudah ada perbedaan-perbedaan opini di antara para pemimpin, munculnya ketegangan baru seperti pemberontakan (Jawa Barat, Atjeh dan Sulawesi Selatan), meningkatnya tekanan pers (karena ada indikasi korupsi) terutama dari Mochtar Lubis dan kawan-kawan.

Di Jakarta, Presiden Sukarno mangadopsi hasil Kongres Pemuda 1953 dan mengaitkannya setiap ada kesempatan berpidato. Kesetiaan pemuda dalam wujud Sumpah Pemuda adalah semacam amunis baru bagi Sukarno ketika dirinya sudah mulai ditekan dari kiri kanan (parlemen, militer dan mahasiswa serta pemda)

Ali Mochtar Hoeta Soehoet yang menjadi pentolan demonstrasi kebebasan pers (bersama Mochtar Lubis) dan menjadi panitia Hari Sumpah Pemuda kemudian di kampusnya berinisitif mendirikan organisasi mahasiswa. Pada tanggal 5 Desember 1953, Ali Mochtar Hoeta Soehoet menjadi Ketua Perhimpunan Mahasiswa di kampusnya yang berlokasi di Decapark, Jakarta.

Di Jambi, Wakil Presiden M. Hatta menghimbau agar pemuda menjaga persatuan dan kesetiaan kepada Sumpah Pemuda.

De vrije pers: ochtendbulletin, 23-04-1954: ‘Hatta: persatuan di kalangan pemuda meskipun perbedaan pendapat di kalangan orang tua… dari Jambi, Wakil Presiden Moh. Hatta diadakan pidato untuk semua siswa sekolah lanjutan di teater Murai…menjaga pemuda disarankan rasa taruhan persatuan dan kesetiaan kepada "Sumpah Pemuda". "Wapres memberikan gambaran dari onderwas di Indonesia, dan mengatakan bahwa sekarang banyak ajaran. …Kemudian Wakil presiden, ada digunakan pepatah Belanda mengatakan: Mdluku adalah masa lalu, Java sekarang dan masa depan Sumatera, yang berarti, menurut vice.president…bahwa Java sekarang banyak sekolah..Sumatera masih memiliki kekurangan ahli yang oleh karena itu harus datang dari gundukan Djambl. Presiden memutuskan untuk mengatakan pidatonya bahwa rasa persatuan harus dipertahankan. Pemuda kita juga harus melakukan banyak olahraga, karena dalam tubuh yang sehat adalah jiwa sehat

Di Padang Ketua Badan Pertimbangan Kebudajaan, Mangunsarkoro memberikan kuliah di Auditorium Sekolah Tinggi Hukum. Isi cermahnya tentang kesetiaan pemuda.

De vrije pers : ochtendbulletin, 07-05-1954: ‘Indonesia merupakan pusat budaya bangsa terletak di tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Di Auditorium Sekolah Tinggi Hukum di kuliah Padang diadakan oleh Ketua Badan Pertimbangan Kebudajaan untuk siswa dan S. Mangunsarkoro, presiden Dewan Kebudayaan, memberikan kuliah…kita harus menunjukkan bahwa kita  memiliki budaya yang kuat .. Sumpah Pemuda (Sumpah Pemuda adalah kehormatan satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Hubungan antara budaya daerah dengan budaya natiorale ditentukan oleh semangat budaya… Namun, jika budaya nasional oleh semangat nasional, dan menyebar ke seluruh Indoresia….’

Di Medan, Menteri Pendidikan M. Yamin (dalam kongres Bahasa) mensosialisasikan hasil Kongres Pemuda 19523.

Sosialisasi dan kampanye Sumpah Pemuda yang dilakukan oleh Sukarno, M. Hatta dan M. Yamin adalah untuk kepentingan pemerintahan mereka sendiri yang tengah banyak gangguan. Sedangkan Sedangkan Sumpah Pemuda itu sendiri adalah produk pemikiran dari tokoh-tokoh lain yang bukan pejabat pemerintah tetapi sangat peduli terhadap kesatuan dan persatuan. Mereka adalah Parada Harahap dan AM Hutasuhut.

Mochtar Lubis sudah dikawal Parada Harahap dan M. Yamin. Pada saat itu Menteri Pendidikan dijabat M. Yamin, tokoh pemuda 1928 yang menyusun konsep Putusan Kongres 1928. M. Yamin sendiri adalah wakil Parada Harahap dari Sumatranen Bond di Kongres Pemuda 1928.

De nieuwsgier, 21-05-1954: ‘Jenewa, 19 Mei (Reuters). Tiga editor surat kabar Indonesia: BM Diah (Merdeka), Tasrif (Abadi) dan Mochtar Lubis (Indonesia Raya), didampingi dua pejabat dari kementerian pendidikan tiba Selasa di Jenewa. Mereka mengambil bagian dalam konferensi International Press Institute di Wina dan akan tetap selama beberapa hari di Jenewa sehubungan dengan akan diadakannya konferensi. Mereka akan ke Korea sebelum kembali ke Jakarta’.

Parada Harahap sendiri selain di media sudah difungsikan oleh juniornya M. Yamin di Kementerian Pendidikan sebagai penasehat. Saat itu, Parada Harahap tidak hanya pemilik media, juga pemilik Akademi Wartawan dan Ketua Kopertis.

De nieuwsgier, 17-01-1953: ‘di Djakarta, penerbitan dan percetakan perusahaan baru yang didirikan dengan nama. Bintang Timur. Modal saham ditetapkan sebesar Rp. 1.000.000.- yang disetor Rp. 500.000.-. Sebagai CEO adalah Mr Parada Harahap, yang saat ini difungsikan di Departemen Pendidikan. Yang menjadi komisaris adalah Mr. MT Hutagalung (Komisaris Utama), serta Mr. JK Panggabean (CEO NV Piola Handelsmaatschappij), Tuan Andjar Asmara dan MT Djody Gondokusumo sebagai anggota komisaris. Perusahaan baru ini akan menerbitkan koran dan majalah non-politik yang obyektif.

Parada Harahap dengan sendirinya telah menjadi negarawan. Setelah berjuang dalam kebangkitan bangsa, kemudian meraih kemerdekaan lalu mempertahankan kemerdekaan serta tetap menjaga kesatuan dan persatuan. Riak-riak politik, perseteruan antar para pemimpin politik, antara pemerintah dengan pers dan antara pusat dan daerah dalam disintegrasi bangsa, Parada Harahap memformulasikan kembali semangat pemuda ke dalam kesetiaan pemuda yang diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda.

Untuk kali kedua, Parada Harahap di saat yang tepat berada pada posisi portofolio tertinggi untuk menyatukan pemimpin bangsa (senior maupun junior). Pada saat Kongres Pemuda 1953, Parada Harahap adalah pemimpin media, penulis buku Kebebasan Pers, pemilik Akdemi Wartawan, Ketua Kopertis dan Penasehat Menteri Pendidikan. Sedangkan pada Kongres Pemuda 1928 Parada Harahap adalah pemilik portofolio tertinggi. Pemimpin media, sekretaris Sumatrnanen Bond, Ketua Kadin pribumi Batavia. Hanya Parada Harahap yang kapabel untuk penyelenggaraan dua Kongres Pemuda tersebut.

Bersambung:
Simpang Siur ‘Sumpah Pemuda’, Ini Faktanya (4): Analisis yang Keliru dan Hasil Analisis yang Seharusnya; Sukarno dan Hatta Menghormati Parada Harahap


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap dari berbagai sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: