Jumat, November 04, 2016

Sejarah Kota Medan (43): Nama Jalan di Kota Medan; Nama Belanda dan Tionghoa Dihilangkan dan Kini Diperebutkan


*Sejarah Kota Medan artikel 1-56 Klik di Sini. (Artikel 57 selanjutnya Klik di Sana)
.
Tidak ada lagi nama jalan di era Belanda yang masih eksis hingga ini hari di Kota Medan. Semua telah berganti. Nama-nama Belanda telah diganti, nama-nama Tionghoa juga telah digeser bahkan nama-nama yang terkait kesultanan juga telah diubah. Yang ada sekarang umumnya nama-nama pahlawan. Pahlawan lokal diantaranya Abdullah Lubis (editor Pewarta Deli, anggota dewan kota Medan, salah satu pribumi pertama ke Jepang), Madong Lubis (guru, anggota dewan kota, senior ahli bahasa), Muhamad Nawi Harahap (dewan kota Medan, ketua front nasional di Sibolga pada masa agresi militer Belanda), Arif Lubis editor revolusioner di Sibolga, editor Mimbar Umum di Medan) dan lainnya. Pahlawan nasional seperti Sisingamangaraja (pemimpin perang Batak), Zainul Arifin Pohan (komandan Hisbullah di Jawa), Adam Malik Batubara (menteri luar negeri RI, wakil presiden), Abdul Haris Nasution (KASAD RI, Jenderal Besar RI), Masdulhak Nasution (Residen pertama Sumatra Tengah, tokoh pertama RI yang ditangkap di Jogjakarta pada agresi Militer Belanda dan ditembak mati) dan lainnya.
Buka jalan baru di Medan, 1879
Kota Medan adalah sebuah kota metropolitan yang secara dejure pembangunannya dimulai ketika dibentuk onderfadeeling (kecamatan) Medan dengan menempatkan seorang controleur di kampong Medan pada tahun 1875. Sejak itu pembangunan di Medan tidak pernah berhenti hingga ini hari bagaikan deret ukur yang menjadikan kampong Medan terus tumbuh dan berkembang yang kini menjadi salah satu kota metropolitan di Indonesia. Kota Medan di awal pembangunannya sudah menjadi kota melting pot, para contributor orang-orang Eropa/Belanda, Tionghoa, Kling, keluarga kesultanan dan orang-orang Padang Sidempuan. Diantara ras/etnik di Kota Medan, hanya orang-orang Padang Sidempuan (sudah bermigrasi sejak 1883) yang tergolong berpendidikan dan bergelut di bidang pendidikan (guru), kesehatan (dokter), media (jurnalis), justitie (jaksa dan mantra polisi), dakwah (ulama) dan tentu saja di bidang niaga (pengusaha) dan bisnis (krani). Namun anehnya, hingga tahun 1928 tak satu pun nama-nama yang terkait dengan Padang Sidempuan yang ditabalkan sebagai nama jalan di Kota Medan. Nama-nama yang ditabalkan adalah nama-nama yang terkait dengan Eropa/Belanda, Tionghoa, Kling dan kesultanan. Di luar itu ada beberapa nama yang terkait dengan Pulau Jawa (gunung Sindoro, gunung Salak) dan nama-nama daerah (Bangka, Madura, Seram, Ambon dan lainnya). Tanpa mengurangi rasa hormat, nama Kartini ditabalkan sebagai nama jalan tetapi tidak ada nama Willem Iskander (guru, pribumi pertama studi ke Belanda, 1857). Nama gunung Lubuk Raya dan gunung Sorik Marapi di afdeeling Padang Sidempuan tidak kalah penting (sumber produksi kopi terbaik di pasar dunia) dari nama gunung yang lain. Nama daerah Sipirok, tidak hanya sumber kopi terbaik juga simbol adanya toleransi beragama yang dijadikan para misionaris sebagai tempat/kantor pengembangan misi di Bataklanden. Di afdeeling Padang Sidempuan, banyak yang layak, tapi tidak satu pun yang ditabalkan sebagai nama jalan di Medan. Singkat kata: ada diskriminasi.

Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah ko
Baru setelah kemerdakaan, khusunya pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, nama-nama yang terkait dengan afdeeling Padang Sidempuan ditabalkan sebagai nama jalan di Medan, seperti gunung Lubuk Raya, gunung Sorik Marapi dan Willem Iskander. Ironisnya, pada masa kini, di Medan seakan terjadi perebutan nama jalan. Banyak nama jalan, baik yang lama maupun yang baru yang kapabilitasnya tidak lebih baik jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya, seperti Sjech Ibrahim, Dr. Djabangoen, Radja Goenoeng, Parada Harahap, Dr. Gindo Siregar, Sutan Parlindoengan, Abdul Abbas, SM Amin Nasution dan sebagainya. Bagaimana itu semua terjadi mari kita lacak!

Era Awal Kota Medan: Nama Jalan Sesuai Situs Setempat

Secara teknis lanskap Kota Medan mulai dibangun tahun 1881. Ini terkait pindahnya ibukota afdeeling Deli dari Laboehan (di onderafd. Laboehan) ke Medan (onderafd. Medan) tahun 1879. Pindahnya ibukota, berarti Kantor Asisten Residen Deli juga pindah dari Laboehan ke Medan. Pada tahun 1881 Esplanade (kini Lapangan Merdeka) dibangun sebagai alun-alun kota. Dari alun-alun kota inilah Kota Medan berkembang ke segala arah. Dari alun-alun kota ini pula arah sejumlah jalan yang baru diproyeksikan.

Alun-alun kota (Esplanade) di Medan (1881)
Saat Medan sebelum menjadi ibukota onderafdeeling (kecamatan) Medan tahun 1875 hanya ada dua jalan yang terpetakan (Peta 1973). Jalan tersebut adalah jalan poros dan jalan Deli Mij. Jalan poros adalah jalan yang dimulai dari Labuhan, Poelo Brajan, Medan, Kesawan hingga Soeka Radja. Sementara jalan Deli Mij adalah jalan yang memotong jalan poros mulai dari kantor Deli Mij (dekat sungai Deli) menuju ke timur menuju kebun-kebun tembakau Deli Mij. Di sudut dua jalan inilah Esplanade dibangun.

Beberapa bangunan sebelum Esplanade dibangun, parallel dengan pembangunan rel kereta api, sejumlah bangunan sudah dibangun seperti kantor pos, gedung societeit, bangunan pemerintah dan bangunan kantor perusahaan-perusahan perkebunan (maschappij).

Dalam tempo singkat, setelah Esplanade dibangun sejumlah jalan telah dibangun dan beberapa jalan yang lain sudah diproyeksikan. Ini sehubungan dengan kota Medan ditingkatkan menjadi ibukota Residentie Sumatra’s Oostkust dari Bengkalis. Ibukota pindah tanggal 1 Maret 1887.

Nama-nama jalan di Medan (Peta 1895)
Dalam Peta 1895 jalan-jalan yang dimaksud sudah terpetakan dan beberapa jalan namanya sudah disebutkan. Penyebutan jalan terdiri dari dua kategori: straat dan weg. Sebutan straat mengindikasikan jalan yang yang sudah ramai yang dikedua sisi jalan bangunan sudah banyak, sedangkan weg mengindikasikan jalan yang masih sepi dan disana sini kedua sisi jalan masih banyak yang kosong. Karena kegunaannnya, kualitas jalan straat lebih baik dari jalan weg.

Penamaan jalan pada waktu itu baik kategori straat maupun kategori weg sesuai dengan identitas yang terkenal di sepanjang jalan terebut. Misalnya Deli straat karena kantor Deli Mij berada, Spoor straat (menuju rel kereta api), Kerk straat (lokasi gereja), Patersburg (kantor Patersburg Mij). Demikian juga penamaan jalan Societeit weg karena terdapat gedung Societeit, Stations weg (ada stasion), Hotel weg (ada Medan Hotel), Hattanbeach (toko pusat perdagangan Hattanbach).

Era Ibukota Medan: Nama-Nama Jalan Berdasarkan Warna Politik

Jalan Cremer (kini jalan Balai Kota), 1900
Sepuluh tahun kemudian, berdasarkan Peta 1906 jumlah jalan di Kota Medan sudah semakin bertambah. Anehnya, terminologi sebutan jalan berubah dari straat/weg menjadi djalan (Dj). Hal serupa ini juga ditemukandi Batavia. Beberapa nama jalan (lama) telah berganti nama menjadi nama baru, seperti Deli Straat menjadi Djalan Serdang dan Societeit weg menjadi Djalan Roema Bola. Nama-nama jalan yang masih eksis dan  tetap dipertahnkan seperti Huttenbach weg (Djalan Huttenbach) dan  Kerk straat (Djalan Geredja).

Nama-nama jalan baru juga mulai terpetakan, seperti Djalan Soekamoelia dan Djalan Astana (depan Istana Sultan yang baru). Beberapa nama jalan baru sedikit agak membingungkan, mungkin karena kurangnya informasi, seperti Djalan Djawa, Djalan Kling dan sebagainya. Selain sebutan djalan juga muncul sebutan gang (jalan yang lebih sempit), seperti Gang Mantri. Disamping itu, penyebutan nama jalan sebagai straat/weg masih ditemukan, seperti Resident weg. Beberapa nama jalan yang disebut sebelumnya tidak disebut lagi seperti Hotel weg.

Jalan Medan Hotel/Nienhuys (kini jalan Kesenian), 1910
Setelah beberapa tahun kota Medan dianggap telah mampu melakukan pengelolaan sendiri (gemeeteraad) maka pada tahun 1909 status Kota Medan diubah menjadi otonom. Berdasarkan Staatsblad No. 180 tahun 1909, pada tanggal 1 April 1909 di Medan dibentuk Gemeenteraad. Ini berarti Kota Medan mulai babak baru dalam suatu pengelolaan kota, dimana dalam hal ini pemerintah akan diawasi oleh suatu dewan (Gemeenteraad). Pemerintah kota pada masa itu adalah Asisten Residen, E.G.Th. Maier. Anggota Gemeenteraad terdiri dari berbagai fungsi. Dibentuknya Gemeenteraad dimaksudkan untuk melakukan tugas-tugas pemerintahan agar lebih efektif di Medan dengan semakin kompleksnya permasalahan kota.

Yang duduk di dewan kota Medan adalah salah satu dari dua pribumi yakni pangeran Deli plus Tjong A Fie (Kapten komunitas Tionghoa). Selebihnya adalah orang-orang Belanda dari kalangan pejabat dan Deli Mij, Deli Spoor serta lainnya. Kedua dewan ini secara resmi diangkat sejak 1 April 1909.

Nama-nama jalan di Medan (Peta 1915)
Pada tahun 1915 Residentie Sumatra’s Oostkust mengalami reorganisasi dimana afdeeling-afdeeling Atjeh dimasukkan ke Residentie Atjeh seperti afd. Tamiang, sementara afdeeling-afdeeling Batak dikukuhkan masuk menjadi Residentie Sumatra’s Oostkust atas dasar kesatuan ekonomi perkebunan. Pada tahun dimana reorganisasi ini status Residentie Sumatra’s Oostkust ditingkatkan menjadi province (yang dikepalai oleh seorang Gubernur). Ini berarti pada tahun 1915 Kota Medan menjadi ibukota Province Sumatra’s Ooskust.

Berdasarkan Peta 1915 jalan-jalan baru semakin banyak, nama masing-masing jalan juga semakin beragam. Nama yang cukup dominan adalah nama-nama keluarga atau terkait dengan Kerajaan Belanda, seperti Wilhelmina straat, Oranje Nassau straat, Prins Hendrik straatm, Willem straat, Emma straat dan sebagainya. Nama yang cukup dominan juga terkait dengan Tionghoa seperti Hokkian weg, Hongkong weg,  Kapiteint weg, Tjong Jong Hian straat, Tapekong straat. Nama-nama yang dapat dibedakan adalah nama daerah, nama mantan pejabat Belanda, nama terkait kesultanan dan sebagainya.

Peta Kota Medan (1945)
Setelah tiga puluh tahun kemudian (Peta 1945) nama-nama jalan, tidak hanya bertambah banyak, tetapi juga ada namanya yang berubah. Nama-nama yang sudah terpetakan pada tahun 1915 cukup banyak yang tetap eksis hingga tahun 1945. Tentu saja muncul nama baru. Penamaan jalan di Kota Medan pada peta tahun 1945 dapat dikelompokkan sebagai berikut: Kerajaan, Kantor/Swasta, Militer/pemerintah, Tionghoa, Kling, Jepang,  tokoh/nama, terkait Kesultanan, daerah, lokal, flora/fauna, alam dan lainnya.

Nama tokoh diantaranya Daendles (Gubernur Jenderal saat pembangunan jalan dari Anyer ke Panarukan dan Idenburg (tokoh politik). Nama tokoh fiksi karya Edward Doewes Dekker (mantan controleur di Natal) dalam bukunya Max Havelaar dimana tokohnya Adinda, Saidjah dan Badoer. Tokoh Kartini juga masuk dalam deretan nama tokoh. Tokoh lainnya adalah selain Cramer juga Nienhuys. Nama jalan Hotel diganti menjadi Jalan Nienhuys.

Nama-nama jalan terkait Tionghoa dan Kling relatif tidak banyak berubah dari tahun 1915 hingga tahun 1945, kecuali ada penambahan seperti Tjong A Fie. Nama-nama flora muncul dan juga nama gunung. Gunung Sindoro dan Gunung Salak termasuk nama yang disebut eksis sejak tahun 1915. Nama daerah semakin bertambah, selain nama-nama lama. Nama daerah yang baru antara lain, Celebes, Biliton, Lombok dan Ambon. Nama asing yang muncul kemudian adalah Manila. Sulit dipahami asal nama ini karena satu-satunya yang berasal dari Asia Tenggara, Namun boleh jadi karena nama ini muncul karena sekitar tahun 1900 terdapat band terkenal di Medan yang disebut Manila Band.

Era Kemerdekaan

Praktis hingga berakhirnya Belanda di Indonesia, hanya keluarga kesultanan Deli dan tokoh emansipasi Kartini yang ditabalkan namanya menjadi nama jalan di Medan. Nama-nama keluarga kesultanan yang ditabalkan adalah Sultan Mahmoed, Soesman, Tamiroe dan Ottoman. Nama-nama tokoh pribumi tidak satu pun yang ditabalkan, padahal di era Belanda cukup banyak nama-nama yang berdedikasi terutama di bidang pendidikan seperti Willem Iskander, Sutan Parlindoengan, Dja Endar Moeda, Radja Goenoeng. Namun dari sudut pandang pemerintah Belanda di Medan boleh jadi dianggap sebagai orang-orang yang berhasil yang dapat menginspirasi banyak orang untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda.

Pada masa pendudukan Jepang yang singkat, sudah barang tentu Jepang tidak terlalu peduli soal nama jalan. Pemerintahan militer Jepang masih sangat sibuk dengan dirinya. Pendudukan Jepang di Indonesia hanya dianggap sebagai satu kaki dalam konsep imperium Asia. Oleh karenanya peta kota tidak tersedia dan tidak ada informasi mengenai nama jalan, apakah tetap menggunakan nama jalan yang ada (lama) atau telah mengubahnya dengan nama lain. Kepedulian nama jalan, sebagaimana juga di Kota Medan baru muncul lagi di era kemerdekaan, khususnya setelah pasca perang dan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda.

Sebagaimana diketahui, pemerintahan di Indonesia baru mulai berjalan normal setelah pengakuan kedaulatan Indonesia yang dimulai dengan pemerintahan RIS. Sebagaimana di kota-kota lain seperti di Djakarta, Bandoeng dan Soerabaja, juga di kota Medan mulai nama jalan ditata sesuai semangat Indonesia (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 06-06-1950). Nama-nama Belanda diubah dengan nama-nama Indonesia. Komite pengubahan nama jalan terdiri dari tujuh orang yang diketuai oleh Mr. Mahadi. Komite ini telah bekerja sealam tiga seteangah bulan. Daftar ini antara lain Kerkstraat menjadi Jalan Gereja, Paleisstraat menjadi Jalan Istana dan Societeitsweg menjadi Jalan Rumah Bola. Setelah dibubarkannya Negara Sumatra Timur dan RIS revisi beberapa nama jalan dilakukan

Nama-nama jalan di Kota Medan terpetakan baru diketahui paling tidak pada publikasi Peta Kota Medan tahun 1961. Dalam peta ini nama Esplanade tidak muncul lagi, telah berubah menjadi Lapangan Merdeka. Nama-nama jalan di sekitar Lapangan Merdeka ini yang berbau asing (Eropa/Belanda) telah diganti dengan yang berbau Indonesia. Jalan Cremer dipecah menjadi jalan Balaikota dan jalan Putri Hijau; Jalan Nienhuys menjadi jalan Kesenian, jalan Demmeni menjadi jalan Raden Saleh, jalan Societeit menjadi jalan Roemah Bola, jalan Hattenbach menjadi jalan Kebudayaan, Jalan Station menjadi jalan Stasion dan jalan Spoor menjadi jalan Kereta Api.

Peta Kota Medan, 1961
Masih di seputar Esplanade/Lapangan Merdeka, jalan Deli Mij dan jalan Serdang digabung menjadi jalan Serdang. Nama-nama daerah, seperti jalan Serdang tetap dipertahankan seperti jalan Jawa, jalan Madura, jalan Bali, jalan Timor, jalan Riau, jalan Bangka, jalan Sei Kera, jalan Seram dan lainnya. Di antara nama-nama jalan yang mengambil nama daerah ini terdapat nama baru yakni jalan Irian Barat (sebelumnya jalan Kwanten). Selain itu nama-nama kampong juga tetap dipertahankan seperti jalan Kesawan.

Nama-nama yang terkait Kerajaan Belanda sudah barang tentu diubah. Wilhelmina straat dipecah dan namanya diubah menjadi jalan Sutomo dan jalan Karimun. Prons Hendrik straat menjadi jalan Bintang, Juliana straat menjadi jalan Asia, Louise straat menjadi jalan Gandhi, Emma straat menjadi jalan Jose Rizal, Frederik Hendrik straat menjadi jalan Tilax, Mauri straat menjadi jalan Peladju, Adolf straat menjadi jalan China Town, Amalia straat menjadi jalan Sun Yat Sen.

Di kawasan Pecinan, nama-nama jalan juga diubah. Nama-nama Tionghoa seperti jalan Tapekong menjadi jalan Suwarna. Nama yang sebelumnya jalan Markt menjadi jalan Perdagangan.dan jalan Kerk menjadi jalan Gereja (alih bahasa saja), jalan Tjong A Fie menjadi jalan Tjakrawati, jalan Peking menjadi jalan Palangkaraya, jalan Luitenant menjadi jalan Bandung, jalan Tjong Jong Hian menjadi jalan Bogor, jalan Kapitent menjadi jalan Pandu, jalan Hong Kong menjadi jalan Cirebon, jalan Hakka menjadi jalan Nusantara, jalan Canton menjadi jalan Surabaya, jalan Shang Hai menjadi jalan Surakarta dan sebagainya.

Di kawasan Kling, jalan Calcutta diubah menjadi jalan Palang Merah, jalan Madras menjadi jalan Djenggala, jalan Negapatam menjadi jalan Kediri, jalan Ceylon menjadi jalan Muaratakus, jalan Colombo menjadi jalan Taruna, jalan Bomba menjadi jalan Pagaruyung. Masih di kawasan Kling, jalan Kroesen menjadi jalan Teuku Umar, jalan Poedpad menjadi jalan Candi Biara, jalan Ballot menjadi jalan Tumapel, jalan Rahder menjadi jalan Airlangga, jalan van der Plaas menjadi jalan Kalingga dan Park straat menjadi jalan Kebun Bunga. Jalan Hindu tetap dipertahankan. Moskee straat hanya diterjemahkan saja menjadi jalan Masjid.

Nama-nama yang terkait kesultanan juga diubah. Sultans weg menjadi jalan Slamet Riyadi, jalan Radja menjadi jalan Sisingamangaradja, Soesman weg menjadi jalan Lubuk Raya, Tamiroe weg menjadi jalan Martimbang, Ottoman weg menjadi jalan Singgalang, Sultans weg menjadi jalan Masjid Raya, S. Mahmoed weg menjadi jalan Sorik Marapi. Untuk jalan Mahkamah tetap dipertahankan tetapi Paleis weg diganti menjadi jalan Pemuda.

Tokoh-tokoh nasional muncul. Saat itu baru beberapa yang dikategorikan sebagai pahlawan nasional, seperti Sisingamangaradja, Teuku Umar, Tjokro Aminoto, Sudirman, Imam Bondjol dan sebagainya. Tokoh-tokoh nasional yang sudah meninggal seperti Slamet Ryadi, Sutomo, A. Rivai, Tjut Nya’ Dien. Amir Hamzah, A. Dahlan, Chairil Anwar, Madong Lubis, Saman Hudi, Suryo, Tjipto, Masdulhak. Juga tokoh-tokoh masa lampau seperti Hayam Wuruk, Gajah Mada, Hang Lekir, Hang Jebat, Hang Tuah dan Hang Kesturi. Tokoh-tokoh negara sahabat juga diabadikan seperti jalan Gandhi, jalan Jose Rizal, jalan Sun Yat Sen.

Nama-nama jalan yang menggunakan nama yang bernuansa kejuangan selain jalan Pemuda, jalan Pandu, jalan Palang Merah adalah jalan Merdeka (sebelumnya De Ruyter laan). Jalan Kartini adalah satu-satunya nama orang yang ditabalkan sejak awal.

Last but not least. Max Havelaar laan tidak diganti tetapi digeser namanya dengan jalan Multatuli. Para tokoh dalam buku Edward Doewes Dekker tersebut juga tetap dipertahankan: Saidjah, Badoer dan Adinda. Masih di seputar kawasan ini nama-nama jalan yang diambil dari nama bunga tetap dipertahankan: Kenanga, Melati, Melur, Teratai. Kedalam kategori ini juga termasuk jalan Listrik (Electriciteit laan).

Mungkin kedengarannya aneh, Edward Doewes Dekker alias Maz Havelaar alias Multatuli yang jelas-jelas berkebangsaan Belanda namanya tetap ditabalkan bahkan namanya berada diantara kawasan nama-nama pahlawan dan tokoh nasional. Edward Doewes Dekker meski dibenci orang Belanda tetapi bagi penduduk di Mandailing dan Angkola (kini Tapanuli Bagian Selatan) adalah seorang pahlawan. Edward Doewes Dekker adalah orang yang mengadvokasi dalam perjuangan penduduk untuk bebas dari tanam paksa pada awal kolonialisme Belanda. Akibat advokasi tersebut Dekker dipecat dan dibuat terlunta-lunta di Padang tahun 1844.

Selain itu, juga terdapat nama-nama kayu dan nama gunung tetap dipertahankan. Beberapa nama jalan yang tetap dipertahankan adalah jalan Djaparis, jalan Antara, jalan Amaliun, jalan Utama dan jalan Puri.

Era Masa Kini, Era Otonomi

Nama-nama jalan di kota Medan terus mengalami perbaikan. Nama-nama yang sudah dinyatakan terdahulu dapat mengalami perubahan. Nama-nama jalan yang terpetakan pada Peta 1961 dapat digantikan yang lain yang lebih pantas untuk nama jalan tersebut. Ini juga yang terjadi di Kota Medan. Apa yang terjadi di kota Medan juga terjadi di kota-kota lain, bahkan di Jakarta sendiri. Pemberian nama bukan soal suka atau tidak suka, tetapi lebih pada layak atau tidak layak. Pada masa kini, setiap usulan nama jalan harus diuji di parlemen secara terbuka.

Di Jakarta tidak ada nama jalan Sukarno, tidak ada nama jalan Ali Sadikin, tidak ada nama jalan M. Hatta. Di Medan juga tidak ada nama jalan T. Muhamad Hasan, tidak ada nama jalan Parada Harahap. Di Bandung tidak ada nama jalan Gajah Mada dan jalan Hayam Wuruk, sebaliknya di Yogyakarta tidak ada nama jalan Siliwangi dan Pajajaran. Tapi di Medan ada nama jalan Gajah Mada, jalan dan nama jalan Hayam Wuruk. Lantas mengapa tidak ada di Medan jalan Siliwangi dan jalan Pajajaran? Di Jakarta, jalan Merdeka Utara layak untuk nama Sukarno dan jalan Merdeka Selatan layak untuk nama Muhamad Hatta. Akan tetapi masih sangat diragukan nama Suharto untuk nama jalan Merdeka Timur dan nama Ali Sadikin untuk nama jalan Merdeka Barat. Apakah nama Parada Harahap dan T. Mohamad Hasan diragukan di Medan?

Peta Kota Medan, 1979
Nama-nama jalan di Kota Medan berdasarkan Peta 1961 dapat dibandingkan dengan Peta 1979. Nama jalan apa saja yang berubah? Adalah relevan, jika nama tokoh yang terkenal yang memiliki dedikasi dan perjuangan belum ditabalkan sebagai nama jalan karena orangnya sendiri masih hidup. Lazimnya, hanya mereka yang sudah meninggal yang ditabalkan namanya menjadi nama jalan. Celakanya, ketika para tokoh yang relevan dan layak diusulkan malah kavling nama jalan sudah habis alias sudah diisi semuanya. Meski ini bukan ibarat tempat pemakaman yang terbatas, tetapi berbagi untuk satu ruas jalan dapat dilakukan. Namun berbagi jalan juga ada kesulitannya, tetapi menggusur nama yang terdahulu juga dapat dibenarkan sepanjang tujuan makna pemberian nama jalan:suri teladan yang lebih menginspirasi.


Nama jalan di  Kota Medan telah berubah sebagian. Berdasarkan Peta Kota Medan 1979, nama jalan Roemah Bola telah diganti menjadi jalan Bukit Barisan. Ini berarti untuk kedua kalinya jalan lama ini berubah nama dari Sicieteit weg menjadi jalan Roemah Bola dan kini menjadi jalan Bukit Barisan. Juga terjadi reposisi jalan Imam Bonjol yang tadinya jalan kecil menggatikan jalan Jakarta dan jalan Samanhudi. Jalan Palang Merah dipecah menjadi dua ruas: jalan Palang Merah dan jalan Zainul Arifin. Jalan Tun Sri Lanang menjadi jalan Cut Meutiah. Jalan Multatuli tetap pada posisinya. Jalan Getah menjadi jalan Patimpus, jalan Serdang menjadi jalan M. Yamin dan jalan Durian menjadi jalan MH. Thamrin.

Sudah barang tentu jalan Sisingamangaradja tak tergantikan. Nama-nama jalan yang baru semakin banyak yang mengambil nama pahlawan. Para pahlawan revolusi juga mulai ditabalkan. Jalan Slamet Riyadi dipecah menjadi jalan Jend. Sudirman dan jalan Letjen Suprapto, jalan Jokja menjadi jalan Diponegoro. Jalan Pemuda digeser ke posisi yang sekarang dan eks jalan Pemuda menjadi jalan Brigjen Katamso. Juga nama jalan Kesawan diganti menjadi jalan Jend. Ahmad Yani. Jalan DI Panjaitan menempati jalan yang sekarang

Nama-nama pahlawan Kota Medan
Pahlawan-pahlawan yang masih hidup tentu saja tidak relevan menjadi nama jalan. Pada saat peta Kota Medan tahun 1979 dipublikasikan tokoh-tokoh perjuangan yang merebut dan memepertahankan kemerdekaan masih banyak yang hidup, seperti Adam Malik, Abdul Haris Nasution, Akan tetapi tokoh-tokoh perjuangan merebut kemerdekaan yang sudah meninggal juga banyak yang belum ditabalkan namanya seperti SM Amin Nasution, Parada Harahap, Abdul Hakim Harahap dan Abdul Abbas Siregar. Jalan Megawati muncul. Tidak jelas siapa Megawati, apakah yang dimaksud dengan Megawati yang masih hidup sekarang?

Pahlawan-pahlawan lokal kota Medan tentu saja telah ditabalkan menjadi nama jalan. Abdullah Lubis (wartawan dan anggota dewan kota) menempati jalan baru. Demikian juga Madong Lubis (guru dan anggota dewan kota), Jalan Arif Lubis, jalan GB Josua, jalan Abdul Hakim. Nama-nama jalan yang menyusul kemudian antara lain, jalan Adam Malik (eks jalan Glugur), jalan Manaf Lubis, jalan Ade Irma Suryani (anak Jenderal Abdul Haris Nasution). Tentu saja ada jalan Jenderal Abdul Haris Nasution diabadikan.

Nama-nama Gubernur Sumatera Utara
Akhir-akhir ini, perubahan nama jalan di Medan masih terus bergulir. Yang paling anyar adalah perubahan nama jalan yang ada sebelumnya Stadion Teladan, jalan Sutrisno dan jalan Letnan Sujono. Selain itu juga ada nama jalan yang baru, seperti jalan Abdul Haris Nasution dan jalan SM Amin Nasution dan jalan GM Panggabean. Nama-nama yang tengah diusulkan antara lain Telaumbanua. Satu hal yang seharusnya dihindari, penabalan nama jalan jangan dilihat sebagai proses politik tetapi justru sebagai proses akademik. Nama jalan bukan dimaksudkan untuk mencapai tujuan politik (hukum bilangan besar) tetapi nama jalan haruslah dimaksudkan untuk menjadi teladan, sumber inspirasi dan penjaga marwah sebuah kota. Karena itu proses akademik harus dikedepankan.

Proses politik dalam penentuan nama jalan sangat berbahaya, berganti pemerintah dan anggota dewan nama jalan dapat berubah. Apa jadinya jika proses politik seperti ini jika terjadi pemekaran kabupaten atau provinsi yang menyebabkan ibukota juga berubah. Inilah yang terjadi: Hayam Wuruk dan Gajah Mada tidak ada di Bandung dan Pajajaran dan Siliwangi tidak ada di Semarang. Padahal empat nama tersebut relevan dan layak di masing-masing kota yang saling berdekatan.

Surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempuan (1919)
Di Padang Sidempuan pada tahun 2009 telah mengalami reformasi nama-nama jalan. Sangat menarik, tidak hanya satu dua nama jalan tetapi ratusan nama jalan. Pemerintah kota dan parlemen ada upaya menempatkan setiap nama yang berhak untuk ditabalkan nama jalan di dalam kota. Bagus memang, tetapi jelas belum sempurna.

Penutup: Apalah Arti Sebuah Nama

Nama-nama jalan yang menggunakan nama terkait Belanda, Tionghoa, Kling dan Kesultanan di Medan telah dihilangkan dan digantikan dengan nama-nama yang dianggap telah memberikan kontribusi dalam merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Jika demikian halnya, berarti nama begitu penting. Hingga ini hari, nama-nama jalan di Medan akan terus mengalami perubahan karena penabalan nama pada nama jalan harus memberi makna, menjadi inspirasi bagi semua untuk menularkan nilai-nilai kejuangan khususnya bagi warga kota khususnya.

Setiap nama yang ditabalkan pada nama jalan di era informasi berbasis data yang transparans masa ini, tidak mudah lagi mengusulkan nama untuk dijadikan sebagai nama jalan. Demikian juga, nama-nama yang ada, khususunya yang telah terlanjur dapat digugat tetapi tidak memiliki relevansi dan nilai-nilai kejuangan. Daftar nama-nama yang paling layak untuk menjadi nama jalan akan bermunculan untuk menggantikan nama-nama yang tidak relevan, tidak layak dan tidak pantas untuk diteladani. Nama jalan adalah wujud mendekatkan seseorang atau sesuatu hal yang di masa lampau yang dapat dijadikan sebagai seorang atau sesuatu yang ditiru dan menjadi panutan.


Peta satelit Kota Medan masa kini
Mungkin anda bertanya-tanya apa relevansi Multatuli tetap diabadikan sebagai nama jalan meski Edward Doewes Dekker masih berkewargaan Negara Belanda. Nilai kepahlawanan seseorang adalah universal. Edward alias Multatuli adalah pahlawan dari Mandailing dan Angkola. Ini juga yang terjadi dengan saudara sepupunya yang berubah nama menjadi Dr. Setiabudi. Daftar ini masih banyak seperti Patrice Lumumba, Gandhi, Yose Rizal bahkan Sut Yan Sen. Yang perlu dipertanyakan adalah justru nama-nama jalan yang tidak relevan dan tidak memiliki nilai kejuangan bagi manusia. Nama jalan di Kota Medan banyak yang tidak relevan dan rendah nilai atau kadar kejuangannya.

Sejarah perjalanan bangsa saja dapat direvisi apalagi hanya sekadar nama seseorang. Kota sebagai milik public, maka nama-nama jalan harus pula yang bersifat public. Oleh karenanya revisi nama-nama jalan dapat dilakukan dan diuji kembali ke ruang public (parlemen kota). Sebuah kota, republic nama-nama jalan ini tidak hanya untuk merecall sejarah yang sebenarnya, juga karena ingin mengispirasi dan mewujudkan setiap warga kota berguna untuk kota. Langkah-langkah yang telah dilakukan ketika terjadi perubahan nama jalan di Kota Medan sebuah bukti kesadaran bahwa nama-nama jalan terdaulu tidak relevan, tidak pantas lagi. Itulah arti sebuah nama dari sebuah jalan. Ada artinya.

Belum lama ini nama Tjong Jong Hian melalui nama jalan direhabilitasi. Nama jalan Tjong Jong Hian yang telah ditabalkan sejak awal 1900an, pasca kemerdekaan (pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda) dihapus dan digantikan dengan nama jalan Bogor. Yang tersisa hanya nama jalan Multatuli (Edward Douwes Dekker), pahlawan Mandailing dan Angkola yang berkewarganegaraan (Hindia) Belanda. Nama Multatuli dipertahankan sebagai nama jalan di Kota Medan tentu banyak pertimbangannya. Tjong Jong Hian tidak bisa dibandingkan dengan Multatuli, perbedaannya sangat jauh. Hanya satu persamaan antara Multatuli dengan Tjong Jong Hian yakni sama-sama pernah tidak disukai oleh pemerintah kolonial Belanda. Multatuli dibenci karena mengadvokasi penduduk pribumi baik langsung maupun tidak langsung melalui karya-karya sastranya untuk bebas dari penindasan. Sedangkan Tjong Jong Hian tidak disukai pemerintah kolonial Belanda karena diduga memiliki dua kewargaannegaraan (Hindia Belanda dan Tiongkok). Bantuannya yang sangat luar biasa kepada Tiongkok telah menyilaukan mata pemerintah kolonial Belanda.

Tjong Jong Hian juga tidak bisa dibandingkan dengan Lian Kosong, seorang Tionghoa Padang Sidempuan yang turut berperang memanggul senjata melawan Belanda pada agresi militer Belanda di afdeeling Padang Sidempuan. Atas patriotiseme Sersan Mayor Lian Kosong ditabalkan namanya sebagai nama jalan di Padang Sidempuan. Tjong Jong Hian adalah tokoh yang berada di atas angin, sebaliknya Lian Kosong seorang tokoh yang tetap berpijak di atas bumi pertiwi untuk mewujudkan kemerdekaan bagi semua pihak.

Oleh karenanya, siapa yang berhak untuk mendapatkan nama jalan bukan karena golongannya, kekayaannya, agama, pangkat dan kedudukannya, ras dan etniknya tetapi yang lebih diutamakan adalah nilai-nilai kejuangannya untuk yang lebih luas. Nilai-nilai yang ingin kita capture dari riwayat mereka adalah nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai suri teladan bagi generasi selanjutnya. Sebab nama jalan itu seharusnya abadi. Contohnya Edward Douwes Dekker, Dr. Setiabudi dan Serma Lian Kosong.

Kekeliruan dalam mengusulkan tokoh yang tidak bisa dijadikan suri teladan jelas telah mengingkari tujuan dari penabalan nama seseorang menjadi nama jalan. Apa kurangnya Suharto dibandingkan dengan Tjong Jong Hian, tetapi nyatanya tidak mudah nama Suharto untuk dijadikan nama jalan Medan Merdeka Barat. Sebaliknya tidak ada keraguan masyarakat ketika nama Lian Kosong ditabalkan sebagai nama jalan. Sersan Mayor Lian Kosong layak mendapatkannya. Kota bukanlah kavling nama-nama jalan yang setiap golongan, kekayaan, agama, pangkat dan kedudukan, ras dan etnik terwakili, tetapi nama-nama jalan di suatu kota adalah daftar orang-orang yang dapat dijadikan sebagai teladan, inspirasi dan rujukan warga kota jauh ke masa depan.

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.




Nama-nama jalan di Kota Medan
(Berdasarkan Peta 1915, 1945, 1961 dan 1979)

1915
1945
1961
1979
Juliana
Juliana
Asia
Asia
Oranje Nassau
Oranje Nassau
Thamrin
Thamrin
Prins Hendrik
Prins Hendrik
Bintang

Amalia
Amalia
Sun Yat Sen

F. Hendrik
F. Hendrik
Tilax

Emma
Emma
Jose Rizal

Louise
Louise
Gandhi


Adolf
China Town


Mauri
Peladju


Beatrix
Merdeka
Merdeka

De Ruyter
Misbach

Patersburg
Patersburg
Gaharu

Parkhuis
Parkhuis
Gudang

Depot
Depot
Bantam

Hospital
Hospital
Sambu
Sambu
Electriciteit
Electriciteit
Listrik
Listrik
Spoor
Spoor
Kereta api
Kereta api
Cremer
Cremer
Balai Kota
Balai Kota
Cremer
Cremer
Putri Hijau
Putri Hijau
Station
Station
Stasion
Stasion
Deli Mij
Deli Mij
Serdang
M. Yamin
Societeit
Societeit
Roemah Bola
Bukit Barisan
Demmeni
Demmeni
Raden Saleh
Raden Saleh

Majoor
Mayor

Hattenbach
Hattenbach
Kebudayaan
Kebudayaan
Kerk
Kerk
Gereja
Gereja
Hotel
Nienhuys
Kesenian
Kesenian
Benteng
Benteng
Benteng
Maulana Lubis
Polonia
Polonia
Jakarta
Imam Bonjol
Kampament
Kampament
Pengadilan
Pengadilan
Kadaster
Kadaster
Prambanan
Prambanan

Paviloen
Kalasan
Kalasan

Vam Sandick
Candi Mendut
Candi Mendut
Soekamoelia
Soekamoelia
Soekamoelia

Rens
Rens
Bentara

Pacht
Pacht
Tumenggung


Smid
Pandu

Sport
Sport
Bulan
Bulan
Wilkel
Wilhelmina
Sutomo/ Karimun
Sutomo
Datoe
Datoe
Datoe

Moskee
Moskee
Masjid

Niew markr
Niew markr
Perniagaan

Nieuws
Nieuws
Mangkubumi

Voor
Voor
Wazir

Babura
Babura
T Tjik Ditiro
T Tjik Ditiro

Vleesmarkt
Pembelian


Oudmarkt
Perdana

Daendels
Daendels


Idenburg
De Kock



Max Havelaar
Multatuli
Multatuli

Saijah
Saijah
Saijah

Adinda
Adinda
Adinda

Badoer
Badoer
Badoer

Resident
Palang Merah
Palang Merah

Kanonnen
T. Daud
T. Daud

Jan Ligthart
Tan Sri Lanang
Cut Meutia
Kartini
Kartini
Kartini
Kartini
Tasman
Tasman
Tjut Nya’ Dien
Tjut Nya’ Dien

De Hotman
Ratulangi

Bontekoe
Bontekoe
Imam Bonjol

Hemskerk
Hemskerk
A.Rivai


Van Linschoten
Samanhudi


Van Gallen
Gerilla


Evertsen
Madong Lubis


Schuffner
A. Dahlan


PW Jansen
Sudirman



Tjipto



Urip



Walikota



Suryo



Linggarjati



Masdoelhak



Monginsidi



Supeno



Amir Hamzah

Melchiortreub
Melchiortreub
Hang Tuah

Leeuwenhoek
Leeuwenhoek
Hang Djebat

Rumphius
Rumphius
Hang Kesturi

Linnaeus
Linnaeus
Hang Lekdjo

Hugo de Vries
Hugo de Vries
Tjokro Aminito


Kroesen
Teuku Umar


Voedpad
Candi Biara


Rahde
Airlangga


Van der plaas
Kalingga


Ballot
Tumapel


Westenenk
Borobudur
Borobudur

Both
Majapahit


Van Joens
Sriwijaya

Van Maasdam
Van Maasdam
Kun Ming

Honger
Kwarten
Irian Barat
Irian Barat
Kesawan
Kesawan
Kesawan
Ahmad Yani
Shang Hai
Shang Hai
Semarang

Swatow
Swatow
Surakarta

Tjong J. Hian
Tjong J. Hian
Bogor
Bogor
Hokkian
Hokian
Andalas

Hakka
Hakka
Nusantara
Haryono
Peking
Peking
Palangkaraya

Hongkong
Hongkong
Cirebon

Macau
Macau
Hong Po

Kapitein
Kapitein
Pandu
Pandu
Luitenant
Luitenant
Bandung

Tapekong
Tapekong
Suwarna

Hailai hong
Hailo Hong
Pandan


Nang Kin
Nang Kin


Tong Kin
Kapuas


Tien Tsin
Samarinda


Hankau
Sambas


Kiautstjau
Banjarmasin

Toetoepan
Toetoepan
Sawahlunto

Tjong A Fie
Tjong A Fie
Tjakrawati


Poetstjau
Kotanopan


Moy
Pakantan

Canton
Canton
Surabaya


Manila
Martapura


Darden
Selat Panjang

Hindoe
Hindoe
Hindoe

Madras
Madras
Djenggala

Ceylon
Ceylon
Muaratakus

Negapatams
Negapatams
Kediri

Colombo
Colombo
Taruna

Calcutta
Calcutta
Palang Merah
Palang Merah
Calcutta
Calcutta
Palang Merah
Zainul Arifin
Bombay
Bombay
Pagaruyung



Gajah Mada

Japansch
Japansch
Chung King

Radja
Radja
Sisingamangaradja
Sisingamangaradja
Paleis
Paleis
Pemuda
Pemuda/Katamso
Mahkamah
Mahkamah
Mahkamah


S. Mahmoed
Sorik Marapi

S. Al Rasjid
S. Al Rasjid
Slamet Riyadi
Sudirman
S. Al Rasjid
S. Al Rasjid
Slamet Riyadi
Suprapto

S. Oesman
Lubuk Raya


T. Amiroe
Martimbang


T. Ottoman
Singgalang


Sultans
Masjid Raya

Padang Boelan
Padang Boelan
P. Lumumba
Pattimura
Serdang
Serdang
M. Yamin
M. Yamin
Djawa
Java
Jawa

Sei Kerah
Sei Kerah
Sei Kerah
Sei Kerah
Madoera
Madoera
Madura

Bali
Bali
Bali
Veteran
Malaka
Malaka
Malaka

Pertjut
Pertjut
Pertjut
 Cokroaminoto
Deli
Deli
Deli

Ceram
Ceram
Seram

Riaou
Riaou
Riau

Bangka
Bangka
Bangka

Timor
Timor
Timor


Celebes
Celebes


Biliton
Biliton


Lombok
Lombok


Langkat
Langkat


Tamiang
Tamiang


Maleisches
Maleisches


Ambon
Ambon


Flores
Flores


Soemba
Soemba


Asahan
Asahan


Siak
Siak


Talaud
Talaud

Mangga
Mangga
Jokja
Diponegoro
Doerian
Doerian
Durian
MH. Thamrin

Teratei
Teratei


Meloer
Meloer


Melati
Melati


Kenanga
Kenanga


Getah
Patimpus
Patimpus
Djati
Djati
Jati
Jati
Poerwo
Poerwo
Poerwo

Sindoro
Sindoro
Sindoro


Merapi
Merapi

Salak
Salak
Salak


Goentoer
Goentoer


Slamat
Slamat


Gedeh
Gedeh

Mantri (gang)
Mantri laan
Mantri
Mantri
Antara
Antara
Antara
Sutrisno
Amalioen
Amalioen
Amalioen
Amalioen
Oetama
Oetama
Oetama
Oetama
Poeri
Poeri
Poeri
Poeri
Djaparis
Djaparis
Djaparis
Djaparis
 

Tidak ada komentar: